10. Ketahuan

Tandai Typo ya, Gengs ♥️

***

Chandra mengayunkan langkah ke lobi kantor, berjalan melewati seseorang yang berdiri gagah dengan seragam sekuriti. Baru saja tangannya terulur hendak menekan tombol pada sisi dinding, matanya melirik tulisan di sebelah kanan pintu lift.

Pria tinggi itu berdecak kencang saat membaca tulisan yang tertera. Chandra melangkah ke koridor kiri, alih-alih berbelok ke lorong sebelah kanan yang terdapat lift lainnya, ia justru menuju tangga darurat, menapaki anak-anak tangga dengan gerutuan.

"Perusahaan aja gede, nggak salah-salah nih, ye. Perusahaan tekstil terbesar nomor lima se-Indonesia, tapi lift udah dua hari macet, belum juga beres dibenerin."

Chandra terus menaiki tangga darurat menuju ruang kerjanya di lantai tiga. Napasnya tersengal, langkahnya terhenti sejenak saat ponsel di saku celananya berdering. Nama Ridho sebagai pemanggil. Segera Chandra menggeser tanda hijau pada layar.

"Halo, Bang. Ada apa?"

"Lo di mana, Chan? Tadi ada Pak Erwin nyariin lo."

Dahi Chandra mengkerut, mengingat kembali apa ada sesuatu yang ia lupakan. Telunjuk Chandra menggaruk keningnya, ia tidak merasa ada janji atau tugas yang belum diselesaikan. Tungkai Chandra kembali terayun, menapaki tangga satu per satu.

"Pak Erwin, manajer pabrik, Bang?" tanya Chandra kemudian.

"Iya, katanya kalo lo udah dateng, ditunggu di ruang rapat. Emang rapat apaan, Chan? Mau naik jabatan lo, ya? Gantiin Pak Siswanto."

Chandra tergelak, kakinya hampir saja tersandung anak tangga terakhir. "Dikira pimpin perusahaan semudah mimpin barisan. Mikir, Bang!"

Helaan napas Chandra terdengar berat. Suara gelak tawa di seberang sana pun terdengar gaduh. "Lo di mana, sih, Chan? Kagak sampe-sampe perasaan."

"Di belakang lo, Bang!"

Ridho menoleh, kedua pria itu bertemu pandang. Chandra berjalan menuju kubikel kerjanya, melewati Ridho yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri.

Chandra menyimpan tasnya di bawah meja, menghempaskan bokongnya di kursi yang sudah hampir enam bulan ia duduki saat bekerja. Merasa aneh dengan tatapan Ridho, Chandra akhirnya pun bertanya, "Ada apa, Bang? Ada yang aneh di gue?"

Ridho maju beberapa langkah, lelaki itu bersandar di sekat pembatas kubikel, kepala Ridho penuh dengan pertanyaan yang ingin segera ia tuntaskan. Tubuhnya sedikit mencondong ke depan, sejenak kepala memutar kiri kanan memastikan keadaan aman.

"Chan, serius ini lo mau naik jabatan? Gantiin Pak Siswanto?"

Tawa Chandra meledak, tangannya memukul meja kerjanya. "Bang, kurangi ngegosip. Tuh, kan! Bang Ridho pasti suka ngikutin Mbak Fika kalo lagi ngerumpi. Ketularan jiwa-jiwa gibah."

"Sialan! Orang serius juga. Gue kan cuma ngerasa ...."

Chandra menyandarkan bahunya di sandaran kursi. Alisnya terangkat menunggu ucapan Ridho yang menggantung.

"Gue cuma ngerasa kehilangan kalo lo udah kagak di sini lagi, tiap tahun ada aja karyawan yang dirolling. Gue kan udah betah gitu temenan sama lo, Chan."

Chandra mencebikkan bibirnya. Tidak menyangka pria yang lebih tua beberapa tahun darinya akan bertingkah seperti remaja SMA. "Romantis banget, sih, Bang. Gue harus nangis nggak, nih?"

"Kunyang. Dahlah!"

"Habis sarapan di kantin, ya, Bang? Udah kunyang aja."

"Itu kenyang. Ogeb, ih anak anj-"

Dehaman keras menginterupsi kegiatan dua laki-laki itu. Kompak atensi mereka jatuh pada seseorang yang berdiri tegap di belakang Ridho.

"Selamat pagi, Pak Joko," salam Ridho lebih dulu menyapa.

Chandra berdiri dari posisinya. Ia jelas mengetahui siapa pria yang dipanggil dengan Pak Joko tersebut, atau lebih jelasnya Chandra tahu jabatan apa yang dimiliki pria paruh baya itu di perusahaan ini.

"Mas Chandra, ikut rapat, ayo. Bapak sudah menunggu di meeting room," ucap pria itu dengan tegas.

"Baik, Pak." Chandra membungkukkan sedikit badannya.

Pak Joko berbalik meninggalkan mereka berdua, baru saja Chandra keluar dari kubikel, Ridho mencekal tangannya. "Bener, kan? Lo akan naik jabatan, nggak mungkinlah sekelas manajer personalia repot-repot nyariin lo," tukas Ridho.

Chandra menepuk bahu Ridho seraya berkata, "Iya, Bang. Gue naik jabatan. Lo mau naik juga nggak? Nanti di sana gue usulin nama lo jadi, direktur personalia di atasnya Pak Joko."

"Sialan!" umpat Ridho, gerak tangannya pura-pura ingin memukul Chandra. "Udah sana. Rapat yang bener lo, anak tunggal pewaris tahta."

Chandra tergelak, kepalanya mengangguk seraya mengacungkan dua jempolnya pada Ridho. Langkahnya melewati koridor menuju lift menuju lantai empat, tempat akan diadakan rapat.

Chandra sering diikutsertakan papi dalam setiap rapat perusahaan, dengan harapan agar Chandra sedikit banyaknya memahami perusahaan yang sudah dikelola dari kakeknya dan sekarang berada di tangan papi.

Denting lift terdengar nyaring, pintu itu terbuka. Chandra keluar dan berjalan menuju ruangan besar di ujung koridor. Tatapan lelaki itu mengedar menyapu ruangan, sudah banyak petinggi perusahaan di sini. Papi duduk di kursi paling kanan, bergegas Chandra mengambil posisi duduknya.

"Baiklah, selamat pagi. Hari ini seperti meeting kita yang sudah-sudah, hari ini kita akan melanjutkan hasil kesepakatan sebelumnya."

Suasana rapat sudah berjalan hampir dua jam, tidak ada yang bisa Chandra lakukan selain mendengar dengan saksama. Rasa bosan dengan keadaan menghampiri juga, ia meraba kantong saku celana, mengeluarkan ponsel yang disimpan di sana. Meski tangannya bergerak sembunyi-sembunyi di bawah meja, tetapi rari Chandra lincah mengetikkan sesuatu pada kolom chatting.

Berbalas pesan dengan istrinya cukup menjadi hiburan di tengah kebosanan, meski dua chat terakhir belum Wenda balas. Jangankan dibalas, dibaca pun belum. Chat terakhir masih tanda centang hitam dua.

"Chandra, setelah ini kamu ikut Pak Hasby untuk meninjau perkembangannya kembali."

Suara papi menyentak Chandra, pikirannya tentang chat yang belum Wenda baca kini teralihkan interupsi dari papi. Matanya sedikit membulat, Untung saja masih tersisa konsentrasinya pada jalan rapat.

"Baik, Pak." Dengan ucapan mantap, Chandra mengangguk.

***

"Kamu harus benar-benar banyak belajar, Chan. Siapa lagi kalau bukan kamu yang melanjutkan perusahaan dari kakekmu ini," ucap pria yang Chandra tebak berusia tidak jauh dari usia papi.

Pria yang Chandra ketahui menjabat sebagai manajer pemasaran ini, sudah cukup banyak mengabdikan dirinya pada perusahaan yang dirintis sejak awal oleh kakeknya.

"Baik, Pak!"

Pria itu tergelak, menepuk paha Chandra. Sopir dan satu orang merupakan asisten Pak Hasby yang duduk di depan pun turut menoleh. Sang sopir melirik melalui kaca spion.

"Santai aja, Chan. Kamu biasa panggil saya om. Kalau tidak di kantor panggil saja seperti biasanya."

"Iya, Om," ulang Chandra membenahi kata sapaan yang pria itu inginkan.

Obrolan antara kedua pria berbeda generasi itu mengalir begitu saja, sepanjang perjalanan hingga menemui seseorang yang dimaksud papi tadi pun sudah Chandra jalani bersama orang yang ditunjuk.

Satu jam pertemuan tersebut, lagi-lagi Chandra hanya bisa menyimak. Antara ia benar harus banyak belajar terlebih dahulu atau memikirkan chat yang tak kunjung Wenda balas.

"Baiklah, Pak. Itu saja sepertinya. Berhubung ini sudah makan siang, bagaimana kalau kita makan siang dahulu. Sekalian saya mempromosikan usaha kecil-kecilan saya."

Pria yang sejak tadi terlibat obrolan satu jam lebih bersama Pak Hasby dan asistennya itu menawarkan jamuan makan siang.

"Tempatnya sangat asyik, Pak. Sesuai selera dengan anak muda sekarang. Dan juga saya menyiapkan private room. Lokasinya juga dekat dengan mal besar."

Pria itu masih saja membicarakan usaha kecil-kecilan yang ia maksud, menawarkan kenyamanan pada mereka yang masih belum ada kata terima.

Pak Hasby melirik Chandra sejenak, tentu saja pria tinggi itu tidak paham dengan lirikan Pak Hasby.

"Baiklah, kita akan mampir sebentar," ucap Pak Hasby kemudian. "Terima kasih banyak, Pak."

Mobil yang ditumpangi Chandra dan Pak Hasby mengikuti mobil di depannya menuju sebuah kafe yang terletak sangat strategis. Benar, kafe dengan konsep modern selera anak muda ini terletak berdampingan dengan sebuah mal terbesar yang ada di Jakarta.

Chandra merogoh saku celananya, meraih benda canggih miliknya. Belum ada balasan dari Wenda. Pesannya masih sama seperti terakhir tadi.

Sayang, udah makan? Kamu udah masuk kelas, ya?

L

agi-lagi pesan yang Chandra kirim hanya centang dua hitam.

Apa beneran udah masuk kelas, ya?

Entah kenapa sejak tadi yang menggangu pikirannya hanya perkara pesan yang belum juga Wenda baca.

Langkah Chandra terayun memasuki kafe yang dimaksud, banyak sekali anak muda yang mungkin seusianya. Ada yang berpasangan, berkelompok, yang tentunya Chandra tidak tahu mereka sedang membahas apa.

Belum juga Chandra masuk ke private room yang disambut hangat oleh pegawai kafe ini. Netra Chandra memperhatikan ke satu meja lebar di ujung berbatasan dengan kaca luar.

"Maaf, saya mau ke toilet sebentar," ucap Chandra berpamitan pada Pak Hasby dan rekannnya.

"Oh, silakan, Mas. Toilet ada di ujung sana, belok kanan," titah seorang pegawai pria dengan seragam khas kafe, kemudian berlalu masuk ke private room.

Tatapan Chandra masih tertuju pada meja di ujung sana, senyum miringnya tercetak jelas, saat memperhatikan orang tersebut bersama teman-temannya, terlihat sangat senang. Senyum lebarnya, matanya yang menyipit saat tertawa, belum lagi wajah cantik yang tidak banyak mengalami perubahan, masih sama seperti pertama kali Chandra mengenalnya.

Chandra mendekati meja tersebut, mencari caller id yang akan ia hubungi, memastikan apakah orang tersebut benar yang ia lihat sekarang. Ia menempelkan ponselnya di telinga saat panggilan tersambung.

"Halo," sapa diseberang sana.

Chandra tersenyum lebar, matanya tidaklah salah mengenali orang, terlebih orang terdekatnya. Wanita itu pun menempelkan ponselnya di salah satu telinga, menyambut panggilan telepon.

"Di mana?" tanya Chandra.

"Di kelas."

"Sejak kapan kelas berubah jadi kafe?" tanya sarkastik Chandra. "Coba lihat ke arah jam enam."

Perempuan itu bergegas menoleh, mendapati Chandra yang sudah berdiri tidak jauh di belakangnya. Wenda tercengang, kenapa bisa bertemu Chandra di sini. Langkahnya mendekati Chandra.

"Chan," panggil Wenda takut-takut menatap Chandra yang berdiri di depannya.

Chandra sedikit membungkuk, memegang bahu Wenda. "Sayang, aku tanya. Sejak kapan kelas kamu jadi kafe."

Wenda menggaruk tengkuknya. "I-itu, hmm ...."

"Pamit ke temen-temen kamu, kita pulang, jelasin di rumah!" tegas Chandra.

Tanpa membantah Wenda berbalik, menuju meja yang sempat ia tinggalkan. Sejenak Wenda mengucapkan beberapa kata permintaan maaf.

"Sori, ya. Kita harus duluan. Gue bawa Wenda pulang, ya." Chandra berucap pada teman-teman Wenda. Meninggalkan tempat itu dengan merangkul bahu Wenda erat.

"Chan, jangan marah. Aku bisa jelasin." Wenda berucap lirih.

Chandra tak menjawab, ia terus menuntun Wenda ke kursi kosong. "Tunggu sebentar di sini, aku mau masuk ke sana pamitan. Tadi ke sini sama rekan papi. Udah itu kita pulang. Kamu siap-siap aku hukum udah ketahuan bohong."

Wenda hanya bisa mencebik, wajahnya menunduk memperhatikan sling bag di atas pangkuannya. Sepuluh menit berlalu, tangannya diraih Chandra keluar meninggalkan kafe tersebut menuju area parkiran.

"Kunci mobil kamu mana?" tanya Chandra datar.

"Chan, jangan marah," rengek Wenda.

"Kunci mobil kamu mana, Wenda. Nggak usah merengek, ini tempat umum. Nanti di rumah kalau mau merengek sepuasnya."

Wenda meraih kunci mobil yang ia simpan di dalam tas kecilnya. Menyerahkan pada Chandra dengan tatapan minta dikasihani, tetapi Chandra tetap saja tidak luluh begitu saja. Sepertinya pria itu benar-benar marah padanya.

Tanjung Enim, 28 Juli 2021

Halo, selamat pagi.
Tetap jaga kesehatan ya, semoga pandemi ini cepat berlalu.

Salam sayang
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top