14. Senopati

Pergi ke warung Mbak Caca beli sandal swalow.
Sebelum membaca, bolehlah difollow.

Tandai typo dan salah penulisan ya, geng. 💙💙

***

Senandung bahagia terdengar dari bibir pria tinggi itu, sesekali siulannya terdengar riang. Gerakan memutar kemudi memarkirkan mobilnya terasa menyenangkan. Ia mendorong pintu mobil agar terbuka saat mesin kereta besi itu sudah mati beberapa menit yang lalu.

Langkahnya terasa ringan, menapaki barisan lantai keramik menuju pintu kaca berukuran besar. Seorang dengan gagah lengkap dengan seragam sekuriti menyapa dengan ramah saat pintu itu sudah ia tarik sempurna hingga terbuka lebar.

"Selamat sore, Mas Chandra. Mau jemput Ibu, Mas?"

Chandra menggaruk pelipisnya. "Jemput istri saya dong, Pak Bambang. Mami kan bisa pulang sendiri."

Pria bernama Bambang itu tersenyum canggung. "Iya maksud saya, Ibu Wenda, Mas."

Chandra tergelak, tangannya menepuk bahu Pak Bambang sebelum berlalu meninggalkan. "Jangan panggil Wenda ibu, Pak. Bisa ngamuk dia nanti."

Chandra terus mengayunkan kakinya menuju lift yang akan membawa tubuhnya ke lantai atas. Ponsel di sakunya berdering panjang, tangannya meraih cepat mengangkat panggil sang istri.

"Iya, Sayang."

"Di mana?" Suara di seberang langsung menodongkan pertanyaan keberadaannya.

"Baru mau masuki lift."

"Lift kantor? Tumben jam segini baru keluar kantor. Nggak lupa jemput aku, kan?"

Chandra menahan tawanya, suara berdenting terdengar. Pintu lift terbuka, ia melangkah masuk. "Iya, lift kantor. Tadi lagi banyak kerjaan. Jadi, maaf ya telat jemput kamu," jelasnya berbohong.

"Ya, udah deh. Kamu cepet jemputnya, aku udah nunggu dari tadi."

Pria itu mendongak, tinggal satu lantai ia sampai ke tempat wanita bawel yang sedang bertelepon dengannya. "Kalau aku cepet sampai sana, kira-kira dapat kiss nggak—"

Belum juga semua perkataan Chandra rampung, telepon sudah Wenda matikan tanpa memberi aba-aba. Pria itu hanya terpaku menatap layar ponselnya yang sudah menghitam.

Pintu lift terbuka, dengan tergesa ia mengayunkan tungkainya ke ruangan di ujung koridor, tempat di mana wanita tercintanya berada. Baru saja tangannya terangkat hendak mengetuk pintu kayu bercat putih gading di depannya, tetapi ia urungkan.

Biarin deh, langsung masuk aja biar kejutan.

Suara percakapan di dalam ruangan menghentikan pergerakan Chandra meraih handel pintu yang sudah sedikit terbuka. Obrolan dua orang wanita yang sangat Chandra kenali.

"Tia, kamu tahu kan? Wenda punya fobia soal kehamilan. Ini sebabnya saya memindahkannya ke ruangan saya."

"Iya, Bu. Saya tahu soal fobia Mbak Wenda yang itu."

Suara jawaban dari wanita satunya terdengar lebih lembut dan pelan. Chandra tahu wanita bernama Tia itu sedang mengobrol dengan maminya. Namun, bukan itu yang membuat Chandra mematung menghentikan gerak tubuhnya. Ada nama Wenda yang mami sebut, menjadi alasan mengapa pria tinggi itu menguping pembicaraan mereka.

"Kemarin Chandra kasih kabar, katanya Wenda kembali takut lagi. Padahal sudah lama sekali Wenda tidak seperti itu."

Sejak kejadian dua tahun lalu, Chandra selalu membagi ceritanya pada mami seputar fobia Wenda. Pria itu tidak mau lagi kena amuk sang mami perkara bertindak mengambil keputusan sendiri.

"Apa karena saya, Bu?"

Karena Kak Tia? Tapi kemarin Wenda nggak nyebut Kak Tia sedikit pun ke Om Kai.

"Saya tidak menyalahkan kamu, Tia. Saya pun pernah merasakan. Saat kandungan sudah membesar, kita akan merasa lebih pengap, lebih susah bergerak. Saya paham itu, tapi mungkin tidak untuk Wenda. Bisa saja saat melihat kamu kesulitan bergerak, ia merasa itu menyakitkan. Hal itu bisa memicu pikiran buruknya tentang kehamilan."

"Saya harus bagaimana, Bu?" tanyanya dengan suara pelan, tetapi masih jelas terdengar.

"Kamu tidak perlu bagaimana-bagaimana. Sebisa mungkin kamu jangan cerita ke Wenda ya, tentang sulitnya mengandung. Ceritakan yang happy-happy aja. Ya, sudah kalau begitu kamu ke selesaikan pekerjaan kamu lagi, ya."

"Oh, baik, Bu. Saya permisi ke toilet lagi, Bu. Biasalah, Bu."

Suara gelak tawa renyah mami terdengar hingga ambang pintu. "Sudah mulai beser kamu, bolak balik toilet."

Chandra masih berdiri membeku di depan pintu, niatnya mengejutkan sang istri, tapi justru ia dikejutkan dengan obrolan ini.

Mami sayang banget sama Wenda. Maafin kami, Mi. Keadaan Wenda membuat mami, Kak Tia atau orang lain ikut repot.

"Mas Chandra?" Panggilan ke sekian wanita hamil ini memecah lamunan Chandra.

"Eh? I-iya, Kak?"

Wanita itu mengusap perut besarnya, senyum manisnya tersungging. "Kok melamun di sini?"

"I-itu aku mau jemput Wenda, Kak."

"Mbak Wenda di sana, Mas. Di ruangan Ibu," tunjuk Tia.

Chandra menggaruk belakang kepalanya. Ia sudah tahu sebelumnya Wenda sudah dipindahkan ke ruangan mami melalui obrolan dua wanita itu beberapa saat lalu.

"Kak Tia belum ambil cuti?" Chandra melirik perut besar wanita itu.

Tia menarik senyum, ia paham maksud dari ucapan Chandra. "Ibu sih udah nawarin, Mas. Tapi kerjaan masih banyak. Mungkin bulan depan ajuin cuti. Toh, kandungannya juga baru masuk delapan bulan."

Chandra mengangguk. "Ya udah, kalau gitu aku permisi dulu ya, Kak. Mau jemput mantu kesayangan Bu Sisca," pamitnya berbalik menuju ruangan yang sudah ia lewati sebelumnya.

Chandra menarik napas dalam, mengembuskan perlahan saat tubuhnya sudah bersiap bertemu wanitanya. Tangannya mengetuk beberapa kali lalu memutar kenop pintu.

Wenda duduk di sofa menatapnya datar, tanpa senyuman. Chandra terkekeh bergegas menghampiri istrinya. "Permisi, Ibu Wenda, ada?"

"Nggak ada! Di sini yang namanya Wenda belum ibu-ibu," ketusnya tidak terima disebut ibu-ibu.

Chandra mendaratkan satu kecupan hangat di dahi Wenda, lalu berjongkok di depan wanita itu. "Kalau Wenda aja tanpa ibu, ada?"

Wenda mencebikkan bibirnya. "Mau ngapain nyariin Wenda?"

Chandra berdeham sesaat. "Mau ngajakin ngedate. Kira-kira Wenda mau nggak ya pacaran sama aku?"

Wanita itu mengulum senyumnya. Geli sekali mendengar suaminya berbicara tentang pacaran dengan kondisi mereka yang sudah menjadi suami istri, sejak dua tahun lalu.

Chandra bangkit dari posisinya, kedua tangannya bertumpu pada sandaran sofa, mengukung Wenda. "Tapi aku rasa ya, Wenda nggak usah diajak pacaran. Aku yakin justru dia sendiri yang minta dipacari," ucapnya bangga.

"Dih, percaya diri banget sih." Wenda mencibir rasa percaya diri Chandra yang terlampau tinggi.

"Kita makan malam di luar yuk, Sayang. Mau ya?"

Wenda mendongak menatap mata Chandra. "Kamu nggak capek?"

Chandra manaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Lari-larian di pikiran kamu terus, ya?"

Tatapan meremehkan Wenda lemparkan pada pria di hadapannya. "Nggak capek ngebucinin aku terus?"

Chandra mengubah posisi menjadi duduk di sebelah Wenda, memeluk wanita itu dari samping. "Nggak dong! Kalau yang dibucinin gemesin kayak gini, nggak bosen." Ia mengeratkan pelukannya.

Ciuman di pipi kanan Wenda terasa hangat. "Aku sayang kamu," ucap Chandra masih menggoda pipi Wenda dengan ujung hidungnya.

Dahi Chandra mengerut, tidak ada jawaban dari pernyataan cintanya. "Kamu nggak sayang aku?" tanyanya merasa diabaikan.

"Nggak! Jangan Anda harapkan itu terjadi."

Chandra menyipitkan matanya, melonggarkan pelukannya. "Bener nggak sayang sama pria seganteng aku?"

Wenda menoleh sedikit melirik. "Dih, PD banget sih lo?"

"Lo?!" Chandra memukul bibir Wenda dengan jari telunjuk.

Pria itu memeluk kembali wanitanya, tangannya menggoda pinggang Wenda hingga suara gelak tawa terdengar memenuhi ruangan. Kehadiran seseorang yang baru saja masuk tidak mereka sadari saking asyiknya bersenda gurau berdua. Seakan ruangan ini milik mereka, sementara mami hanya menumpang.

"Iya, iya. Mami tahu, ya, itu istri kamu. Nggak usah dikekepin terus ya." Suara mami menginterupsi.

Mami duduk di kursinya, bersandar melipat tangan. "Kamu udah lama di sini?" tanya mami menatap Chandra.

"Udah dari tadi. Mami sih, ganggu aja. Orang aku mau ngajakin Wenda pacaran juga."

Tangan Wenda refleks memukul paha Chandra. "Apaan, sih!"

Pria itu menoleh, mengusap puncak kepala Wenda. "Emang bener. Pacaran yuk? Atau ... nikah, yuk!"

Wenda berdecak, kepalanya menggeleng. "Mi, dia sakit kayaknya," tunjuk Wenda pada Chandra.

Chandra bangkit, mengulurkan tangannya untuk disambut. Wenda meraih uluran  telapak tangan yang ribuan kali memberinya rasa nyaman, rasa dilindungi, dan rasa dicintai.

"Kita pulang, ya, Mi. Mau quality time romantis," ujar Chandra merangkul pundak Wenda, tangan wanita itu tergesa menarik sling bag-nya di atas meja sofa.

Pasangan itu berjalan bersisian, melewati beberapa ruangan, turun ke hingga ke lantai satu, melewati karyawan yang berada di lift maupun yang berlalu lalang. Sampai ... langkah kedua pasangan ini berada di pelataran parkiran luas.

Tangan Chandra yang bebas meraih kunci mobil di saku celananya, pria itu sedikit kesulitan. "Sayang ambil kunci ambil di kantung celana aku." Ia sedikit memutar pinggulnya ke arah Wenda.

"Nggak akh! Ambil sendiri sana. Ini tangannya lepas dulu makanya, posesif banget. Aku nggak akan ilang juga." Wenda memukul lengan Chandra yang masih betah merangkul pundaknya.

Chandra terkekeh, melepas rangkulannya, wajahnya sedikit mencondong ke wajah sang istri. "Kenapa? Takut salah raba, ya? Kamu sih nakal, tangan suka meraba yang lain."

Wajah Wenda berubah hangat, semburat warna merah mulai melingkupi kulit wajahnya yang putih. "Chandra! Ngomong apa, ih. Di tempat umum juga masih sembarangan. Dahlah! Aku mau ngubur diri aja, malu aku."

Perempuan itu menggerutu, sementara suaminya hanya terkekeh. Puas sekali rasanya menggoda sang istri. Wajahnya memerah, ekspresinya panik, belum lagi bibirnya yang mengomeli Chandra ini itu.

Tombol pada remote kunci mobil Chandra tekan hingga mengeluarkan suara nyaring. Langkahnya menuju pintu samping kiri, membukakan untuk Wenda. Tanpa komando lagi wanita itu segera masuk ke dalam mobil, prianya memutari mobil sebelah kanan saat istrinya dipastikan sudah duduk nyaman di jok penumpang.

"Chan, kita mau makan di mana?" tanya Wenda di sela-sela memasang sabuk pengamannya.

Chandra menoleh, garis senyumnya tertarik ke atas. Meski tangannya sibuk menarik sabuk, memasang pada tubuhnya, tetapi atensinya tetap pada sang istri yang duduk di sampingnya, menanti jawaban mau makan di mana mereka.

"Senopati!" Chandra mengucapkan sebuah nama tempat dengan mantap.

Mata Wenda membulat, memastikan apa yang ia dengar. "Senopati? T-tapi kan. Tempat itu ...."

Tanjung Enim, 13 Agustus 2021

Halo, apa kabar? Selamat hari Jumat. Hayo ada apa dengan Senopati, sampe Wenda kaget begitu.

Silakan nebak-nebak ada apa di Senopati.

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top