20. Makna Lain Dari Kangen

Spam lope biyu dunk kalau kalian rindu pasangan ajaib.
💙💙

Maka akan kalian temukan keajaiban.


***

"Daddy, tadi Cla dari mal, mandi bola sama banyak temen."

Chandra menatap layar ponsel Wenda, asyik mengobrol dengan bocah lima tahun sejak sepuluh menit lalu. Melalui sambungan video call, gadis kecil di seberang sana berceloteh dengan riang tentang apa yang ia lakukan hari ini, ke mana saja ia pergi.

Pria dengan setelan celana training dan kaus hitam panjang itu, duduk bersandar di kepala tempat tidur, layaknya pasangan kekasih yang sedang saling melemparkan kabar, ia menanggapi semua celotehan di seberang sana, sesekali kalimat rindu menghiasi obrolan mereka.

"Oh, ya? Asyik dong, tapi daddy nggak diajak." Chandra pura-pura memasang wajah kecewa.

"Daddy enggak ada, momo juga enggak ada."

"Iya, Sayang. Daddy sama Momo di Bandung. Nanti daddy bawain oleh-oleh buat Cla, ya."

"Cla mau ngobrol sama momo, Daddy. Momo Wen, mana?"

Chandra mengalihkan atensinya ke pintu kamar mandi, Wenda masih di dalam sana, belum juga ada tanda-tanda akan keluar.

"Bentar lagi, ya. Momo Wen masih mandi, belum selesai."

Clarissa mengangguk, Chandra kembali memperhatikan apa yang sedang balita itu kerjakan. Tangan kecilnya memegang pensil warna, ada buku mewarnai di hadapannya. Dua hari tidak melihat anak ini, rasanya ada rindu terselip. Beruntung yang di sana merasakan hal serupa, itu sebabnya saat panggilan video dari nomor Kak Ina masuk ke ponsel Wenda ia segera menyambutnya. Chandra tahu, jika sudah melakukan panggilan video pastilah Clarissa yang menelepon.

Derit pintu kamar mandi terdengar, Chandra menoleh ke sana. Wenda dengan tubuh berbalut bathdrobe mendekat ke arah Chandra, mendengar obrolan Chandra dengan seseorang yang suaranya sangat ia hapal.

"Halo, anak cantik," sapa Wenda mencondongkan wajahnya ke depan layar ponsel.

"Momo!" teriak Clarissa heboh.

Wenda terkekeh melihat betapa menggemaskannya anak itu. "Aah, momo kangen Clarissa. Lagi apa, Sayang?"

Masih dengan posisi yang sama, Wenda sedikit menunduk hingga bathdrobe bagian dadanya sedikit terbuka. Wanita itu tidak tahu jika laki-laki di sampingnya menelan ludah susah payah.

Chandra bangkit dari posisinya, menyerahkan ponsel itu ke pemiliknya. Ia beranjak meninggalkan Wenda yang sudah duduk di pinggir tempat tidur. Langkahnya menuju koper Wenda yang ia ambil tadi dari kamar bawah. Mencari piama wanita itu untuk dikenakan, setelah berhasil ia temukan langkahnya dibawa kembali menghampiri Wenda.

"Iya, dong. Nanti momo pulang Cla main ke rumah momo, ya. Cla belum bobo? Ini kan udah malem."

Wenda masih mengobrol dengan Clarissa. Chandra menyiapkan piamanya di samping ia duduk, lalu pria itu berjongkok di depan Wenda. Tangannya menepuk lutut Wenda, membuat wanita itu memalingkan wajahnya menatap Chandra.

"Udah pakai celana dalam belum?" tanya Chandra.

Wenda mengangguk, mengucapkan sepenggal kata tanpa suara. Chandra meraih celana piama Wenda, memasukkan kaki istrinya pada bagian bawah celana, menarik celana ke atas sampai lutut Wenda.

Tepukan di betis Wenda menginterupsi kembali. "Berdiri, Sayang."

Wenda berdiri, mengikuti titah Chandra yang membantunya mengenakan pakaian tidurnya. Tangan pria itu cukup telaten mengurusi keperluan bayi besarnya, hingga celana itu sudah terpasang dengan benar.

Chandra meraih kembali baju piama Wenda. Namun, kali ini belum juga Chandra meraih simpul pengikat bathdrobe Wenda, wanita itu menahan Chandra untuk tidak membantunya seperti ia mengenakan celana beberapa saat lalu.

"Nanti aja, aku bisa sendiri, " ucap Wenda berbisik.

"Pakai sekarang, Wen. Dingin, nanti kamu masuk angin." Chandra berusaha meraih bathdrobe Wenda, tetapi lagi-lagi wanita itu menolak.

Melalui tatapan Wenda memberi isyarat, jika ia membuka bathdrobe-nya Clarissa bisa melihatnya. Karena di balik baju handuk itu, ia tidak mengenakan apa-apa lagi.

Chandra menaikkan alisnya, matanya sudah mengerling jahil. Tangannya kembali menggoda simpulan di pinggang Wenda.

"Cla, udah malem. Udah ya video call-nya. Momo juga ngantuk, nih."

"Belum, Momo. Cla masih mau gambar mama, papa, daddy dan ikan." Clarissa memamerkan hasil karyanya pada layar ponsel agar Wenda bisa melihat.

Refleks Wenda menyentak tangan Chandra yang sudah hampir berhasil menarik simpulan itu. Matanya menatap Chandra tajam. Pria itu menutup kamera ponsel yang ada di tangan Wenda, dengan pergerakan cepat ia mengecup bibir istrinya. Pagutan mesra terjalin beberapa detik sampai ... suara gaduh di lantai bawah menyentak.

Teriakan Jaffran di bawah sana terdengar hingga lantai atas, belum lagi suara Joy memanggil-manggil Chandra dan Wenda agar segera turun.

"Biar aku yang lihat, kamu pakai bajunya." Chandra berlari kecil meninggalkan Wenda di kamar.

Langkah Chandra tergesa menuruni anak tangga. Ada Joy yang mondar-mandir di depan pintu yang Jaffran tempati. Terlihat sangat panik.

Gedoran Jaffran pada pintu terdengar sangat gaduh, teriakannya mengumandangkan nama Wenda dan Chandra secara bergantian.

"Joy, kamu coba ke atas. Tanya Wenda di mana dia simpen kuncinya. Masa aku terkurung di sini. Aduh! Sakit banget perut aku."

Keluhan Jaffran sampai dengan jelas di telinga Chandra. Pria itu berdiri di belakang Joy yang menghadap pintu.

"Kenapa, Joy?"

"Chan? Chandra itu lo? Chan, tolong gue. Perut gue melilit ini mau boker, bini lo malah ngunci gue di dalam sini. Buruan, Chan. Gue nggak tahan lagi ini, masa lo tega liat sohib lo ini cepirit."

Chandra tergelak, tidak tahan dengan yang terjadi. Tangannya memegang perut. Chandra sadar jika kamar yang Jaffran tempati tidak seperti kamar Joy atau kamar atas yang toiletnya berada di dalam.

Kepala Chandra ditoyor gemas oleh Joy. Geram sekali melihat Chandra bukannya membantu justru menertawakan kekasihnya.

"Aduh! Sakit, Joy. Dendam banget kayaknya mukul kepala gue."

"Ya makanya, buruan ambil kunci ke Wenda. Malah ngetawain."

"Lagian kenapa nggak lo aja yang ambil? Kan lo tadi bisa ke atas, tanya ke Wenda. Ngapa malah plaga-plogo di sini."

"Gue bukannya nggak bisa ya ngetuk kamar kalian tanya di mana kunci. Gue cuma belum siap aja, tiba-tiba gue ke atas malah denger suara aneh-aneh."

Chandra memicingkan matanya. "Suara aneh?"

Joy menggeleng kuat. "Ya siapa tau, kalian sedang making out, gue nggak mau ganggu kalian," imbuh Joy membuat Chandra canggung.

"Ya elah! Malah reunian. Gue ini gimana nasibnya, oi?!" teriak Jaffran menggedor kembali pintu kamar.

"Tunggu. Gue ke atas tanya Wenda di mana kuncinya."

Chandra mengayunkan tungkainya menaiki anak tangga kembali ke kamar. Ia mendorong pintu kamar, jelas ucapan Joy mengganggu kinerja otaknya. Salahkan saja hormon estrogen pada tubuhnya yang cepat sekali tersulut hanya mendengar kalimat making out.

"Sayang, kamu ngunciin Jaffran? Kuncinya mana?" Chandra masuk ke kamarnya, bertanya pada wanita yang mengenakan piama bermotif kotak-kotak itu.

"Jangan dibuka, Chan!" cegah Wenda spontan duduk dari posisi rebahannya.

"Kenapa? Jaffran mau buang air, Sayang. Kasihan itu dia sakit perut, loh."

"Tapi, ntar dikunci lagi, kan? Kalau nggak nanti dia masuk kamar Joy. Kita kan jauh di atas, nggak tahu apa yang terjadi di bawah."

Chandra tertawa pelan. "Mana kuncinya?"

"Kalau dia diapa-apain Jaffran, kamu ya yang tanggung jawab!" ancam Wenda.

"Kok aku? Jaffran lah, kan Jaffran yang berbuat. Masa aku harus nikahi Joy," celetuk Chandra.

"Nggak boleh! Nggak mau dimadu!"

Chandra semakin keras tertawa. "Iya nggak! Aku nggak akan madu kamu. Buruan mana kuncinya? Dah ... dah ... cipirit beneran Jaffran di sana."

Wenda membuka laci, menyerahkan kunci yang ia simpan di sana. Meski dengan wajah cemberut Wenda terpaksa mengalah.

"Percaya sama aku, Jaffran nggak kayak gitu," ucap Chandra mengecup dahi Wenda sebelum akhirnya meninggalkan kamar.

Wenda kembali memainkan ponselnya, sepuluh menit kemudian ia mendongak saat bayangan Chandra sudah kembali berada di depan pintu. Pria itu mendorong pintu kamar, menguncinya lalu bergabung merebahkan tubuhnya di sebelah istrinya.

Chandra meraih tubuh Wenda, memeluk wanita itu dari belakang. "Kamu ini ada-ada aja. Kasihan tau nggak Jaffran harus nahan sakit perut begitu," ujar Chandra merapatkan punggung Wenda pada tubuhnya.

"Udah teleponannya sama Clarissa?"

Semua pertanyaan Chandra hanya ia tanggapi dengan anggukan. Membuat pria itu semakin gemas.

"Ngapain, Sayang?"

Chandra mulai jengah dengan sikap Wenda yang acuh tak acuh. Benda canggih di tangannya lebih penting daripada mengobrol dengannya.

"Mau posting foto yang bagus di Instagram." Tangan Wenda lincah di atas touchscreen, memilih foto yang ia inginkan.

Wanita itu tidak peduli dengan apa yang Chandra lakukan, termasuk tangan nakal itu sudah naik ke dadanya pun ia masih bergeming.

"Kamu nggak pakai bra?"

Wenda menggeleng, suaranya mahal sekali. Mengucapkan beberapa kalimat saja ia batasi.

"Kalau keluar kamar dipakai, ya. Di sini ada orang lain selain kita. Ngerti?"

"Iya ngerti," sahut Wenda singkat.

Chandra mengendus rambut Wenda, ia menyibakkan surai yang menutupi leher istrinya. Meninggalkan jejak basah bibirnya di sana. Wenda bergedik merasakan sensasi hangat bibir Chandra.

"Aku kangen kamu," bisik Chandra dengan suara memberat.

"Kangen apaan, sih, Chan. Orang dari tadi aku di sini-sini aja."

Wenda masih berusaha menguasai dirinya saat telapak tangan Chandra sudah menyelinap masuk ke balik piamanya. Ia tidak mencegah keras, pun tidak begitu membiarkan apa yang suaminya lakukan di balik sana.

Chandra membalik tubuh Wenda agar menghadapnya, wajah pria itu sudah berubah menahan sesuatu yang mungkin saja tidak tahan lagi ia sembunyikan. Telapak tangannya merangkum wajah Wenda, kecupan lembut nan hangat ia tinggalkan di atas bibir Wenda.

Dengan sekali sentak Chandra menarik pinggang Wenda, merapatkan tubuh mereka. Chandra kembali meraup bibir Wenda dengan rakus. Ia tersenyum menang saat permainan bibirnya mendapat balasan dari sang istri.

Pagutan itu terlepas sesaat, bibir ranum yang sudah terlanjur berkilat oleh pertukaran saliva dari keduanya menambah andil, agar pria itu berbuat lebih.

Chandra bangkit, meraih ponsel Wenda dan menyimpannya di atas nakas. Sakelar lampu kamar yang terletak di dinding tidak jauh dari sana pun ia tekan. Pencahayaan kamar hanya tersisa lampu kamar, meski remang Chandra masih bisa melihat betapa cantik istrinya itu.

"Aku kangen kamu, Sayang."

Chandra merapalkan kalimat yang sama, tubuhnya di atas tubuh Wenda dengan siku yang bertumpu agar tidak menindih istrinya. Wenda jelas mengerti makna lain dari kata kangen yang Chandra ucapkan sejak awal tadi.

Wenda mengalungkan lengannya di leher Chandra, telapak tangannya meremas belakang rambut suaminya saat kecupan pria itu sudah bermain di leher hingga tulang selangkanya. Entah sejak kapan, dua kancing teratas piama Wenda sudah terlepas.

Erangan kecil refleks Wenda keluarkan, saat bibir dan lidah Chandra sudah bermain di puncak dadanya.

Chandra meraih ujung piama Wenda, ia bisa saja melemparkan benda penghalang itu. Namun, tak ia lakukan. Bagaimanapun juga ia harus meminta izin pemiliknya.

"Boleh aku buka?" tanyanya seduktif.

Sesaat Wenda menggigit bibir bawahnya. Ia mengangguk memberi izin. Tanpa harus menunggu lebih lama, baju piama itu sudah teronggok tidak berguna di lantai. Kini, bagian atas tubuh Wenda sudah tak berpenghalang.

Chandra kembali bermain pada bagian favoritnya dari tubuh Wenda. Mencecap setiap inci dada hingga perut Wenda. Sudah berapa kali erangan yang tak bisa Wenda tahan lolos begitu saja dari bibirnya, terlebih saat tangan Chandra sudah menyelinap masuk ke bagian terakhir perlindungannya, menggoda dan bermain di area sensitif itu.

Chandra bangkit, mengecup sekilas bibir Wenda. Tatapannya serius ke mata Wenda. "Sayang, if you want I will do it, but if you don't want. I will stop! Ok?"

Wenda mengangguk, tangannya terulur mengait di bahu Chandra. Pria itu tertawa renyah. Wenda bingung, ia memukul bahu Chandra. "Kok ketawa, sih!"

"Kamu ngangguk, sebenarnya ngerti nggak sih?" Chandra menunduk, melumat kembali bibir manis wanita itu. "Yes or yes?"

"Yes! Jawab no juga percuma, nggak ada pilihannya juga," celetuk Wenda.

Tanpa menunggu lagi, Chandra kembali mencumbu setiap jengkal tubuh wanita itu, tangannya menarik celana piama Wenda dan berakhir teronggok seperti atasannya. Diikuti penutup terakhir yang melekat pada bagian bawah tubuh Wenda.

Polos? Iya, begitulah keadaan wanita itu dibuat oleh pria yang sedang bergerak seduktif di atasnya. Suara ringisan bercampur rintihan, sesekali terselip desahan memenuhi seisi ruang kamar atas vila keluarga Chandra, menjadi saksi bisu bagaimana kedua anak manusia itu mengerang lepas saat puncak nikmat duniawi dengan imbalan pahala berhasil mereka raih kembali.


Tanjung Enim, 29 Agustus 2021

Halo ... Bagaimana? Panas? dingin? Atau panas dingin?
Aku tahu kok, kalian pasti mau bilang "Akhirnya ... iya, kan?"
Ketahuilah, ini bukan kali pertama bagi Wenda Chandra. Karena yang pertama ada di versi cetak.

Bayangkan seperti apa adegan itu di versi cetak, jika versi wattpad saja seperti ini. 😂

Aku berdosaah syekali. 😭

Oh, iya. Aku mau kasih info. Bahwasanya untuk seminggu ke depan bahkan lebih. Aku tidak update dulu. Karena ada naskah yang harus aku edit. 😜

Salam
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top