12. Adiknya Chabe
Bantu saya temukan Typo dan kesalahan lainnya, ya. 💙
Sebelum membaca, mari absen dulu. Sebutkan berasal dari daerah mana saja kalian?
***
"Makan yang banyak, ya, Be. Mami lo masih tidur, nggak usah banyak tingkah, gue goreng lo!"
Pria itu bermonolog seraya menaburkan butiran warna-warni di permukaan air aquarium. Makhluk kecil berwarna merah berekor indah itu menangkap dengan semangat makanannya.
Chandra menyimpan stoples di bawah kabinet, ia masih berjongkok di depan kaca berbentuk persegi panjang, memperhatikan Chabe. Matanya menelisik keadaan dalam rumah hewan itu.
"Air rumah lo udah agak kotor, Be. Nanti kalau gue libur, gue bersihin, ya," ujar Chandra menepuk sisi kaca sebelum meninggalkan anak ikannya.
Langkahnya dibawa ke kamar, ada seseorang yang ia tinggalkan di sana. Senyumnya terangkat tinggi saat pintu kamar yang ia dorong terbuka lebar. Netranya langsung jatuh ke tengah ruangan, tepatnya pada tempat tidur mereka.
Chandra memutari tempat tidur, mendaratkan bokongnya pada tepi ranjang di sisi Wenda berbaring. "Morning," sapa Chandra pada wanita pujaannya, mengecup pipi istrinya.
Wanita itu masih bergelung di bawah selimut. Sesekali matanya mengerjap, mengusir sisa kantuk. Ia menyibak selimut hingga batas pinggang, tangannya terentang minta disambut.
Chandra merangkak naik, bergabung dengan Wenda dan memberikan pelukan hangatnya. Kecupan di dahi sekali lagi ia daratkan tanpa hambatan.
"Kamu nggak kenapa-kenapa, Sayang?"
Wenda mendongak, masih belum mengerti pertanyaan dari suaminya. Matanya yang kecil mengerjap beberapa kali. "Emang aku kenapa?" tanyanya kemudian.
Chandra menarik tubuh Wenda agar lebih merapat ke tubuhnya. Telapak tangannya yang satu mengusap belakang kepala Wenda dengan lembut. "Kemarin kamu takut lagi, ya? Kenapa? Apa ada yang kamu pikirkan? Ke dokter mau?"
Wenda menggeleng sebagai jawaban terbaiknya, mungkin memang benar ia merasa sudah baik-baik saja. Tatapannya ia lempar jauh ke luar jendela kamar.
"Kamu nggak usah kuliah aja, ya." Chandra memberi saran dengan lembut.
"Aku mau kuliah, Chan. Jangan diberhentiin. Aku masih mau belajar," rengek Wenda mengguncang tubuh Chandra, pukulan kecil pun ia layangkan di dada suaminya.
Chandra menangkap tangan Wenda, menghentikan pukulannya. "Siapa yang mau berhentiin kamu kuliah? Maksud aku kalau kamu lagi nggak enak pikiran, kamu libur aja hari ini! Atau ... kita ketemu Om Kai, mau?"
Wenda mendongak menatap wajah Chandra. "Libur hari ini aja?"
Pria itu hanya mengangguk sebagai jawaban, tangannya aktif memindai anak rambut Wenda ke belakang telinga.
"Kamu juga libur?" Tangan Wenda ia eratkan memeluk pinggang Chandra.
"Aku kuliah pagi dulu, nanti kerja siang aku izin aja, kita atur jadwal ketemu Om Kai. Mau?"
"Nggak mau!" ketus Wenda menyembunyikan wajahnya di dada Chandra.
Tangan Chandra mengusap punggung Wenda lembut. "Terus maunya apa?"
Wanita itu menguraikan pelukan, senyum jahil terukir di wajahnya yang manis. "Mau ketemu Om Kai, tapi syaratnya beliin aku sesuatu, ya?"
Chandra memicingkan matanya, menatap penuh selidik pada wanitanya. "Beliin apa? Skincare? Foto laki Korea?"
Wenda menggeleng, Chandra mengerutkan keningnya bingung. Tidak biasanya Wenda minta sesuatu selain skincare dan berhubungan dengan idolanya.
"Beliin jet pribadi!"
Chandra tergelak kencang, wajah Wenda di dadanya sedikit terguncang. "Dikira suaminya punya gudang duit atau gimana, sih? Sayang, suami kamu ini bukan Jack Ma. Ada-ada aja kamu."
Pria itu mengusap pipi sang istri, memajukan wajahnya, meninggalkan jejak bibirnya di puncak hidung Wenda. Gemas sekali dengan wajah pagi Wenda, baru bangun tidur. Jangankan mandi, mencuci wajah saja belum. Namun, tetap cantik dan paling ia sukai.
Ciuman Chandra bertubi, setiap inci wajah Wenda ia hujani dengan kecupan singkat. Pria itu menarik pinggang Wenda, menangkupkan telapak tangannya pada rahang Wenda. Jelas Wenda paham dengan gerakan ini, buru-buru ia mendorong dada Chandra agar menjauh.
"Nggak jadi minta jet pribadi, suami aku miskin!" cibir Wenda. "Tapi nanti beliin sesuatu, ya?"
"Selagi masih masuk akal, aku kabulkan. Jangan mikir minta beliin kereta api, ya. Sama aja itu namanya."
"Iya, nanti aku pikirkan mau apa." Wenda berucap mantap, senyumnya terbit.
Chandra pun turut mengembangkan senyumnya. "Morning kiss dulu, Sayang," pintanya.
Wenda sedikit bangkit dari posisinya, lengannya bertumpu di dada Chandra. Wajahnya ia condongkan, bibirnya maju beberapa senti. Tanpa diberi komando lebih Chandra segera melahap bibir yang selalu membuatnya candu.
***
Wenda duduk di kursi tunggu depan sebuah ruangan, netranya menyapu sekitar. Ia mengalihkan atensi pada sosok tinggi yang sedang mengurus semua keperluannya di meja resepsionis.
Kembali Wenda menatap pintu kayu berwarna cokelat tua di hadapannya, masih tertutup rapat belum ada pergerakan sejak sepuluh menit yang lalu ia berada di sini. Papan nama berwarna putih tergantung dengan apik di sana.
'Dr. Kaizhen Mattew. M.Psi. Ph.D.' Begitu nama beserta gelar yang dirangkai dari huruf-huruf berbahan kayu itu. Mempertegas sedang berada di mana Wenda sekarang.
"Sayang ...." Panggilan itu membuat Wenda menoleh pada si pemanggil.
Chandra berdiri di depan Wenda, mengulurkan tangan kanannya agar disambut. Wanita itu sempat melirik tangan suaminya yang bebas, ada map berwarna merah yang Chandra jinjing.
"Itu apa, Chan?" tanya Wenda menunjuk tangan kiri Chandra.
Chandra mengikuti arah tunjuk Wenda. "Oh, ini formulir data kamu," ucapnya menjelaskan. "Ayo, kita masuk."
Wenda meraih uluran tangan Chandra, mengikuti suaminya melangkah ke arah pintu yang sejak tadi tertutup. Tangan Chandra yang bebas mengetuk pintu di hadapan mereka.
Tidak membutuhkan waktu lama, pintu itu terbuka. Menampilkan pria dengan kemeja putih berlengan pendek, sangat kontras di kulit tan-nya. Dokter Kai tersenyum manis menyambut kedatangan Wenda dan Chandra.
"Gimana ... gimana? Ada kabar apa, nih. Kalian bisa sampai di sini," ujar dokter Kai setelah mempersilakan pasangan suami istri itu duduk pada kursi kosong di seberangnya.
Wenda hanya duduk menatap lurus gerak-gerik sang dokter. Ini adalah kali kedua Wenda bertemu dokter Kai. Pengobatannya dua tahun lalu di tangani oleh dokter Jeffrey dan dilanjutkan dengan junior dokter Kai lainnya, dikarenakan dokter ini melanjutkan pendidikan S3-nya.
"Kalian berdua sehat?"
"Alhamdulillah, sehat, Om." Chandra mengangsurkan map berwarna merah yang sejak tadi ia genggam.
Dokter Kai menerimanya dengan ekspresi tenang dan menenangkan. Ia mendongak menatap Wenda sekilas, meraih pena yang tersimpan di gelas kaca, tempat pena dan spidol lainnya.
"Udah lama juga, ya. Terakhir kambuh hampir setengah tahun." Dokter Kai mencoret kertas yang tersimpan di map itu.
"Gimana, Om? Apa perlu terapi lanjutan?"
Wenda masih bergeming, mendengar dengan saksama kedua pria itu berbincang membicarakan tentang traumanya. Sampai suara dokter Kai memecah atensinya.
"Wenda, are you, oke?" tanya dokter Kai ramah.
Wenda mengangguk lemah. Chandra terkekeh melihat gelagat Wenda. Pria itu sedikit menghadap ke Wenda. "Sayang, kamu ngangguk, beneran baik atau ... kamu nggak ngerti bahasa Inggris? Kamu kan paling benci bahasa Inggris. Suka sebel kalo ada orang ngomong pake bahasa Inggris."
Wenda mendelik tajam, tangannya mencubit paha kanan Chandra. Wanita itu cemberut, ia sadar diri bahasa Inggrisnya lemah. Namun, jika hanya kalimat pendek seperti yang diucapkan dokter Kai, tentu dia masih bisa mengerti.
"Aw! Nyubitnya geser dikit bisa dong. Di tempat yang agak enakan dikit," desis Chandra.
Mata Wenda semakin melotot, paham betul tempat yang dimaksud suaminya. Ini orang, sempat-sempatnya mesum di depan dokter Kai. Ya, Tuhan. Kubur gue cepat! Gue malu punya suami kayak dia.
Dokter Kai hanya tersenyum melihat kedua pasangan ini, meskipun begitu ia paham ada yang tidak baik-baik saja pada mereka, hingga memutuskan menemuinya.
"Baik, santai saja, oke?"
"I-iya, Om ... eh, Dok," ucap Wenda bingung membuat dokter Kai semakin lebar menarik senyumnya, memamerkan gigi rapi nan putihnya.
"Panggil om juga tidak apa-apa." Dokter Kai menutup map di hadapannya. "Sekarang cerita sama, Om. Apa yang sedang mengganggu kamu."
Wenda meraih telunjuk Chandra untuk ia genggam. Merasa sang istri sedang butuh dukungan, Chandra menggenggam erat telapak tangan Wenda, menepuk ringan.
Wenda menunduk, memperhatikan tepukan di punggung tangannya. Ia mendongak, menatap ke sampingnya. Netranya dan milik Chandra bertemu, pria itu tersenyum memberi dukungan pada istrinya.
"Ke-kemarin aku nongkrong, terus ada temen cerita sepupunya pendarahan pasca melahirkan. Ma-masih butuh tiga kantong lagi."
Wenda mengeratkan genggamannya pada telunjuk Chandra. "C-chan, nggak mau! Takut," cicit Wenda.
"Tidak apa-apa, Wen. Kamu cerita santai aja, om dukung kamu kok," ujar dokter Kai memberikan dukungan penenang.
Wenda mulai kembali menceritakan asal muasal kenapa ia kembali trauma, sesekali suaranya terbata dan bergetar. Usapan hangat Chandra di punggungnya membuat ia semakin tenang untuk mengeluarkan semua yang menggangu.
Rasa ketakutan akan fobianya belum juga sepenuhnya hilang. Masih banyak terapi yang harus Wenda lakukan kembali seperti dua tahun lalu. Mulai dari terapi konseling dengan psikiater untuk mengurangi rasa cemasnya, dan edukasi kehamilan pada obgyn.
"Wenda bisa sembuh, kan, Om?" tanya Chandra setelah Wenda dan dokter Kai selesai dengan terapinya.
Dokter Kai bangkit dari posisinya keluar dari meja kerjanya. Di ruangan dengan nuansa abu dan putih itu hanya tersisa dua orang pria berbeda generasi. Wenda sudah lebih dahulu keluar, menunggu di ruang tunggu seperti yang Chandra titahkan.
Bahu Chandra ditepuk pelan oleh dokter Kai. Sama seperti menghadapi pasien, pria dengan gelar Doctor of Philosophy di salah satu universitas bergengsi di Swiss itu pun memberikan advice yang tak kalah menenangkan pada Chandra.
"Istri kamu pasti sembuh, yang terpenting kamu harus sabar, oke? Dia sangat butuh dukungan suaminya. Jaga perasaannya. Jika dia memang belum siap, jangan kamu paksa. Pun sebaliknya, jika ia sudah menginginkan kamu harus siap. Jangan buat dia merasa ditolak."
Chandra mengangguk, langkah mereka sudah berada di ambang pintu. "Sekali lagi, terima kasih banyak, Om."
Dokter Kai menarik senyum tinggi. "Sama-sama. Kamu jaga istri kamu yang baik, ya. Kalau ada apa-apa hubungi, Om. Sejauh ini kita hanya konseling, karena Wenda masih tahap cemas. Jangan sampai berlanjut dan membuat ia depresi."
Chandra mengangguk lemah. Keadaan Wenda yang masih tergolong ringan saja sudah membuat ia kehilangan tulang pada tubuhnya, ia benar-benar tidak tega melihat istrinya jika lebih buruk daripada ini.
Pintu dihadapan mereka ditarik oleh tangan kokoh sang dokter, Chandra mengangkat garis senyumnya. Wanita yang menjadi poros hidupnya itu tengah duduk manis, menunggunya pada bangku panjang.
Wenda segera bangkit dari posisinya, maju beberapa langkah menghampiri sang suami. Telapak tangannya terasa hangat saat pria di sampingnya itu menggenggam dengan sangat posesif.
"Kalau begitu kita permisi dulu, Om. Terima kasih banyak."
"Terima kasih, Om." Wenda pun turut mengucapkan kata yang sama.
Dokter Kai mengangguk, tangannya di simpan pada saku celananya. "Sama-sama. Wenda ingat pesan om. Jangan terlalu banyak memikirkan yang negatif, oke? I'm sure you can get through it."
"Yes, Om," jawab Wenda singkat.
Chandra menahan tawanya agar tidak pecah. Gue yakin nih, dia cuma yes-yes doang. Kagak ngerti maksudnya gimana.
"Sampaikan salam om untuk orang tua kalian, ya. Om juga sudah lama tidak ketemu dokter Andra."
"Baik, Om."
Chandra membawa istrinya meninggalkan tempat itu, berjalan bergandengan tanpa mempedulikan tanggapan orang yang melihat. Silakan saja orang mau menilai apa, toh yang sedang ia genggam adalah tangan wanitanya.
"Sayang, katanya pagi tadi mau minta sesuatu. Nggak jadi?" tanya Chandra di sela-sela kegiatannya memasangkan sabuk pengaman Wenda.
Wanita itu mengerjap beberapa detik, baru mengingat keinginannya pagi tadi. Tangannya menggaruk pelipis, seperti sedang memikirkan apa yang ingin ia pinta.
Chandra menyalakan mesin mobilnya, menarik tuas rem tangan untuk segera meninggalkan pelataran klinik dokter Kai. Suara panggilan dari Wenda memecah atensinya sesaat.
"Chan."
"Iya, sayang. Mau apa?"
Wenda sedikit menyerong menghadap Chandra. Jemarinya meremas ujung roknya. "Aku pikir-pikir, mungkin lebih baik sekarang, kita kasih Chabe adik aja kali, ya."
Chandra spontan menoleh, matanya membulat. Wanita itu sedikit memajukan wajahnya. Mengecup bibir suaminya sekilas.
"Oke, baiklah, Sayang. Meluncur segera!"
Tanjung Enim, 7 Agustus 2021
Ekhem! Yang mau ngasih Chabe adik.
Ciyeee Chabe jadi kakak. Cieee..
Silakan mau memberi ucapan cie cie pada Kakak Chabe.
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top