17. Perintah Mami.
Hari ini polower berkurang satu 😂
Tandai typo dan salah penulisan ya teman-teman yang baik hati dan berbudi luhur
💙
***
Chandra menelisik layar komputer di depannya, tangannya membolak-balik lembar demi lembar kertas laporan. Dahinya mengernyit saat menemukan ada yang ganjil pada tulisan deretan angka yang ia tertera. Ia memijat pelipisnya, masih berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya. Namun, pikirannya tetap terarah pada Wenda.
Ponsel yang ia simpan di samping keyboard komputer, masih belum ada tanda-tanda mengantarkan berita. Chandra mengetuk layar benda canggih tersebut, menampilkan foto dirinya dan Wenda sebagai wallpaper. Netranya bergulir melirik jam pada ponselnya, sudah hampir pukul dua siang.
Ini kok belum telepon, udah berangkat apa belum. Atau udah jalan? Udah sampe mana.
Tidak lama, ponselnya bergetar singkat. Pada pop up teratas ada nama Jaffran yang muncul. Bergegas Chandra membuka pesan itu.
Jaffran:
Bro, kirim alamat vila lo. Gue lupa-lupa ingat alamatnya.
Tanpa berpikir dua kali, Chandra segera menekan tombol hijau. Sambungan telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya, diangkat juga oleh teman laknatnya ini.
"Halo, Bro," sapa di seberang sana dengan nada bahagia.
"Di mana? Udah berangkat? Wenda mana?"
"Wenda? Masih di rumah kalian lah. Ini gue masih di rumah Joy. Biasa ... izin sama calon mertua dulu." Suara kekehan terdengar setelahnya.
"Oh, ya udah gue telepon Wenda aja. Gue titip Wenda ya. Maaf kalo dia nanti ngerepotin kalian," pinta Chandra melirih.
Melalui speaker ponsel, suara Jaffran tergelak semakin kencang. "Lo tenang aja, bini lo itu nggak akan lecet. Percaya sama gue, Wenda nggak akan ngerepotin kita. Dia bisa jaga diri dia, lo aja yang lebay."
Chandra berdecak tidak terima dikatakan berlebihan. Memang ada yang salah dari mengkhawatirkan istrinya? Bukan suatu kesalahan, bukan?
"Hah, iyalah ... iyalah. Gue titip Wenda pokoknya. Alamat nanti gue chat, sekalian no HP penjaga vilanya."
Chandra menutup telepon secara sepihak, menyimpannya di atas keyboard setelah mengirimkan alamat vila pada Jaffran. Sungguh perasaannya tidak tenang membiarkan Wenda pergi bersama mereka. Bukan Chandra tidak percaya pada kedua temannya, hanya saja rasa khawatir itu terus saja mengganggu fokusnya.
Ia merebahkan punggungnya pada sandaran kursi kerja, lengannya bertumpu di dahi. Rasanya penat sekali kepalanya. Sepuluh menit Chandra memejamkan matanya, ia tidak tidur atau mengantuk. Namun, cara ini mungkin saja bisa mengurangi gelisahnya.
Ponselnya bergetar, bergegas ia meraih benda canggih itu. Nama Wenda tertera di sana.
"Halo, Sayang."
"Chan, Jaffran udah jemput nih, bentar lagi berangkat." Wenda memberitahu.
"Iya, Sayang. Kamu hati-hati, ya. Baik-baik. Besok aku susul kamu. Subuh-subuh aku berangkat."
"Hmm ... aku tutup, ya. Nanti aku kabarin kalau udah di Bandung."
"Iya, Sayang. Aku bakal kangen kamu," ucap Chandra sebelum panggilan itu benar-benar terputus.
Chandra lagi-lagi menarik napas dalam dan mengembuskan pelan, mengusir rasa gelisah yang masih setia bercokol di hatinya. Ia menegakkan tubuhnya, kembali meraih laporan yang harus ia selesaikan. Tangan kanannya bergerak lincah di atas mouse dan keyboard, menginput satu per satu laporan gudang.
Sudah satu setengah jam Chandra berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya kembali. Netranya fokus pada satu kolom, otaknya mencerna bagian ini, tetapi tetap saja gagal. Chandra mendorong kursinya sedikit keluar dari kubikel, hendak meminta bantuan teman satu rekannya—Ridho. Namun, dering ponselnya lagi-lagi mengacaukan kinerja otaknya. Kali ini bukan Wenda atau Jaffran yang menelepon, melainkan mami.
Chandra menggeser tanda hijau. "Halo, Mi."
"Chan, Wenda nggak ke butik? Besok kalian mau liburan, kan? Mami mau kasih uang jajan buat dia. Mami telepon nggak aktif nomornya."
Pria itu menggaruk belakang kepalanya. "Wenda kan udah ke Bandung, Mi."
"Loh?! Bukannya kalian besok berangkatnya?"
"Yang besok itu aku, Mi. Wenda udah duluan sama Jaffran dan Joy."
Suara mami meninggi. "Kok bisa? Kamu ini gimana, sih. Masa istri dibiarin pergi tanpa kamu. Bukannya dicegah. Kamu susul sekarang!"
"Mi, aku udah cegah, tapi mami tahu sendiri gimana Wenda. Lagian besok pagi aku susulin. Sekarang aku masih nyelesaiin kerjaan aku."
"Tinggalin kerjaan itu. Nanti mami telepon papi. Sekarang kamu susul Wenda atau mami yang ke Bandung bawa Wenda pulang. Jagain istri nggak pernah benar, heran."
"Iya. Iya. Aku izin pulang dulu sama HRD, terus balik ke rumah."
Decakan tajam terdengar nyaring di telinga Chandra. Wanita di seberang sana terdengar geram. "Ngapain pulang ke rumah. Kamu susul Wenda sekarang!"
Tangan Chandra memijat pangkal hidungnya. Pening sekali permasalahan yang ia hadapi hari ini. Bagaimanapun penjelasan dan pembelaannya tetap saja tidak berguna.
"Mi, aku harus ambil baju ganti untuk tiga hari di Bandung. Masa aku nggak ganti-ganti."
"Nggak usah pulang! Beli aja baju salin. Mami transfer," ujar wanita itu masih dengan nada kencang dan menutup telepon tiba-tiba.
Chandra melempar ponselnya ke atas meja, dentuman itu cukup menarik perhatian Ridho yang sejak tadi memperhatikan perdebatannya dengan sang mami.
"Chan, lo waras?" tanya pria itu menarik kursinya mendekat ke arah kubikel Chandra.
"Hampir gila, Bang," sahut Chandra asal seraya membereskan tumpukan laporan. Menyimpan data pekerjaannya di komputer. "Pusing gue, Bang. Bini pergi ke Bandung, mami marah-marah kenapa nggak dicegah. Padahal gue udah cegah, bukan ngebiarin gitu aja."
"Ribet, ya. Hebat sih lo. Sudah berani tes mental dengan berumah tangga," pungkas Ridho.
Chandra meringis masih terus membereskan pekerjaannya, ia tidak menyahuti lagi ucapan pria yang sudah kembali ke kubikelnya. Sampai ... suara ketukan sepatu hak tinggi pada lantai terdengar mendekat ke arah Chandra.
"Chan, ini surat izin kamu," ujar seseorang wanita dengan setelan cokelat muda. Ia mengangsurkan selembar kertas yang sudah ditandatangani manajer HRD.
Chandra meneliti surat izin itu. Dia belum meminta izin pada HRD, tetapi surat itu sudah lebih dulu sampai ke mejanya.
Pastilah mami udah telepon papi. Benar-benar mami kalo urusan Wenda.
Chandra meraih kertas tersebut, ia mendongak. "Makasih, ya, Kak Mira."
"Sama-sama, Chan. Kamu mau pulang juga?"
Chandra mengangguk, ia melirik wanita itu menjinjing tas kerjanya. "Kak Mira ...."
"Iya, aku izin pulang cepat juga. Soalnya tadi suster di day care Shena telepon. Katanya, Shena jatuh dari perosotan. Nggak kenapa-kenapa, sih. Cuma anaknya nggak mau berhenti nangis," jelas wanita itu.
"Shena di day care mana, Kak?"
"Di mal kelapa gading."
"Ya, udah bareng aku aja, Kak. Aku kebetulan ada mau beli sesuatu juga."
Wanita itu mengangguk, ia berjalan mendahului Chandra hingga ke depan pintu lift. Suara denting lift terdengar, mereka masuk ke ruang yang akan membawa mereka ke lantai dasar.
Chandra melirik ponsel yang bergetar di genggamannya, ada pesan masuk. Bergegas ia membuka pesan itu, takut-takut ada pesan penting. Namun, kali ini pesan tersebut sangat penting dan Chandra butuhkan.
Sebuah notifikasi dari mobile banking-nya, ada transfer masuk. Chandra membaca pengirimnya atas nama wanita yang tadi mengeram, meninggikan nada bicara, bahkan memberikan perintah untuk segera menyusul Wenda.
Tumben Ibu Sisca baik banget. Tiga juta lagi ditransfernya.
Satu pesan lagi masuk, chat dari mami yang membuat Chandra menarik senyum datar.
Mami:
Udah mami transfer, dua juta buat kamu beli baju salin dan tambahan biaya kalian selama di sana. Satu juta lagi buat jajan Wenda.
Chandra berdecak kencang. "Iya sih dua juta, tapi buat keperluan semuanya ada di sini. Wenda satu juta bersih buat dia doang," gumam Chandra membuat wanita di sampingnya menoleh.
"Ada apa, Chan?"
"Ah, nggak kenapa-kenapa, Kak." Chandra menyengir salah tingkah.
Pintu lift terbuka, mereka bergegas keluar menuju tempat di mana Chandra memarkirkan mobilnya. Ia masuk ke dalam mobil diikuti Amira, menyimpan ponselnya di dashboard, lalu mengencangkan sabuk pengaman.
Belum juga mesin mobil dinyalakan, ia teringat akan sesuatu. Chandra menoleh ke arah samping kiri. "Maaf, ya, Kak. Aku mau telepon ke rumah dulu," ucap Chandra.
Ia menempelkan ponselnya ke telinga saat nomor yang ingin ia hubungi telah ia temukan. Dering telepon terdengar sebelum panggilannya terjawab.
"Halo, Bi. Bi Yati udah pulang? Bi aku mau ke Bandung nyusulin Wenda. Bi Yati bisa jagain rumah nggak?"
"Neng Wenda kenapa, Mas? Tadi pamit sama bibi baik-baik aja."
"Nggak, Bi. Wenda baik-baik aja, Kok. Ini aku dapat perintah dari mami harus nyusul sekarang, nggak boleh ditunda. Ngamuk nanti Ibu Ratu mantunya nggak segera disusulin." Chandra tertawa pelan.
"Baik, Mas. Bibi jaga rumah."
Chandra menarik garis senyum. "Makasih ya, Bi. Oh, iya, Bi. Chabe sama Chanda jangan lupa dikasih makan, makanannya ada di kabinet bawah. Ada nama di wadahnya. Titip rumah sama anak-anak, ya, Bi."
Obrolan itu membuat Amira terabaikan sejenak. Chandra melirik ke samping kiri, netra mereka bertemu. Wanita itu tersenyum simpul.
"Maaf ya, Kak. Kelamaan jadinya."
"Nggak apa-apa, Chan. Santai aja. Oh, iya tadi kakak dengar ada Cha ... siapa namanya? Anak-anak?"
Chandra menyimpan ponselnya kembali pada dashboard, tangan kirinya menarik tuas rem tangan, mulai menginjak kopling dan gas mobilnya.
"Chabe sama Chanda, Kak. Anak-anak aku sama Wenda."
Wanita itu mengerutkan dahi. "Kucing?"
"Kura-kura Brazil sama ikan hias." Ia menyengir membanggakan kedua anaknya di depan Amira.
Amira mengangguk. Tersenyum dalam. "Belum ada niatan ngemong baby beneran, Chan?"
Sontak Chandra menoleh. "Lagi usaha, Kak. Mungkin belum dikasih rejeki sekarang," lirih Chandra.
Tidak ada obrolan setelahnya, mereka saling sibuk dengan isi kepala masing-masing, sampai mobil Chandra memasuki parkiran sebuah mal di kawasan kelapa gading. Mereka masih saling diam, dan belum ada yang beranjak keluar dari mobil.
Ponsel Chandra lagi-lagi berdering, ia membalik ponselnya. "Wenda?" gumamnya seraya menggeser tanda hijau.
"Halo, Sayang."
Tidak ada rasa canggung, Chandra menyambut telepon dari istrinya dengan panggilan sayang.
"Kamu di mana? Masih di kantor?"
Bilang nggak, ya, kalau gue nyusulin sekarang? Nggak usah deh. Biar kejutan.
"Iya, nih. Kalian udah sampe mana?"
"Masih di rest area. Tadi kejebak macet. Jadi lama, baru keluar sekarang."
"Oh, gitu. Kamu baik-baik, kan? Aku kangen kamu," ujar Chandra tanpa memedulikan ada orang lain di sini.
"Chan, makasih, ya, udah repot-repot nganterin. Kamu mau ditemani nyari sesuatunya?" Tiba-tiba tanpa diduga Amira menyela obrolan.
"Kamu lagi sama siapa? Kok suara cewek?"
"Hmm itu ...." Chandra menjauhkan ponselnya dari telinga, tidak terdengar lagi suara Wenda. "Halo, Sayang?"
Sambungan telepon terputus, Chandra mencoba menghubungi nomor Wenda kembali. Namun, suara operator terdengar tanda ponsel wanita itu tidak aktif.
Chandra menatap lamat layar ponsel. Ada satu lagi pesan masuk yang belum ia buka, Chandra memeriksa pesan dari siapa itu.
Bang Ridho:
Chan, gue tau lo orangnya baik. Baik banget malahan, suka bantuin orang. Kalo lo mau denger saran dari gue, yang lo lakuin tadi terlihat kurang enak dipandang.
Gue paham lo cuma mau nebengi Mbak Mira, tapi status kalian nggak pantes buat begitu. Apalagi kalian cuma berdua di mobil. Lo nggak tahu, kan. Semua orang di kantor tadi pada ngeliatin.
Gue bukan sok tahu, sih. Gue peduli sama lo udah kayak adik gue sendiri. Hati-hati, ya.
Chandra membaca dengan saksama barisan pesan panjang dari Ridho. Ya pria itu benar, Chandra terlalu baik, bahkan ia tidak berpikir dampak ke depan bagaimana, yang ia tahu hanya membantu orang.
"Kak Mira, maaf, Kak. Silakan Kakak lihat keadaan Shena. Aku bisa cari sendiri barang yang mau aku beli."
Secara tidak langsung pria itu mengusir wanita yang ada di sampingnya. Otaknya memikirkan tiap pesan dari Ridho. Ia memang ceroboh, mungkin setelah ini akan ada kesalahpahaman lagi dengan istrinya, setelah tadi wanita yang ia cintai itu mendengar suara Amira di sekitarnya.
Tanjung Enim, 21 Agustus 2021
Selamat siang. Sudah lunch?
Apakah kalian sudah menemukan konflik sejauh ini?
Salam Sayang 💋
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top