18. Bandung

Tahu di mana letak tanda bintang? Jangan lupa ditekan, ya.

Mari bantu temukan Typo dan salah penulisan. Siapa tahu Nemu jodoh.
💙

***

Suara nyaring dari operator sambungan telepon terdengar ngilu, Chandra belum juga beranjak keluar dari mobilnya. Pria itu masih berusaha menghubungi nomor sang istri. Lagi-lagi pemberitahuan itu mengabarkan bahwasanya nomor itu tidak bisa dihubungi.

Chandra menyimpan ponselnya kasar di dashboard, bergegas memutar kontak mobilnya, menyalakan mesin dan bersiap melaju meninggalkan parkiran mal itu. Rencananya untuk membeli baju ganti ia urungkan, ada yang lebih penting dari sekadar baju ganti, yaitu istrinya.

Kereta besi yang Chandra kendarai dengan mantap menembus jalanan Ibukota. Jakarta dan Bandung, merupakan dua kota metropolitan yang jarak lokasinya cukup dekat. Hanya berjarak kurang lebih 135 kilometer, jika kondisi normal bisa ditempuh dalam waktu dua sampai tiga jam, tetapi jika sudah macet bisa-bisa menginap di sepanjang perjalanan.

Namun, sialnya perjalanan Chandra menuju Bandung bertepatan dengan long weekend, banyak keluarga lain menghabiskan liburan singkat ke luar kota dan pria itu berpotensi terjebak kemacetan.

Chandra memutar setir, mobilnya memulai rute dengan memasuki Simpang Susun Cawang di kawasan Jakarta Timur, kemudian mengambil jalan lurus timur menuju tol Cikampek.

Laju mobilnya bergerak pelan, sangat menjengkelkan terjebak macet di kala pikiran sedang kalut. Tangannya meraih kembali ponsel pada dashboard, mendial nomor Jaffran. Namun, ponsel temannya itu pun sama tidak dapat dihubungi. Chandra kembali menghubungi nomor lain, butuh beberapa kali dering barulah terdengar suara di seberang sana.

"Halo, Joy. Wenda mana?" tanya Chandra tidak sabaran.

Suara gelak tawa terdengar nyaring di seberang sana. "Tarik napas dulu, Chan. Sabar ... sabar. Bini lo ada, nggak akan kita tukar dengan jagung rebus. Itu dia di belakang tidur," ujar Joy seraya melemparkan candaan.

Chandra sedikit menarik napas lega. "Dia aman, kan?"

Lagi-lagi suara gelak tawa terdengar, tetapi kali ini suara Jaffran yang menimpali. "Bini lo aman, Chan. Dia pinter nggak mabok di perjalanan. Nanti kalo mabok gue kasih obat anti mabok."

"Sialan! Di mana lo, setan? Udah sampe mana kalian?"

"Baru mau masuk tol Cipularang, gila macet parah, njir. Sampe sepuluh kilometer ini kayak, ada."

"Ya, udah. Itu aja, gue tutup. Bilang Wenda nanti telepon gue."

Pria itu buru-buru menekan tanda merah, mobil di depannya sudah mulai bergerak lenggang. Helaan napas terdengar semakin gusar. Ban mobil Chandra benar-benar bergerak lambat.

***

Luar biasa kemacetan yang ditempuh Chandra, memakan waktu hingga tujuh jam perjalanan. Mata lelahnya melirik jam tangannya, sudah pukul sebelas malam lewat, bahkan hampir tengah malam.

Chandra sudah berada di Bandung barat di kawasan Cimenyan. Mobilnya melaju melewati bukit-bukit dan pepohonan Pinus menuju vila milik orang tuanya.

Pintu gerbang tinggi di hadapannya tertutup rapat. Chandra menekan klakson beberapa kali, tetapi tidak ada gerakan dari pintu besar itu. Ia meraih ponselnya, mencari nomor penjaga vila.

"Mana lowbet lagi handphone gue," gumam Chandra saat melihat baterai ponselnya kurang dari lima belas persen.

Ia menempelkan ponselnya, merapalkan doa agar teleponnya diangkat sebelum ponselnya mati. Nada sambung terdengar syahdu, suara gemerasak terdengar setelahnya.

"Selamat malam, Mas Chandra." Suara di seberang sana terdengar.

"Malam, Mang. Mang Supri udah tidur? Maaf mengganggu, aku ada di gerbang, Mang. Bisa minta tolong dibuka?"

"Oh, hapunten, Mas. Antosan sakedap. Saya bukankan," ujarnya dengan suara sopan dan diselingi bahasa Sunda.

Sepuluh menit mobil Chandra berdiam di depan pintu gerbang, sama akhirnya terbuka juga. Pria dengan tubuh sedikit berisi dan cukup tinggi itu terlihat di balik gerbang, ia merapatkan jaketnya sebelum akhirnya mendorong benda mati itu agar terbuka lebar.

Chandra menekan pedal gas, masuk melewati Mang Supri. Pria itu turun dari saat sudah memastikan mobilnya terparkir dengan benar di depan sebuah vila luas, bersebelahan dengan mobil Jaffran.

Chandra bergidik saat udara malam kota Bandung menyapa kulitnya yang hanya berbalut kemeja yang lengannya ia gulung hingga siku. Udara Bandung pada dasarnya sudah dingin, terlebih lagi Chandra berada di lokasi perbukitan.

"Mang Supri, maaf mengganggu istirahatnya," ucap Chandra sungkan saat pria itu sudah mendekat.

"Tidak apa-apa, Mas. Saya belum tidur, biasa masih patroli," balasnya membenahi kupluknya.

Chandra mengusap-usap lengannya, mengusir hawa dingin yang menembus pori-pori kulitnya. Dinginnya kota Bandung tidak main-main.

"Istri aku sama dua orangnya udah datang, kan, Mang?" tanya Chandra sedikit bergetar, menahan angin malam yang luar biasa.

"Ah, itu mereka sudah datang, Mas. Sakitar jam salapan."

Chandra mengernyitkan dahinya. Apakah dinginnya angin malam juga bisa menurunkan daya pikirnya?

"Udah jam sarapan? Ini masih ...." Chandra melirik jam tangannya "jam dua belas malam, Mang."

Pria itu tersenyum, ia paham Chandra tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan barusan. Anu, maksud saya teh, sudah datang jam sembilan tadi, Mas. Bahasa Sunda salapan teh artinya sembilan."

Chandra hanya bisa mengangguk, tidak bisa berucap apa-apa lagi. Sekujur tubuhnya benar-benar membeku tidak sanggup menahan dingin.

"Ah, maaf ... maaf, Mas. Sudah tidak kuat, ya, dinginnya? Hayuk masuk, mamang antarkan. Setelah ini mah tidak akan dingin lagi Mas Chandra, kan sudah ketemu istrinya. Istri Mas Chandra geulis pisan."

Belum tentu, Mang. Nggak tahu aja tadi bini gue ngambek matiin HP-nya. Boro-boro bisa peluk, jangan-jangan ini gue langsung diusir.

Chandra hanya menyengir, sesekali meringis masih berusaha menahan dingin. Langkahnya mengikuti Mang Supri yang mengantarkannya ke depan pintu depan. Pria itu berbalik menghadap Chandra, menyerahkan kunci.

"Ini teh kunci cadangan yang biasa mamang pegang, pakai saja untuk masuk. Tadi teman Mas Chandra pegang satu, kasihan kalau mau minta bukain temannya. Mungkin udah pada istirahat."

Chandra meraihnya, sedikit mengangguk. "Makasih ya, Mang."

"Sama-sama, Mas. Kalau ada butuh apa-apa telepon saja mamang, bibi sama mamang tinggal di rumah belakang. Besok pagi-pagi istri mamang siapkan sarapan untuk Mas Chandra dan yang lain juga."

Chandra membulatkan matanya. Pria ini begitu baik dan jujur, tidak salah jika orang tuanya mempercayakan Mang Supri untuk menjaga vila ini.

"Tidak usah repot-repot, Mang Supri. Kita bisa sendiri. Asal ada bahan makanan aja."

"Atuh tidak apa-apa, Mas. Ini sesuai amanat nyonya di Jakarta."

Chandra tersenyum canggung. Lagi-lagi Ibu Sisca yang ambil kendali. "Ya udah, kalau begitu aku masuk dulu, Mang Supri. Permisi."

"Mangga, Mas."

Chandra menghentikan gerakan memutar gagang pintu. "Hah? Manis, Mang?"

Mang Supri tertawa pelan. "Maafkeun mamang ya, Mas. Mamang teh tidak begitu lancar bahasa Jakarta. Mangga teh artinya iya, silakan."

"Oh, begitu," sahut Chandra tidak enak hati. "kalau begitu aku masuk dulu, ya, Mang."

"Silakan, Mas. Mamang kembali lagi ke belakang, ya."

Chandra menapaki lantai ubin yang dingin, lampu ruangan sudah dimatikan semua, hanya tersisa ruang tengah yang masih menyala. Heningnya suasana menandakan penghuni sementaranya sudah terbuai di alam mimpi.

Chandra terus menyusuri tiap ruangan, hingga sampai ke depan pintu sebuah kamar. "Jaffran tidur di mana? Wenda pasti tidur sama Joy. Nggak mungkin kan si bangke tidur sama Joy," gumamnya.

Pria itu masih bingung, menerka-nerka di mana keberadaan temannya. Di kamar sebelah kanan atau kiri? Ia tidak berani sembarangan membuka pintu kamar, iya jika beruntung menemukan kamar Jaffran yang tidur sendiri, kalau kamar Joy dan Wenda? Dengan Wenda tidak jadi masalah, Joy? Pasti akan terasa canggung.

Eh, si kampret nggak tidur di kamar yang sama kan dengan Joy?

Chandra menggeleng, mengusir pikiran jahat pada temannya itu. Ia tahu Jaffran dari keluarga yang taat beragama, tidak mungkin berbuat seperti itu, tetapi ... siapa yang tahu kalau ada setan lewat?

Pria itu kembali ke ruang tengah, setidaknya untuk beberapa jam sampai siang ia bisa tidur di sofa yang ada di sana. Ia mengatur posisi tidurnya, sofa ini terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya tinggi, membuat posisinya tidak nyaman.

Chandra melirik di samping kabinet, ada matras tergulung di sana, ia bangkit meraih dan membentangkan di depan sofa. Meskipun matras ini tidak begitu empuk seperti kasur, setidaknya ia bisa sedikit nyaman dan tidak dingin tidur di lantai.

***

Entah sudah berapa lama ia memejamkan matanya, menurutnya baru saja berubah meraih mimpi, tetapi guncangan di bahunya sangat menggangu.

"Apaan, sih, Jaf. Gue baru tidur ini." Chandra terusik tidurnya diganggu dengan seseorang yang mengguncang bahunya.

"Chan," panggilnya.

Sontak Chandra membuka matanya lebar saat yang ia dengar bukan suara Jaffran melainkan suara istrinya.

"Sayang ...."

Wenda duduk, lututnya bertumpu di pinggir matras. "Kamu kok udah ada di sini?"

Chandra meraih tangan Wenda, ia jelas mengingat Wenda yang kemarin mematikan ponselnya, membuatnya hampir kehilangan akal.

"Aku nyusul kamu, Sayang."

Wenda bangkit meninggalkan Chandra. Ada rasa tersentil di sudut hati pria itu. Matanya mengikuti Wenda yang kembali ke arah kamarnya.

Beneran marah nih dia. Haduh!

Chandra berusaha tidur kembali, setidaknya tubuhnya butuh istirahat. Urusan Wenda biar jadi urusan besok. Ia kembali membuka mata, saat kain tebal hinggap di atas tubuhnya yang berbaring miring.

Wenda menyelimuti tubuh Chandra, memberi bantal pada kepalanya. Sejurus kemudian wanita itu pun turut masuk ke dalam selimut yang sama, lengannya yang ramping memeluk erat pinggang suaminya.

Chandra tersenyum, gemas sekali dengan wanita ini. Kadangkala ia bersikap manja layaknya bayi, kadangkala bersikap manis seperti sekarang ini.

"Kamu kenapa bangun, Sayang? Kan masih malam ini."

Wenda membenahi posisinya, pipinya menempel di dada Chandra. "Aku haus. Jadi, ke dapur buat minum. Aku liat udah jam empat, kamu bilang subuh-subuh mau berangkat. Jadi, aku tungguin aja," jelasnya panjang lebar.

"Tapi ternyata aku udah ada di sini?"

Wenda mengangguk. "Kamu kok bisa langsung nyusul?"

Chandra mengeratkan pelukannya. "Disuruh mami!"

"Kok nggak tidur ke kamar Jaffran?"

"Aku nggak tau Jaffran tidur di kamar mana, daripada salah masuk kamar. Ya udah aku tunggu tidur aja di sini."

Tubuh Wenda sedikit terangkat, wajahnya dan Chandra sejajar. "Kamu jangan gini lagi, ya, Sayang. Aku dimarahi mami, loh."

Masih posisi yang sama, Wenda menyahuti ucapan suaminya. "Emang mami marahnya gimana?"

"Kamu tuh gimana, sih. Jagain istri nggak pernah bener." Chandra menirukan ucapan maminya.

Wenda tertawa pelan mendengar cibiran Chandra. Wanita itu paham betul bagaimana sang mertua memarahi anak semata wayangnya jika berurusan dengannya.

"Mami juga titip uang jajan buat kamu," ujar Chandra memberitahu.

Wenda beringsut, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang suami. "Buat kamu aja."

Chandra mengernyitkan dahinya, tumben sekali wanita ini tidak bertanya lagi langsung memberikan untuknya. "Buat aku aja? Yakin? Ya udah aku setengahnya aja, setengah buat kamu. Mayan buat kamu beli skincare sama beli kertas ganteng ... kertas ganteng yang kamu sebut itu."

Wenda menjauhkan wajahnya, matanya mengerjap berulang. Membuat bulu matanya yang lentik bergerak anggun.

"Emang mami kasih berapa?"

"Satu juta," sahut Chandra enteng.

Wenda menutup mulutnya, ia cukup terkejut. "Woaah! Banyak, Chan. Nggak jadi aku kasih kamu. Mana duitnya?"

Chandra tertawa renyah, mengusap kepala Wenda. "Nanti aku transfer."

"Sekarang, Chan. Mau sekarang transfernya."

Pria itu memicingkan mata, alisnya satu terangkat tinggi. "Kiss dulu dong kalau mau sekarang."

Tanpa menunggu lebih lama, wanita itu menempelkan bibirnya di atas bibir Chandra. Mengecup pipi sang suami.

Chandra meraih wajah Wenda, menghujani inci wajah istrinya dengan kecupan hangat. Menyesap belahan bibir Wenda. Posisinya telah berubah, wanita itu berada di bawah kukungannya. Ciuman basah seolah menyalurkan rasa rindu mereka. Tangan Chandra aktif menjelajah leher hingga ke balik piama Wenda.

Wenda meringis, saat telapak tangan hangat Chandra bermain di sana. Pria itu mengecup bibir istrinya sekali lagi.

"Aku sayang kamu."

Tanjung Enim, 25 Agustus 2021

Selamat pagi semua. Bagaimana hari rabunya? Kapal sungjoy masih ada penumpang, atau tetap berlayar sebelum undangan disebar. Wkwkk

Nggak apa-apa sungjoy karam, yang penting Jaffran Joy tetap jalan meski somplak.

Salam
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top