11. Takut Lagi
Mari bantu saya temukan Typo dan lain-lainnya ya Gengs ♥️💋
***
Jangan harap ada obrolan hangat, cerita yang menyenangkan sepanjang perjalanan menuju tempat ternyaman bernama rumah. Sejak tiga puluh menit yang lalu mobil yang dikendarai Chandra meninggalkan kafe, hanya bising kendaraan dari luar jendela yang mengisi keheningan.
Wenda mencondongkan tubuhnya ke depan, menyatukan dahinya pada dashboard. Sudah segala usaha yang ia lakukan untuk menarik perhatian pria yang dengan konsentrasi penuh pada jalanan dan setir.
"Kamu mau cosplay jadi mainan dashboard? Ngapain kayak gitu!" Suara Chandra terdengar tegas.
Wenda memiringkan kepalanya ke kanan, menatap Chandra dengan penuh pengharapan. Pria itu tidak membalas tatapannya, masih kukuh dengan sikap acuh tak acuh yang ia bangun tinggi.
"Chan," panggil Wenda melirih.
"Duduk yang bener, Wenda!" Tanpa repot mengalihkan pandangan, lagi-lagi ucapan Chandra terdengar tegas.
Hampir satu jam perjalanan, Chandra masih tidak memedulikan semua erangan sebal Wenda yang mengusik gendang telinganya. Sampai mobil Wenda yang dikemudikan Chandra memasuki kawasan yang sangat mereka kenali, melewati gerbang tinggi. Dahi Wenda mengkerut dalam, melemparkan pandangan ke luar jendela.
"Kok, ke kampus?" Wenda bertanya, tubuhnya menghadap Chandra.
"Kuliah," ketus Chandra seraya melepaskan sabuk pengaman.
Wenda beringsut mendekat ke arah Chandra, senyumnya tertarik ke atas."Kamu ada kelas hari ini?"
"Bukan aku, tapi kamu."
Wenda bergeming, tidak tahu harus memberi jawaban apa atas kebohongannya yang tertangkap basah. Merasa tidak ada sahutan sang istri, Chandra menoleh tajam pada sang tersangka utama.
"Jangan bilang ... sebenarnya kamu hari ini emang nggak ada jadwal?!"
"Chan, maaf. Jangan marah." Wenda meraih lengan kiri Chandra.
Pria itu berdecak kencang, mengenakan kembali seatbelt-nya, belitan tangan Wenda di legan kirinya ia tepis pelan, menyalakan kembali mesin mobil dan bergegas meninggalkan perkiraan kampus.
***
Langkah Chandra kian cepat memasuki rumah mereka, sementara Wenda mengejar ketinggalan. Entah hukuman seperti apa yang akan Wenda terima kali ini.
Chandra mengayunkan tungkainya ke kamar, melemparkan tasnya di atas tempat tidur. Ke mana kaki Chandra melangkah, di situ pula kaki Wenda mengikuti. Sampai ke kamar mandi pun Wenda turut ikut masuk.
"Chan," rengek Wenda menarik-narik ujung kemeja Chandra bagian punggung.
Pria itu masih bergeming, tidak memedulikan sang istri. Sepertinya kali ini posisi Wenda benar-benar tidak bisa ditolong. Chandra benar-benar marah padanya.
"Chan, aku minta maaf udah salah. Aku bohong." Wenda hendak meraih lengan Chandra, tetapi tidak sampai.
Chandra berhenti di depan kloset, ia berbalik berdiri tegap di depan Wenda. Dahi Wenda mengernyit, tidak paham dengan maksud dari tatapan suaminya.
"Maaf." Lagi-lagi Wenda merengek, bergerak beberapa langkah ke depan memeluk Chandra. Tangan kecil itu melingkar sempurna di pinggang suaminya.
Seerat apa pun pelukan Wenda, selirih bagaimanapun rengekan Wenda, Chandra tetap tak terprovokasi, bahkan ia tak membalas dekapan sang istri.
"Kamu ngapain ngikutin aku?" tanya Chandra.
Wenda mendongak, netra keduanya bertemu sesaat. Perempuan berusia dua puluh tahun itu melipat bibir bawahnya, memasang wajah minta dikasihani.
"Aku mau pipis, Wenda. Mending kamu keluar. Siap-siap terima hukuman."
"Nggak, mau! Maafin dulu, baru aku keluar."
Chandra menyesal beberapa saat yang lalu berucap, Wenda boleh merengek sepuasnya jika sudah di rumah. Semua ucapan wanita itu benar-benar dengan nada merengek.
"Aku mau pipis, Wenda!" Chandra menguraikan pelukan Wenda. "Kecuali, kalau kamu mau lihat pedang Deadpool. Atau mau nyobain sekalian?" sambung Chandra berbisik di telinga Wenda dengan nada suara memberat.
Mendengar penuturan suaminya, Wenda mundur dua langkah. "Nggak! Mesum banget, sih! hardik Wenda pada pria yang sudah memamerkan seringainya.
Chandra maju selangkah lebar, menarik dengan cepat pinggang Wenda agar merapat ke tubuhnya. Wajahnya disimpan di ceruk leher Wenda.
"Siapa tahu, kan? Kamu dialur, dilunakin malah bandel. Sekalian aja, kan. Aku kerasin, kasih yang keras."
Nada suara Chandra sudah terdengar berbeda, Wenda membeku. Ia tahu persis maksud dari ucapan Chandra. Wenda refleks mendorong dada Chandra, saat pria itu mengecup rahang hingga leher Wenda.
Wenda berlari keluar, takut sesuatu lebih terjadi di sini. Terlebih lagi, netranya sempat melihat gerakan tangan Chandra menurunkan ritsleting celananya.
Dari sekian banyak ruangan di rumah ini, Wenda justru berlari ke dapur. Duduk pada stool pantry. Suara seseorang di belakangnya membuat ia terperanjat.
"Bi Yati! Ngagetin aja, Wenda kira siapa." Wanita paruh baya itu tertawa geli.
"Atuh siapa lagi, kalau bukan bibi, Neng. Neng Wenda udah makan siang? Bibi siapin, ya?"
"Wenda udah makan, Bi. Sama temen-temennya, asyik banget loh, Bi. Di kafe gitu."
Suara Chandra menginterupsi pergerakan wanita paruh baya itu. Wenda mendongak menelisik Chandra yang baru saja bergabung, menarik satu stool dan duduk di seberangnya.
"Eh, Mas Chandra udah pulang. Tumbenan pulang masih siang. Mau bibi siapin makan, Mas?"
Chandra mengangguk, tersenyum ramah tanpa memedulikan wanita yang duduk di hadapannya. "Boleh, Bi."
Tatapan datar diarahkan ke Wenda yang masih duduk mematung di depannya. "Berdiri sana, kamu harus dihukum."
Wenda cemberut mendengar hukuman yang harus dia jalani. Wanita itu berdiri keluar dari meja pantry. Wenda berdiri menghadap kulkas, menunduk.
Seperti inilah hukuman yang Chandra berikan tiap kali istrinya berbuat kesalahan. Pria itu terlampau mencintai istrinya, bagaimanapun kesalahan Wenda, ia hanya menghukum dengan cara berdiri menghadap dinding, merenungi kesalahannya, berakhir dengan meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama.
"Neng Wenda, butuh sesuatu dari dalam kulkas?" Bi Yati bertanya disela-sela menyimpan piring-piring berisi lauk pauk untuk makan siang Chandra.
"Biarin aja, Bi. Dia lagi dihukum."
Bi Yati terkekeh mendengar penuturan Chandra. "Emangnya Neng Wenda melakukan apa? Kenapa kena setrap begitu."
Wenda menoleh ke arah Bi Yati. "Bi, kalau kita khilaf, terus minta maaf, tapi nggak dimaafkan. Kira-kira dosa nggak tuh orang, Bi?"
Wanita itu mengernyit, menghentikan gerakannya mengambil gelas dari dalam lemari kaca. "Kenapa begitu? Allah aja maha pemaaf, kenapa tidak mau memaafkan. Tidak boleh begitu, itu namanya sombong."
Wenda menoleh ke Chandra yang dengan santai melahap makan siangnya. "Tuh! Namanya itu sombong."
Chandra mendongak, masih santai menggigit ayam gorengnya. "Bi, kalau istri bohong sama suami dosa nggak? Misalnya nih, si istri bilangnya pergi kuliah, tapi ternyata dia nongkrong tuh sama temen-temennya."
Bi Yati yang merasa mendapat pertanyaan baru, berbalik ke arah Chandra. Wanita itu berpikir sejenak, seraya mengelap tangan yang basah sehabis mencuci piring di wastafel.
"Ya, dosa, Mas. Istri itu ke mana-mana harus dapat izin persetujuan suami dulu. Ya kalau suami tidak mengizinkan, haram bagi istri keluar rumah. Rida suami adalah rida Allah juga."
"Tuh, dengerin! Rida suami, Rida Allah. Dosa tuh!"
Wenda semakin cemberut, menghentakkan kakinya di lantai. Niatnya meminta pembelaan, malah justru terpojok di dinding penghakiman.
Wanita itu tidak lagi mengeluarkan suaranya, menjalankan hukumannya tanpa protes. Sampai bahunya dicolek Chandra pun ia hanya menoleh pelan.
"Aku udah selesai makannya. Ayo ke kamar," perintah Chandra.
Wenda hanya mengayunkan kakinya mengikuti imam keluarganya. Perempuan itu berdiri di tengah ruangan, berjarak satu meter dari sang suami yang duduk di sofa dekat jendela kamar.
Chandra melipat tangannya di dada, menatap Wenda penuh penghakiman. "Sekarang jelasin, kamu kenapa bohong."
Wenda menunduk, tidak berani menatap Chandra. Ia tahu jika posisinya mau bagaimanapun juga tetap salah.
"Jawab, Wenda. Tadi kamu ke mana aja, kenapa bisa ada di kafe. Katanya, kamu ada kuliah."
"A-aku nggak ada kuliah hari ini. I-itu tadi temen-temen aku, mereka ngajak nongkrong. Katanya, kafe itu baru ada diskon gitu."
"Tadi aku lihat, ada cowoknya juga. Temen kamu juga, kamu kok nggak pernah cerita kalau temenan sama cowok."
Wenda mendongak. Matanya membulat. "Nggak! Itu bukan temen aku. Dia tuh pacarnya si Lira, yang duduk di depan aku tadi."
"Iya, terus kenapa nggak minta izin yang jujur?"
Jemari Wenda mengait satu sama lain, ia menunduk kembali. "Aku takut," cicitnya, "a-aku takut kamu nggak kasih izin. Soalnya aku pergi bukan sama Joy atau orang yang kamu kenal."
Chandra berdecak kencang, ia menyandarkan bahunya di sandaran sofa. "Aku tanya sama kamu. Sekian banyak permintaan kamu, keinginan kamu. Emang ada yang aku larang? Selagi semua masuk akal aku izinin semua, kan, Wen? Aku turutin semua."
Wenda semakin menunduk dalam, ia benar-benar dihakimi. Namun, semua itu benar adanya. Semua kemauan dan permintaan Wenda selalu ia turuti.
"Jawab aku, Wenda. Aku pernah larang-larang kamu nggak?"
Wenda menjawab dengan menggeleng. Masih menunduk memperhatikan barisan keramik lantai kamar mereka.
"Mulutnya ngomong, Wenda!"
"Nggak pernah," cicit Wenda.
Pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Terus kenapa bohong? Dengerin tuh kata Bi Yati tadi. Kamu udah dosa loh keluar rumah nggak izin semua, bohong lagi."
Wenda mendongak, matanya berkaca-kaca. "Chan, udah. Dari tadi dimarahin terus. Capek ini berdiri terus," pungkas Wenda seraya duduk berjongkok karena merasa lelah berdiri.
Chandra mengembuskan napas panjang, ia menepuk bagian lutut dan pahanya memberi kode pada Wenda. Tidak perlu mengulangi, istrinya paham dengan kode itu.
Wenda menghampiri Chandra, bersimpuh di depan suaminya. Dahinya menempel di punggung tangan Chandra. Inilah ritual yang sering pasangan suami istri itu lakukan tiap kali meminta maaf.
"Ayo, ngomong," desak Chandra.
Masih dengan posisi bersimpuh, Wenda kemudian berujar, "Chan, maafin aku, ya. Aku udah salah. Aku janji nggak akan ngulangi lagi."
Tangan Chandra terulur mengusap puncak kepala Wenda. Ia sedikit menunduk, meraih tubuh Wenda agar bangkit dan memberi titah duduk di pangkuannya.
"Iya, aku maafin. Jangan diulangi lagi, ya. Kalau diulangi lagi aku beneran marah nanti."
Pria itu menangkupkan telapak tangannya di wajah Wenda. Meninggalkan kecupan di dahi dan pipi Wenda.
Wenda mengalungkan tangannya di leher sang suami. Menyimpan wajahnya di ceruk leher Chandra, menanggapi ucapan Chandra dengan anggukan.
"Kalau keluar nggak izin lagi, nanti kamu nggak aku izinin keluar rumah lagi. Biarin dikurung dalam rumah."
"Kalau nggak keluar gimana kuliah. Kuliah online?"
"Nggak usah kuliah. Biarin aja," sahut Chandra mengusap punggung Wenda.
"Terus aku ngapain kalau nggak kuliah?"
"Jadi ibu rumah tangga aja, ngurus suami, ngurus anak," usul Chandra diikuti dengan kekehan renyahanya.
"Belum ada anak. Jadi, aku belum jadi ibu-ibu." Wenda mengeratkan pelukannya di leher Chandra.
Pria itu mencium bahu istrinya. Masih saja saling menyahuti ucapan masing-masing. "Ya udah, kita bikin dulu anaknya. Kita bikin dedek-dedek amoy."
"Gemoy," protes Wenda membenahi ucapan Chandra yang salah.
"Iya itulah pokoknya. Mau nggak? Bi Yati kita suruh pulang dulu," ucap Chandra menggoda istrinya.
Wenda bergeming, tidak menyahuti ucapan Chandra yang ini. Wanita itu melonggarkan sedikit pelukannya. Menatap Chandra penuh arti.
"Mau nggak? Kita bikin dedek gemoy?"
Chandra mengecup sekilas bibir Wenda, menatap Wenda lagi. Tangannya menarik tubuh Wenda agar merapat ke tubuhnya. Jejak bibirnya ia tinggalkan di leher Wenda, tulang selangka dan bahu.
Wenda bergedik saat bibir hangat Chandra bermain nakal di leher dan telinganya, menggoda dengan gerakan
seduktif. Wenda mendorong dada Chandra. Matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis.
"Nggak mau, Chan. Aku nggak mau itu," ucapannya dengan kembali memeluk leher Chandra. Wajahnya kembali masuk ke ceruk leher, suaranya bergetar mengucapkan kalimat permohonan.
Chandra sadar, ada yang berbeda dari nada bicara Wenda jika dibandingkan dengan beberapa saat lalu. Gelagat yang Wenda tunjukkan persis seperti ia dua tahun lalu.
"Nggak mau anak, Chan."
Pelukan Wenda pada leher Chandra semakin mengencang, ada rasa lembab di sana.
"Sayang, kamu kenapa? Hei, sini lihat aku dulu. Lepas dulu tangannya."
Wenda melepaskan pelukannya, wajahnya sudah memerah, pipinya sudah dialiri air mata. Chandra iba melihat sang istri, ia tahu jika Wenda kembali takut pada fobianya.
Kepala Wenda menggeleng kencang. "Nggak mau, Chan. I-itu sakit, nggak mau," isaknya kembali pecah.
"Iya, iya, nggak. Maaf ya aku tadi bercanda aja. Sayang ... sayang, udah jangan nangis."
Chandra memperhatikan Wenda yang sesegukan menangis, jelas sekali sedang merasa ketakutan.
"Udah ... udah. Buang jauh-jauh pikiran negatifnya. Aku sayang kamu."
Chandra meraih tubuh Wenda, memeluknya erat. Mengusap punggungnya dengan sayang. Sesekali mencium pelipis Wenda.
Hampir dua puluh menit posisi ini bertahan, isakan lirik atau nada suara bergetar tak terdengar lagi. Hanya ada dengkuran halus yang terdengar. Chandra bangkit, menggendong sang istri untuk dipindahkan ke tempat tidur.
Chandra menarik selimut, mengatur suhu AC agar Wenda nyaman beristirahat. Ia tahu Wenda akan banyak tidur saat fobianya kambuh, ia akan menangis hingga kelelahan.
"Kamu kok kumat lagi, sih, Sayang," gumam Chandra mengusap dahi Wenda. "Padahal udah lama banget kamu nggak takut lagi."
Pria itu menepuk-nepuk pelan bahu Wenda, sampai wanita itu benar-benar terlelap. Chandra mencondongkan wajahnya. Meninggalkan jejak bibirnya di kedua mata dan pipi Wenda, puncak hidung, dan berakhir mengecup lama bibir sang istri.
"Aku sayang kamu. Sayang banget," bisiknya sebelum meninggalkan Wenda agar beristirahat.
Tanjung Enim, 1 Agustus 2021.
Hai, apa kabar epribadeh?
Bagaimana keadaannya? Aman?
Bab ini hampir 2k loh. Semoga nggak bosen aja ga bacanya. 🤭
Salam Sayang 💋
RinBee 🐝
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top