1. Malam Jumat, ada maunya.

Wenda membereskan laptop serta buku-bukunya. Mengerjakan tugas kuliah membuatnya lelah, dia butuh istirahat sejenak. Pilihannya adalah menonton drama Korea favoritnya.

Tungkai Chandra terus mengikuti ke mana Wenda melangkah. Masih dengan acara membujuk Wenda agar mau memenuhi permintaannya. Wenda mondar-mandir di dapur, menyiapkan bekal untuk menonton sembari bersantai.

"Sayang," rengek Chandra.

"Hmm," sahut Wenda hanya dengan dengungan.

Wenda meraih satu bungkus besar keripik kentang pada kabinet pantry, memasukkan keripik pada stoples.

"Minuman udah, keripik kentang udah. oh, iya, wafer belum." Wenda mengabsen camilan wajib untuk menemaninya menonton.

Stoples keripik kentang dan minuman sudah dia bawa dalam pelukannya, manik matanya melirik ke arah Chandra. "Tolong bawain yang itu, ya," tunjuk Wenda pada satu kantong plastik putih berukuran sedang.

Langkahnya kembali bergerak ke ruang tengah, Chandra tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Wenda.

Wenda mendaratkan tubuhnya pada sofa, meraih remote televisi. Matanya melirik jam dinding yang tergantung. "Sepuluh menit lagi dramanya. Kirain udah mulai," gumam Wenda seraya mengambil kripik kentang, memasukkannya ke dalam mulut.

Sofa panjang yang Wenda duduki bergerak, tanda seseorang menduduki tempat yang kosong. Chandra duduk di samping Wenda setelah menyimpan semua camilan Wenda di atas meja.

Chandra merapatkan tubuhnya ke Wenda, tangannya terulur memeluk Wenda dari samping, dahinya disimpan di bahu kiri Wenda, bibirnya masih terus bergumam memanggil nama Wenda.

"Wen, sekali aja. Ini aku kayak pengemis tahu nggak," gerutu Chandra yang masih menunduk, menyimpan wajahnya di bahu Wenda.

Tangan Wenda terulur mengusap belakang kepala Chandra. "Rambut kamu udah panjang, Chan. Besok potong, rapiin!"

Chandra mendongak, menyibak helaian rambutnya yang menutupi dahi menggunakan jarinya. Wenda masih memperhatikan Chandra.

"Kamu ganteng kalo rambut rapi, terus ini poni diangkat biar jidatan, mirip sama Chanyeol Exo," puji Wenda.

Chandra memicingkan matanya. "Kamu ngalihkan pembicaraan kan? Sengaja kan?"

Wenda terkekeh, gemas sekali melihat tingkah Chandra hari ini. "Kan. Kan. Kamu tahu nggak, kamu kayak gini lebih-lebih dari Clarissa tahu nggak."

Wenda menyisir rambut Chandra dengan jemarinya, membawa ke belakang helaian rambut yang menutupi dahi Chandra.

"Lagian, pembicaraan yang mana sih yang aku alihkan."

Chandra menangkap tangan Wenda pada rambutnya agar berhenti. Kepalanya dia bawa di pangkuan Wenda lagi. "Tahu, ah! Kamu selalu begitu. Pura-pura nggak tahu. Padahal kamu sendiri yang janji."

Wenda menunduk melihat wajah Chandra. "Emang aku janji apa?"

"Kemarin kamu janji ya, Sayang. Kamu bilang 'iya, tunggu malam Jumat aja'. Karena hari Jumat kamu nggak ada kuliah. Biar nggak capek kata kamu. Ingat kan?"

Wenda hanya mengangkat bahu, acuh tak acuh dengan celotehan Chandra. Bibir Chandra komat-kamit menirukan ucapan Wenda tempo hari.

Tangan Wenda meraih stoples keripik kentang di atas meja, matanya sudah fokus pada layar televisi yang sudah mulai menayangkan drama Korea.

"Chan ...," panggil Wenda. Yang dipanggil tidak menyahut, justru mengubah posisinya.

Wajah Chandra mengharap perut Wenda, mengeratkan pelukannya di pinggang Wenda.

"Chandra!"

Lagi-lagi seruan Wenda tidak di gubris Chandra. Wenda mencoba abai, tetapi sepertinya kali ini ulah Chandra tidak bisa diabaikan begitu saja. Tangan Chandra menelusup ke balik kaus Wenda, mengusap punggung dan pinggang Wenda.

"Aduh! Sakit, Sayang," rengek Chandra yang sudah mengusap samping kepalanya.

Stoples keripik yang Wenda peluk, dia hentakkan di atas kepala Chandra.

"Makanya tangannya nggak usah jahil, ngapain masuk-masuk ke dalam baju."

Chandra bangkit dari posisinya, duduk menghadap Wenda. "Ya, makanya hayuk, Wenda. Kamu udah janji loh."

Wenda menoleh menatap Chandra, sudut bibirnya tertarik ke atas. Chandra pun turut tersenyum, berharap kali ini Wenda memberi lampu hijau untuk permintaannya.

"Nggak! Aku lagi datang bulan."

Namun, lagi-lagi permintaan Chandra ditolak dengan alasan yang Wenda pilih secara acak. Chandra memicingkan matanya menatap Wenda.

"Jangan bohong ya. Aku tahu jadwal bulanan kamu, baru tiga hari lalu kamu selesai."

Wenda tersenyum jahil. "Eh, kok tahu banget sih."

"Ya gimana nggak tahu. Setiap bulan keluhan kamu itu-itu aja. 'Chan, sakit perut, sakit pinggang, sakit paha'. Nanti ngerengek minta usap-usap. Belum lagi nanti emosian, sensitif." Chandra mencibir kebiasaan Wenda setiap kali sedang datang bulan.

Wenda terkekeh melihat Chandra menirukan ucapanya. Wenda mengubah posisi duduknya, menghadap Chandra. Tangannya terulur mengusap pipi Chandra dengan lembut.

"Lagian apa hubungannya sama datang bulan sih, Sayang. Aku kan ngajakin makan malam ke kafe temen aku yang baru buka. Kamu udah janji mau pilih malam ini."

Chandra menyingkirkan telapak tangan Wenda di pipinya. "Aku sengaja pulang kerja cepat. Aku juga udah reservasi tempat," ucap Chandra lesu.

"Bi Yati tadi udah masak loh, Chan. Sayang kalo nggak dimakan."

"Ya udah, kita bawa aja masakan Bi Yati ke sana."

Wenda terkekeh, telunjuknya menoyor kening Chandra gemas. "Kamu kira kita piknik bawa bekal dari rumah."

"Ya habisnya kamu alasan mulu."

Wenda bangkit dari sofa, menyimpan stoples keripik di atas meja, meraih remote lalu mematikan televisi. Kakinya melangkah menuju kamar mereka.

"Sayang ...," seru Chandra yang tertinggal di sofa ruang tengah.

***

Wenda sudah menyelesaikan urusannya di kamar mandi. Tubuhnya yang berbalut bathdrobe kebesaran, lengkap dengan handuk yang membungkus rambut basahnya. Mata Wenda menelisik ke tempat tidur, ada Chandra di sana. Tidur dengan posisi tengkurap.

Langkah Wenda mendekat ke tempat tidur, tangannya mengeratkan ikatan pada bathdrobe-nya. Wajahnya mengintip ke wajah Chandra, memastikan Chandra tertidur atau hanya sekadar rebahan.

"Chan, jam berapa?" tanya Wenda.

Chandra mengangkat tubuhnya, meneliti jam tangan di pergelangan tangannya. "Setengah enam," jawabnya singkat.

"Bukan sekarang, tapi dinner-nya jam berapa? Udah kamu batalin?"

Chandra membenahi posisinya menjadi duduk menghadap Wenda yang masih berdiri di tepi tempat tidur. Kepala Chandra bergerak ke kanan dan ke kiri pelan.

"Belum."

"Ya udah tunggu apa lagi? Mandi sana. Katanya mau pergi."

Chandra mengerutkan dahi, dia tampak bingung dengan ucapan Wenda.

"Sayang, kamu mau? Seriusan?"

"Iya! Buruan sana mandi."

Mata Chandra membulat, senyumnya terkembang. Chandra bergerak menurunkan kakinya, duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terentang heboh meminta Wenda menyambutnya.

"Sini. Sini, Sayang. Duduk sini," ucapnya semangat seraya menepuk pahanya agar Wenda duduk di pangkuannya.

Wenda mendekat, mendaratkan bokongnya di pangkuan Chandra, tangan Wenda diraih Chandra untuk dia cium berulang-ulang. Wenda menarik tangannya bergerak berpegangan pada bahu kokoh Chandra.

"Aah, jadi tambah sayang sama kamu. Baik banget sih istri aku."

Chandra memeluk Wenda erat menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, bibirnya terus merapalkan pujian untuk Wenda. Pelukan Chandra uraikan, telapak tangannya yang besar menangkup di pipi Wenda. Wajah Wenda dihujani dengan kecupan, setiap jengkal tak luput dari bibirnya.

Mata Wenda membesar saat kecupan Chandra terasa ganjil, tangan Chandra bergerak nakal, pada bagian bahu sengaja Chandra turunkan mengekspos bahu putih nan mulus Wenda. Tangan Wenda mencengkram bathdrobe bagian dada agar tidak melorot. Bibir Chandra sudah menyentuh bagian rahang, leher, dan sudah sedikit bergeser ke tulang selangka.

"Kamu habis mandi gini suka banget aku wanginya," ucap Chandra semakin memberat saat bibirnya masih bermain di bahu Wenda.

"Chan, jangan ditandai, kita mau pergi." Wenda memperingatkan Chandra.

"Ng-nggak-janji-akan aku tandain, kok."

"Chan, udah. Nanti kita telat loh."

"Bentar, Sayang. Lima menit lagi."

Hidung hingga bibir Chandra terus menghirup aroma wangi-favoritnya-dari tubuh Wenda. Mata Wenda membesar, tangan kiri Chandra sudah menelusup masuk melalui celah simpul tali jubah mandi yang Wenda kenakan. Wenda mendorong tubuh Chandra, tangannya memukul-mukul tangan yang dengan nakal meraba kulit perut Wenda.

"Chan, nggak usah mesum. Nanti kamu susah sendiri loh." Wenda memperingati Chandra.

Bibir Chandra membentuk lengkungan ke bawah, tidak rela mainan barunya harus dihentikan.

Wenda terkekeh melihat tingkah Chandra layaknya anak kecil, manjanya seorang Chandra melebihi Clarissa sekalipun.

Chandra menurunkan Wenda dari pangkuannya. Beranjak dari duduknya. "Aku mandi, ya. Kamu sana dandan yang cantik. Kamu pasti butuh waktu lama, bisa satu windu cuma buat milih warna untuk kelopak mata doang," cibir Chandra.

Wenda memukul lengan Chandra. "Mana ada! Ngarang aja. Kamu tuh pasti habis ini lama di kamar mandi," balas Wenda sengit.

Chandra mengangkat bahunya, berjalan menuju kamar mandi meninggalkan Wenda yang masih duduk di tepi tempat tidur.

"Chan," panggil Wenda, "dikuras ya. Biar nggak nantang lagi!"

Tanjung Enim, 15 Januari 2020

Hai, apa kabar? Maaf telat update. Kesibukan dunia nyata membuatku sulit nulis pasangan ajaib.

Aku lagi sakit, nih. Doain cepat pulih ya. Biar kalian bisa ketemu terus Wenda Chandra tepat waktu.

Salam Sayang ❤️
RinBee 🐝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top