19. Long Weekend
Bantu Wenda Chandra 10k Viewers ya geng.
Tandai typo dan kesalahan penulisan
💙
***
Udara yang dingin, masih banyaknya lokasi perbukitan yang asri, kuliner yang beraneka ragam. Sangat cocok jika kota Bandung dijadikan tempat untuk berlibur, bahkan untuk para pasangan sah berbulan madu. Percaya, tidak perlu berpergian ke luar negeri jika Bandung saja punya daya pikat tersendiri.
Semua keadaan yang sangat mendukung ini mereka dapatkan secara cuma-cuma, pasangan yang masih dengan posisi saling memeluk itu masih belum beranjak meninggalkan kenyamanan ini.
Sampai suara bising terdengar pun Wenda dan Chandra tetap saling memeluk posesif. Guncangan di tubuh Chandra pun membuat kepala Wenda yang bersandar di dadanya ikut bergetar.
Chandra sedikit memisahkan kelopak matanya, memicing dengan cahaya yang masuk retinanya. Ada Jaffran dan Joy berdiri di ujung kaki mereka, bersedekap dengan tatapan nyalang.
"Woi, bangun! Kok lo ada di sini?" Jaffran berseru, ia terkejut saat pagi buta Joy menggedor pintu kamarnya dan memberitahu Wenda hilang.
"Wenda! Lo buat gue jantungan tahu, nggak! Gue kira lo hilang diculik orang."
Pemilik nama yang dikumandangkan tetap tidak menggubris dua sejoli itu. Wenda tetap nyaman dengan pelukan hangat suaminya, Chandra tetap mengeratkan dekapan pada istrinya. Sampai Jaffran merasa gemas, ia menendang kaki Chandra hingga Wenda pun ikut terlonjak.
"Apaan, sih, Jaff! Kayak lo tidur nggak pernah meluk cewek aja, rese banget, dah!" Wenda berseru, tetapi matanya masih tertutup.
"Cewek mana yang kamu peluk sambil tidur?" tanya Joy melayangkan tatapan menghunus jantung Jaffran.
"Kampret! Bangun lo, gue tau lo udah bangun. Tanya bini lo, Kasih paham cewek gue, cewek mana yang gue kelonin?! Berasa berengsek banget gue dibuat bini lo," cerca Jaffran yang kembali menendang kaki Chandra.
Chandra membuka matanya hanya terkikik pelan sebagai respon untuk jaffran, tangannya yang panjang justru menarik tubuh Wenda yang berada di bawah selimut menjadi merapat kembali ke tubuhnya.
"Kambing! Malah dilanjut kelonannya, sialan ini pasutri."
Erangan geram Jaffran bagai angin lalu, tak digubris sama sekali baik Wenda maupun Chandra. Jaffran melirik Joy, menarik tangan kekasihnya itu.
"Beib, yok kita kelonan juga di kamar."
Sontak Wenda membuka mata, mendorong dada Chandra. "Jaffran! Lo coba-coba, mati lo di tangan gue. Nggak usah macem-macem, ya!" teriak Wenda dengan telunjuk mengacung pada Jaffran yang baru saja beberapa langkah meninggalkan mereka.
"Lah, kenapa?! Kita juga bisa kelonan juga, emang kalian aja bisa?"
Wenda bangkit, duduk. "Kita suami istri, ya. Mau ngelakuin lebih dari ini juga sah-sah aja, halal! Kalian belum ada ikatan sah, ya. Gue bunuh lo kalo ngapa-ngapain Joy," cecar Wenda.
"Hajar aja, Wen, jangan dibunuh juga. Ntar gue nggak punya cowok, dong," sela Joy dengan ekspresi jenaka.
"Ya. Ya. Serah lo, dah. Gue nggak punya tenaga buat debat. Mending gue sarapan." Jaffran meninggalkan tempat itu yang diikuti Joy.
"Jadi, kapan ...," ucap Chandra berbisik di telinga kiri Wenda, hidungnya mengendus leher Wenda.
"Apanya kapan?"
"Ngelakuin yang lebih dari ini," bisik Chandra seraya dengan nakal mengecup belakang telinga Wenda.
Merasa posisinya terancam wanita itu buru-buru menarik selimut kemudian menutup wajah suaminya hingga tenggelam.
"Transfer dulu yang semalem, baru minta lebih," goda Wenda.
"Kalau aku transfer sekarang berarti bisa dapet sekarang, dong?" Chandra menaik alisnya balas menggoda Wenda.
Wenda menaikkan bahunya. Ia bangkit meninggalkan Chandra, berjalan menuju kamar yang semalam ia tempati bersama Joy. Chandra bangkit, tetapi langkahnya ia ayun ke arah meja makan.
"Selamat pagi," sapa Chandra.
Tidak, Chandra tidak menyapa pasangan yang tengah asyik saling suap nasi goreng di meja makan itu. Ia menyapa seseorang yang tengah sibuk di dapur, wanita paruh baya yang sudah beberapa kali Chandra temui.
"A Chandra!" seru wanita itu tidak percaya. "Aduh! Sekarang sudah tinggi, tambah kasep."
Chandra menggaruk belakang kepalanya, pria itu salah tingkah. Ke mana rasa percaya diri yang tinggi seorang Chandra, yang biasa ia pamerkan, lenyap seketika.
"A Chandra mau sarapan? Sudah bibi siapkan di meja makan," ujar wanita paruh baya itu.
Chandra memutar tubuhnya, melangkah ke arah meja makan yang letaknya tidak jauh dari dapur. Bola matanya berputar jengah, kenapa juga harus melirik pasangan tidak tahu ini.
"Lo berdua honeymoon?"
Pertanyaan sekaligus menyindir itu Chandra lemparkan secara tajam, tetapi tetap saja kedatangan Chandra tidak dianggap sama sekali oleh Jaffran yang sibuk menyuapkan sendok berisi nasi goreng ke mulut Joy.
"Tau, tuh! Chan, masa mereka kemarin sepanjang perjalanan mesra-mesraan, aku di belakang jadi obat nyamuk," ujar Wenda baru saja bergabung, duduk di kursi samping kiri Chandra.
"Siapa yang suruh? Kamu mau berangkat ikut sama mereka, kan udah aku bilang nanti kita nyusul. Bandel, sih." Chandra menyindir tingkah laku Wenda kemarin.
"Ish, jahat!"
Berbeda dengan Wenda dan Chandra, pasangan di meja seberang justru semakin khusuk pada satu benda, entah apa yang menarik dari ponsel Jaffran, sesekali pria itu memaparkan sebuah tempat wisata.
Jelas Chandra geram, pasangan kurang asupan makanan bergizi itu berani-beraninya mengabaikan dirinya selaku tuan rumah. Ia melemparkan gumpalan tisu, tepat mengenai dahi Jaffran.
Jaffran mendongak. "Chan, kita mau ke sini, seru deh kayaknya. Kita akan menyatu dengan alam," ujar Jaffran menyodorkan ponselnya pada Chandra.
Chandra memicingkan matanya, meneliti gambar yang ada pada layar ponsel. Sebuah gambar jembatan gantung yang terletak di salah satu kawasan kecamatan Cimenyan. Chandra membaca nama lokasi yang tertera di bawah gambar.
"Tahura Djuanda?"
"Kayaknya seru, nih. Mau ikutan nggak lo berdua?" tanya Jaffran.
"Ikut, dong. Masa iya kita nggak ikut," timbal Wenda semangat. "Iya, kan, Sayang."
"Ya ... siapa tahu kalian mau quality time, mungkin pillow talk." Joy turut dalam percakapan itu.
Chandra menaik turunkan alisnya, menggoda Wenda yang menatapnya dengan ekspresi bingung. "Gimana? Saran Joy lebih seru tuh, Sayang."
"Pillow talk itu apa?" tanya Wenda polos.
"Nanti malam aku ajarin," bisik Chandra.
Wenda menoleh, menatap Chandra tajam. Sepertinya ia paham arah ke mana pembicaraan ini. "Nggak mau!" teriaknya spontan.
Mereka tertawa renyah menertawakan tingkah polos Wenda. Sampai suara wanita yang sejak tadi bergelut di dapur menginterupsi. Ada beberapa potong buahan yang ia bawa di dalam nampan.
"Bi Surti, kamar atas kosong, kan, ya?"
Wanita itu menoleh ke arah Chandra setelah menyimpan nampan buah di tengah meja. Wajahnya seperti linglung, memperhatikan Wenda dan Joy secara bergantian.
"Istri aa Chandra teh neng geulis ini atau yang itu?" tunjukknya pada Wenda lalu bergantian menunjuk Joy.
"Lah?! Bibinya salah orang." Jaffran tiba-tiba menceletuk.
Chandra tertawa pelan. "Istri aku ini, BI. Itu pacar temen aku."
"Bibi salah. Bibi kira teh semalam, istri a Chandra yang itu. Bibi ingatnya, terakhir a Chandra liburan sama nyonya dan tuan waktu SMA kan, ya? Neng gelis yang dibawa waktu itu agak tinggi. Aduh! Maafkan bibi, ya Neng ... siapa namanya?"
"Wenda, Bi," sahut Chandra cepat.
"Ya, udah kalau begitu teh, bibi siapkan kamar yang di atas ya dulu. Permisi."
Wanita itu bergegas meninggalkan ruang makan. Wenda mencondongkan tubuhnya, kepalanya meneleng menatap Chandra.
"Kamu pernah bawa cewek ke sini?"
"Bukan dibawa, Sayang, tapi kebetulan dia mau pulang. Jadi, ya udah sekalian aja ikut, waktu itu kita lagi mau ke Bandung. Karena udah malem jadi nginep dulu di sini, terus besok pagi dianter ke rumahnya," jelas Chandra.
"Siapa?"
Chandra menghela napas. Dijawab salah tidak dijawab salah. Ini Wenda lupa, atau cuma mau cari perkara.
"Udah ah, nggak usah dibahas lagi. Lagian itu kan udah masa lalu. Aku nggak mau, ya, jauh-jauh ke sini cuma mau ngambek doang. Udah ya, sarapan dulu. Katanya tadi mau ikut mereka, mau nggak?" bujuk Chandra mati-matian agar Wenda tidak membahas perkara mantan semasa SMA.
***
"Jaf, masih tetep mau lanjut nyebrang?" teriak Chandra yang masih berada di pangkal jembatan.
Jaffran menoleh, ia dan Joy sudah jauh meninggalkan pasutri itu. Joy terkekeh melihat pasangan itu belum juga barang seinci pun melangkah maju.
"Beib, tebak hayo. Sebenernya itu yang takut Wenda apa Chandra," ucap Joy sedikit mendongak.
"Kayaknya sih, Chandra!" Jaffran tergelak, mengingat temannya itu takut akan ketinggian.
Taman Hutan Raya Djuanda, merupakan kawasan konservasi yang terpadu antara alam sekunder dengan hutan tanaman jenis Pinus. Selain hutan alaminya dan untuk berolah-raga lintas alam, di Tahura Djuanda juga terdapat objek wisata lainnya seperti Curug Omas, Curug Dago, Tebing Keraton, dan masih banyak lagi.
Dua pasang anak manusia itu memutuskan ke Curug Omas, Curug Omas merupakan sebuah titik pertemuan dari dua aliran sungai. Kedua aliran sungai ini bertemu di satu titik dan nantinya akan bersatu menjadi aliran sungai Cikapundung Hulu.
Dari atas air terjun ini terdapat sebuah jembatan yang bisa digunakan untuk melintas serta melihat air terjun dari atas. Sungguh indah hasil karya Tuhan pada alamnya.
"Beib, foto dulu kita buat kenang-kenangan sebelum kapal kita karam," ujar Jaffran asal.
Joy tertawa renyah. "Kamu kita kita di lautan? Somplak ih," ledek Joy.
"Oh, iya. Kita kan lagi di atas awan. Bukan di lautan. No karam-karam club."
"Buruan jalan!" seru seseorang refleks membuat Joy dan Jaffran yang tengah mengambil foto tersentak.
"Laki lo, mana? Lo tinggalin?"
Wenda menggerakkan dagunya, memberi isyarat jika orang dicari sedang berjalan tertatih di belakangnya. Spontan Joy dan Jaffran tertawa terbahak-bahak.
"Cemen banget idup, anjir. Sekarang yang manja lo apa Wenda?" Jaffran meledek Chandra yang sudah berdiri di depannya.
Wajah Chandra tidak bisa dikatakan baik-baik saja, ada beberapa titik butir keringat di dahinya. Tangannya mencekal kuat pinggiran jembatan, melanjutkan jalannya meski pelan.
"Sayang, nggak turun, kan?" tanya Chandra memastikan. "Kita di atas aja, ya. Biarin mereka berdua turun. Nanti kamu capek, loh. Turun ke sana nanti naik lagi."
Wenda cemberut, ia sangat ingin turun menikmati keindahan Curug Omas lebih dekat. Chandra khawatir, pasalnya untuk dapat melihat curug dengan posisi lebih bawah, harus menuruni tanggga-tangga berbatu yang ada di sebelah kanan jembatan. Setelah sampai di akhir tangga, pada sebelah kanan terdapat jembatan, disini pengunujung barulah dapat melihat curug lebih dekat.
"Oke, kita ke bawah! Jangan cemberut begitu, sini tangannya ikutin aku. Hati-hati jalannya pelan aja," titah Chandra yang akhirnya terpaksa mengalah demi istri tercinta.
Puas menikmati keindahan alam, menghirup udara asri. Memanjakan mata, cukup membuat rasa penat akan ibukota terbayar dengan lunas oleh keindahan kota Bandung.
Sekarang mereka berakhir di sini, di sebuah kafe pintu masuk. Unik bukan, ngopi dan bersantai di tengah hutan Pinus. Udara yang sejuk, suasana alam yang tiada duanya. Belum lagi menu makanan yang tersedia sangat terjangkau.
Sepasang anak manusia itu duduk bersantai, meja persegi empat berada di depan mereka. Sudah sekitar sepuluh menit mereka bersantai, menikmati kopi dan cokelat hangat. Sementara sepasang anak manusia kurang asupan garam menikmati tempat lainnya.
"Ingat sama Onty Krystal? Istrinya Om Kai," tanya Chandra pada Wenda yang duduk merapat di samping kiri, memeluk lengan kokohnya.
"Ingat. Kenapa emang?"
"Kafe ini punya Om Kai, tapi sejak menikah Onty Krystal yang kelolah."
Wenda mengedarkan pandangannya, pada pintu masuk Tahura ini terdapat tiga kafe dengan ciri khas masing-masing. Sementara yang mereka kunjungi adalah Kaimong Caffe, mengusung konsep kafe Korea yang kekinian.
"Keren, ya, tempatnya. Aku pikir kafenya itu ada di tengah kota gitu," ujar Wenda seraya menyeruput cokelat hangatnya.
"Kan udah aku bilang, kafenya deket villa papi, lupa ya?" Chandra mengusap pipi Wenda yang kemerahan akibat udara dingin.
Pria itu meraih ponselnya, menelepon seseorang. Sambungan pertama gagal, ia coba lagi sampai sambungan telepon terhubung. Tangannya yang bebas mengusap kepala Wenda yang bersandar nyaman di bahunya.
"Halo, Om. Di mana? Kita ada di Bandung, nih. Di Kaimong."
"Waduh, Om sama Onty baru aja dari Bandung kemarin. Kok nggak bilang kalau mau liburan di Bandung."
"Dadakan, Om. Biasa wanita, tiba-tiba pengin ikutan temennya weekend di Bandung."
Chandra meringis, saat cubitan Wenda mendarat di lengannya. Wanita itu tahu, jika yang sedang dibicarakan Chandra adalah dirinya. Pria itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri, hingga obrolannya bisa Wenda dengar melalui speaker ponsel.
"Masih lama nggak di Bandung? Lusa Onty ke Bandung, deh, kayaknya."
"Besok mau pulang, Om. Kita kan mesti kuliah, mesti kerja juga. Nanti kita lama-lama di Bandung. Honeymoon," ujar Chandra diiringi tawa pelan.
"Kirain sekarang honeymoon-nya." Suara gelak tawa terdengar di seberang sana.
"Iya, nanti malam, Om. Mau coba, siapa tahu khilaf, kan. Bisa pillow talk."
Tangan Wenda refleks menjambak rambut Chandra hingga ia sedikit terhuyung ke samping kiri.
"Ya, udah kalau gitu. Itu aja, Om. Salam ya buat Onty Ital."
Chandra mematikan teleponnya, wajahnya masih saja meringis. "Sakit. Sakit. Udah jambaknya, rontok semua rambut aku," keluh Chandra mengusap kulit kepalanya.
"Makanya jangan mesum, malu didengar orang nanti."
Chandra terkekeh, meraih belakang kepala Wenda agar sedikit mendekat ke wajahnya. Kecupan singkat ia bubuhkan di pipi sang istri.
"Tengah hutan, woi. Nggak takut kesambet lo berdua."
Chandra mendelik tajam, sepertinya manusia yang baru saja sampai ini benar-benar tidak sadar diri.
"Gue mau ngapain juga bini gue. Halal. Lo berdua tuh yang harusnya hati-hati," balas Chandra sengit.
Joy dan Jaffran duduk di kursi depan mereka, meja kayu persegi panjang sebagai pemisah di antara mereka.
Jaffran mengangkat tangannya, memanggil sang pegawai. "Teh, mau pesan."
Wanita yang dipanggil mendekat, membawa buku menu yang ia angsurkan ke hadapan Jaffran dengan sopan.
"Silakan, Aa, mau pesan apa?"
Jaffran menyebutkan semua yang akan ia nikmati bersama Joy. Dari minuman hingga camilan. Sang pegawai mencatat semua dengan teliti.
"Oh, iya. Tadi Pak Kai telepon, katanya untuk semua pesanan di meja ini gratis," ujar sang pegawai membuat Jaffran bersorak senang.
"Kampret! Kenapa lo yang girang, sialan! Mana makan lo lebih banyak."
"By the way, Pak Kai itu siapa?" tanya Jaffran mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Temennya bokap gue, sekarang dokternya Wenda."
Jaffran menjentikkan jarinya. Telunjuknya bergoyang mengarah ke wajah Chandra.
"Ini yang gue paling demen jalan atau nongkrong sama lo, setiap penjuru daerah mesti ada aja yang baik gratisin makan. Entah temen bokap lo lah, ibu-ibu arisan nyokap lo lah," ungkap Jaffran tidak tahu diri.
"Dasar! Bujang gratisan. Buruan bentar lagi malam, nih. Pulang!"
Jaffran melirik jam pada ponsel Chandra yang disimpan di atas meja. "Baru juga jam empat sore, buru-buru amat. Mau ngapain sih di vila, mending nikmati aja dulu yang ini."
Chandra melirik Wenda yang asyik melihat-lihat foto yang ia ambil tadi. Sepertinya wanita itu tidak akan peduli dengan apa yang akan Chandra katakan.
"Gue mau nikmati yang lain, dong. Mau pillow—" Belum juga rampung ucapan Chandra kepalanya sudah terhuyung kembali oleh jambakan Wenda. "Iya. Iya, Sayang. Sakit. Sakit."
"Makanya jangan mesum di sini!" omel Wenda.
"Kalau mesumnya nanti di vila, boleh? Nanti malam pillow talk?"
Wenda memutar bola mata malas. "Terserah!" Ia bosan harus menjawab seperti apa lagi.
"Yes, nanti malam, ya," goda Chandra yang mendapat lemparan sendok kecil dari Jaffran.
Benar-benar mesum ini orang. Sialnya ini laki gue. Gimana dong? dibuang sayang.
Tanjung Enim, 28 Agustus 2021
Selamat sore, apa kabar semuanya?
Cuma mau kasih info, bab ini mencapai 2383. Semoga gak gumoh ya.
Salam
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top