2. Kaistal's Bar & Restaurant

Mobil Chandra sudah memasuki pelataran sebuah bangunan tinggi. Mata Wenda terlempar ke sekitar luar jendela. Menatap bingung bangunan yang Chandra sebut kafe. Chandra masih sibuk mencari tempat untuk memarkirkan mobilnya di basemen bangunan. Chandra mematikan mesin mobil, saat dirasa sudah pas memposisikan mobilnya.

Di temaramnya cahaya dalam mobil, Wenda masih bisa melihat wajah Chandra yang selimuti aura bahagia.

"Dinner ... dinner ... yes!"

Wenda masih menatap bingung memperhatikan gerak-gerik Chandra melepaskan seat belt di tubuhnya. Chandra menoleh ke arah kiri, mendapati Wenda dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kok ngeliatin aku gitu banget?"

"Kafenya mana? Kok kita ke sini," tanya Wenda langsung.

"Di lantai atas, lantai lima puluh." Tangan Chandra meraih sabuk pengaman yang Wenda kenakan, wajahnya sedikit mencondong ke wajah Wenda.

"Ah! Kebiasaan. Nyebelin banget. Makeup aku jadi rusak," gerutu Wenda.

Chandra tergelak, perasaan senangnya tidak bisa dia sembunyikan, rasanya tidak tahan jika tidak mencuri satu kecupan di bibir merona Wenda.

"Habisnya, cantik banget sih istri aku. Kan jadi pengin kiss banyak-banyak."

"Bosen! Dari rumah gombalan kamu itu-itu aja, cari yang lain gitu."

Chandra terkekeh, benar adanya, sejak dari rumah Chandra terus memuji Wenda cantik.

"Turun, yuk. Udah, lipstik kamu nggak belepotan kok, tadi kan aku cuma cium sekali. Jadi nggak sampe rusak. Lipstik kamu kan bagus, yang mat-"

Chandra menggantungkan ucapannya, dia tampak berpikir tentang jenis lipstik yang sering Wenda sebut.

"Mat apa, Sayang. Jenis lipstik kamu yang ada hadiah foto laki Korea itu."

"Lip matte."

"Ya, itulah pokoknya. Kalo yang manis apa namanya, Sayang? Yang suka kamu pake kalo cuma di rumah aja."

"Lip balm. Eh, kok tahu rasanya manis? Kamu nyobain?"

"Iya, habisnya kalo kiss kamu manis. Aku pake aja."

Wenda memicingkan matanya. "Pantesan cepet banget habisnya. Ganti baru."

"Habisin itu dulu, nanti aku ganti baru. Ayo, turun. Malah bahas kosmetik."

"Lah? Kan yang bahas duluan kamu. Gimana, sih." Wenda tampak cemberut, "beliin yang baru, Chan," rengek Wenda.

"Iya. Iya, aku yang salah. Aku minta maaf ya, maminya Chabe. Nanti aku beliin yang baru." Chandra meraih tangan Wenda, dikecupnya punggung tangan kanan Wenda.

Chandra bergerak turun terlebih dahulu, memutari mobilnya ke pintu sebelah kiri, membukakan pintu untuk Wenda. Tangannya terulur menyambut Wenda. Mereka berjalan menuju lift yang akan membawa mereka ke puncak menara.

Chandra terus menggenggam tangan Wenda hingga lift berdentang pertanda mereka sudah sampai di puncak menara. Langkah lebar Chandra menuntun Wenda agar mengikutinya.

"Selamat malam, selamat datang di Kaistal's Bar and Restaurant," sapa seorang karyawan dengan seragam rapi membukakan pintu untuk Wenda dan Chandra.

"Malam," balas Chandra seraya mengeluarkan satu lembar kertas berukuran kecil dari sakunya dan mengangsurkannya ke sang petugas.

Kertas bukti sudah reservasi tempat diterima oleh petugas utu. "Baik, sudah siap ya, Mas. Mari ikut saya."

Chandra meraih tangan Wenda, membimbingnya agar mengait di lengan kokohnya. Chandra melangkahkan kakinya, diikuti Wenda mengikuti titah sang petugas.

Langkah mereka terhenti di depan meja resepsionis, ada petugas lain di sana dengan seragam yang sama. Sambutannya pun hampir sama dengan yang diucapkan petugas sebelumnya.

"Boleh lihat KTP-nya Mas, Kak?" tanya petugas itu.

Chandra menyodorkan benda tipis berukuran kecil yang dia keluarkan dari dompetnya, kepalanya menoleh ke arah Wenda. "Sayang, KTP kamu mana?"

Wenda mengeryit, baru kali dia ke sebuah restauran dimintai memperlihatkan kartu identitas. Wenda merogoh tas kecil yang dia jinjing, meraih benda yang di maksud.

"Baik, saya cek dulu, ya."

Lima menit berlalu, sang petugas kembali berdiri mengangsurkan KTP Wenda dan Chandra.

"Baik, Mas. Pasangan suami istri, ya. Silakan ke lantai atas. Ini petugas yang akan mengantarkan," tunjuknya pada rekan kerjanya yang sejak tadi berdiri di sekitar meja resepsionis.

"Mari Mas, Kak. Saya antar."

Mereka mengikuti pelayan itu, menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai 51. Pintu lift terbuka, mata Wenda turut terbuka lebar. Suasana kafe ini sangat di luar ekspektasi yang dia bayangkan.

Kaistal's Bar and Restaurant yang menjadi pilihan Chandra. Restauran yang terkenal dengan suasana romantic ini berada pada puncak menara di jalan MH Thamrin kawasan Menteng, Jakarta pusat.

Kaistal's Bar and Restaurant menawarkan pemandangan lanskap Kota Jakarta, yang membuat makan malam bersama pasangan kian romantis. Interior yang mewah, keindahan lampu-lampu kota pun akan turut menambah suasana romantis.

"Silakan Mas, Kak."

"Terima kasih," ucap Chandra.

Petugas itu meninggalkan Wenda dan Chandra. Mereka duduk di sebuah sofa panjang yang nyaman menghadap langsung ke pemandangan malam kota Jakarta. Di atas meja terdapat lilin aromaterapi yang menyala, aroma menenangkan menguar dari sana.

"Chan,"

"Iya, Sayang."

Wenda mengubah posisi duduknya sedikit menyerong menghadap Chandra. Tangan Chandra membenahi rambut di dahi Wenda.

"Kenapa? Suka nggak?"

Wenda mengangguk, matanya berbinar. "Suka. Suka banget, Chan."

Lengan Wenda dia lingkarkan di lengan Chandra, posisi duduknya sudah merapat mendekat. Kepalanya bersandar di bahu Chandra. Tempat ternyaman yang Wenda sukai setelah pelukan hangat Chandra.

"Tempatnya bagus ya, romantis buat pasangan. Sesuai konsep."

"Ah, iya. Pasangan!" Wenda mendongak melepaskan lengan Chandra.

Wenda ingin menuntaskan rasa penasarannya. "Kenapa tadi sebelum masuk kita dimintai nunjukin KTP?"

"Tempat ini nggak sembarangan nerima tamu, apalagi yang bawa pasangan. Untuk di out door, nggak begitu banyak peraturan ketat, asal berusia minimal 18 tahun."

"Emang kalo in door kayak kita di sini beda lagi tingkatan usianya?" tanya Wenda polos.

Chandra mengangguk. "Iya, kalo in door, khususnya tempat kita sekarang minimal 21 tahun."

"Tapi kita belum 21 tahun, Chan."

"Tapi kita kan udah nikah, udah ada buku nikah dong." Chandra menepuk dadanya membanggakan diri.

"Iya, kita udah ada buku nikah sekarang. Udah bisa sidang di pengadilan agama."

Chandra terkesiap mendengar celetukan Wenda. "Astagfirullah, Sayang. Ngomongnya!"

Chandra mengetuk-ngetuk meja di hadapannya, kemudian beralih mengetuk kepalanya. "Amit-amit, ya Allah. Jangan didengerin, ya Allah. Dia asal aja ngomong."

Wenda terkekeh melihat Chandra. Menggoda Chandra seharian ini sangat menyenangkan bagi Wenda.

"Chan, kenapa kamu mukul-mukul kepala, terus mukul meja. Kenapa nggak kepala kamu aja langsung dibenturin ke meja."

"Ya Allah, ada ya istri begini."

Chandra gemas, tangannya merangkul Wenda, wajahnya sudah dia benamkan di ceruk leher Wenda. Memberi pelajaran Wenda dengan cara menggelitik leher putih Wenda dengan gigitan pelan.

Wenda tergelak kegelian. "Iya. Ampun, Chan. Nggak lagi. Ampun!"

Chandra melepaskan rangkulannya, membenahi surai hitam Wenda yang menutupi wajahnya.

"Chan, kenapa di sini cuma ada kita berdua. Padahal ada dua tempat kosong?" Wenda menunjuk meja di kiri dan kanan mereka yang kosong.

"Siapa suruh pilih malam Jumat. Biasanya tempat ini rame kalo malam Minggu. Banyak pasangan ke sini. Kalo malam Jumat pasangan aktivitas di rumah."

Wenda memukul pelan bibir Chandra. "Mulai, mesum lagi!" Wenda melotot memberikan peringatan.

Chandra terkekeh renyah. "Ya, kan siapa tahu malam Jumat aktivitas rutin pasangan di luar sana, ngaji, salat sunah sama pasangan. Kamu aja yang mikirnya ke mana."

"Pinter aja alasan." Wenda mencebikkan bibirkan mencibir Chandra.

Chandra meraih tangan Wenda, dia bubuhkan kucupan lama di punggung tangan Wenda.

"Chan," panggil Wenda lagi.

Chandra mendongak. "Yes, Honey."

"Kita ke sini cuma begini doang? Nggak ada pesan makan?"

"Udah aku pesen pas reservasi tempat. Tunggu sebentar lagi, ya."

"Kamu nggak pesen wine kan?"

Chandra terbahak mendengar pertanyaan polos istrinya. "Emang kamu mau minum alkohol? Minum soda gembira aja kamu mabok."

"Ya siapa tahu, otak kamu nggak waras. Tiba-tiba sok-sokan mau minum wine biar kayak dinner romantis di drama."

"Kamu kebanyakan nonton drama, Sayang. Lagian kita tuh nggak dibiasakan minum alkohol. Papi aja kalo acara makan malam sesama koleganya nggak minum. Masa iya aku minum, bisa-bisa kena penggal papi aku."

"Chan, kapan-kapan kita ke sini lagi, tapi nyobain yang out door, ya. Biar berasa kafe roof top gitu."

"Baiklah, Nyonya Chandra. Akan saya kabulkan sesuai permintaan."

Chandra mendarat kecupan di pelipis Wenda. Wenda tersenyum, ada terselip rasa bangga pada Chandra. Betapa dia bersyukur bisa mengenal sosok Chandra sejak sekolah dasar hingga sekarang menjadi suaminya.

Langkah kaki dari sepatu pantofel dan high heels beradu merdu di permukaan lantai, hingga ditangkap oleh rungu Wenda dan Chandra. Chandra menoleh terlebih dahulu ke sumber suara, senyum merekah saat netranya menangkap sepasang suami istri berjalan menghampiri meja mereka.


Tanjung Enim, 17 Januari 2021

Halo, selamat hari Minggu. Bertemu Wenda Chandra lagi.
Masih semangat nungguin pasangan ajaib?

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top