OMAR
“Shodaqollahul-'adzim....” Della menyudahi bacaan Al-Quran-nya. Ustadz Azmi menyimak dan sesekali membenarkan bacaan yang salah.
Dengan selesai Della membaca, selesai lah sesi membaca Al-Quran di musala. Ustadz Azmi memanggil sebagian anak-anak yang curi-curi bermain di teras musala.
“Woi, masok woi!” kata seorang bocah laki-laki memanggil temannya.
“Pulang, pulang!” sahut bocah yang lain lagi.
Mereka semua duduk rapi, hendak membaca do’a selesai mengaji.
Della mengambil kesempatan, selagi teman-temannya belum masuk kembali.
“Ustadz, ustadz, mmm ... boleh nggak Della bertanya?” Della terbata.
“Mau tanya apa?” kata Ustadz Azmi ramah.
“Mama bilang, menghina itu dilarang. Kata Mama juga ada firman-Nya. Tapi Mama lupa.” Della meringis sambil nyengir. “Benarkah Ustadz?”
“Benar. Memang ada. Dan memang dilarang. Kan ustadz sering tegur kalian yang tertangkap telinga Ustadz mengejek atau memanggil temannya dengan sebutan yang buruk.”
Anak-anak yang mendengar cengengesan.
“Sesuai dengan firman Allah. Walaa tanaabazuu bil alqoob. Dan janganlah kamu saling memanggil dengan gelar yang buruk. Itu ada di dalam Al-quran suroh Al-Hujarat ayat 11.”
“Gelar itu apa Ustadz?” tanya seorang bocah perempuan yang juga di sana.
Anak-anak yang lain sudah menyusul masuk musala.
“Gelar yang dimaksud di sini, memberi laqob atau label, yaitu memanggil orang lain dengan sebutan yang jelek. Sebutan Buruk. Misalnya, si bodoh, si pincang lah, si buruk rupa, atau ... si gagap juga, si juling, si cekot, dengan tujuan merendahkan. Berbeda dengan memberi gelar yang baik. Seperti si pintar, si manis, si baik hati. Nah, laqob yang seperti ini diperbolehkan, malah dianjurkan.”
“Ooo ....” lirih murid-murid Ustadz Azmi dengan mulut yang membulat dan anggukan khidmat.
“Nah, coba deh. Misal nih, Hendri, kalau dipanggil orang dengan si gagap, suka nggak?”
Tiba-tiba anak-anak tertawa. Ustadz Azmi menenangkan mereka.
Hendri gugup sedikit malu, lalu menggeleng cepat.
“Kalau Rara, dipanggil si buruk rupa, senang nggak?”
“Nggak lah Ustadz.” Rara manyun sedikit mengulum senyum.
“Sakit hati kan? Itulah sebabnya. Karena panggilan yang buruk bisa membuat orang lain sakit hati.”
“Orang ‘kan yang kita sebut memang bener Ustadz. Kayak Rara, kibo. Kan memang betul.” Hendri mengeluarkan pendapatnya. Diikuti tawa kecil sebagian anak-anak di sana.
Rara cemberut. Bibirnya manyun.
“Apapun alasannya, tetap dilarang. Sekalipun itu kenyataan.” Ustadz Azmi menegaskan.
Anak-anak itu terlihat mencerna perkataan Ustadz mereka.
“Lagipula, bisa jadi orang yang diejek itu lebih baik di mata Allah daripada kita lho. Apa kalian mau dijauhi Allah hanya gara-gara mengejek teman? Padahal belum tentu benar.”
“Kan becanda lho, Ustaaadz!” seru seorang bocah laki-laki seumuran Hendri.
“Tetap saja. Becanda ‘kan juga ada batasnya. Becanda boleh, asal tidak berlebihan. Tau batasan.” Ustadz Azmi menyampaikan pelan tapi penuh penegasan.
“Hendri tu Ustadz, suka ngejek-ngejek.” Saddam bersuara. Pengucapan huruf ‘r' di nama Hendri terdengar cadel.
Anak-anak di sana tertawa mendengarnya.
“Ih, enak aaaajaaa!” Hendri membantah, tapi wajahnya menahan senyuman bersalah.
“Ih, betol kok. Kita sering dengeeerrr ....” Akbar menimpali.
“Ih, mana aaaadaaa! Ya kan woi!” Hendri bersikeras. Teman-temannya menimpali dengan mengiyakan.
“Sudah, sudah. Nggak usah ribut. Itu tadi, kenapa kalian tertawa waktu Saddam bicara?”
Dua orang bocah seumuran Rara terdengar masih terkekeh sambil menutup mulutnya.
“Itu yang di belakang, kenapa pula?” tanya Ustadz Azmi heran. Dua orang yang ditanya menahan geli sampai matanya berair.
“Lucu aja, Ustadz,” kata mereka setelah tawanya reda.
Ustadz Azmi menghela napas dan menggeleng-geleng pelan.
“Nah, itu tadi contoh yang nggak baik. Menertawakan itu juga termasuk dalam barisan mengejek.”
Kedua bocah perempuan itu tertunduk, tapi masih senyum-senyum.
Saddam yang ditertawakan hanya duduk santai. Baginya itu sudah biasa. Walaupun kadang hal itu berhasil membuat ia malu.
“Sudah, ya. Yang penting mulai hari ini, Ustadz nggak mau dengar lagi ada yang masih suka mengejek temannya. Kalau kalian tidak senang diejek teman, maka jangan memulai mengejek orang lain. Faham?”
“Faham, Ustadz...” Anak-anak tertunduk.
“Ustadz, kata Mama, kita nggak boleh marah. Memangnya kenapa? Kalau udah diejek, gimana nggak marah, Ustadz? Mengejek itu ‘kan nggak boleh? Terus kenapa kita nggak boleh marah balik pula sama yang ngejek?” tanya Della lagi.
Rara mengangguk-angguk dengan bibir yang maju, tanda setuju.
Lalu Ustadz Azmi kembali menjelaskan perihal yang dipertanyakan Della.
Anak-anak terlihat mendengarkan dengan khidmat. Sesekali mereka tertawa masih saling ledek antara teman.
TAR!
Tiba-tiba suara geluduk menyambar. Anak-anak sampai terkaget dan ruangan jadi hening.
“Ya sudah, setelah ini kalian saling minta maaf. Siapa-siapa yang merasa pernah mengejek teman, segera minta maaf, ya. Biar dosanya ikut diampuni,” kata Ustadz Azmi.
“Ayo ko Hend, minta maaf abis ini,” Akbar berseloroh geli.
Anak-anak tertawa lagi. Hendri cengengesan tak enak hati.
“Wkwkwkwkwkw!” Omar terbahak hingga matanya menyipit.
Lalu
Tuuuut!
Suasana seketika jadi senyap.
Krik krik!
Semua mata menatap ke arah Omar.
Wajah Omar berubah pasi. Ia tertunduk malu.
“Omaaaaaarrrr!!” teriak anak-anak, sebagian memelotot.
"Emh, gas beracuuun!" Rara menghindari Omar.
Serta merta mereka bangkit bertabur menghindari Omar sambil menutup hidung.
“Ehhe, maaf ....” Ia cengengesan.
Ustadz Azmi geleng-geleng dan menutup hidungnya juga.
“Omaaar, ini nggak sopan!”
Omar cengengesan. Menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Della sempat mendekat ke Ustadz untuk menyalaminya khidmat. Lalu gadis bersanggul itu lari ikut ngacir keluar. Ia sempat menepuk pundak Omar saat melewatinya dengan sarung mukena.
‘Omar ruussssuuhh!’
🌼🌼🌼
“Assalamu’alaikum! Mama ....”
“Wa’alaikumsalam.” Kak Dean yang sedang duduk di ruang depan menjawab. Ia sedang membuat prakarya, tugas dari sekolah.
“Mama mana?” tanya Della pada Kak Dean.
“Ada tuh, di belakang.” Dean menjawab sembari menoleh sekilas ke arah Della.
Della masuk menyusul Mama.
“Wa’alaikumsalam. Gadis Mama udah pulang?”
Della mencium tangan Mama. Ternyata Mama sedang memetik sayuran.
“Makan gih, abis itu belajar.”
Della mengangguk. Ia meletakkan mukena parasutnya ke kamar lalu kembali lagi ke ruang makan.
Sejurus kemudian, satu piring nasi dengan lauknya sudah berada di depan Della.
“Gimana, udah ditanya belum sama Ustadz Azmi?” tanya Mama.
“Udah.” Della mengangguk sembari membaca do'a dan menyuap nasi.
“Apa katanya?”
“Ya gitu, Ustadz Azmi menjelaskan kalau itu nggak boleh.”
Della menyuap nasinya lagi.
“Yang Mama tanya juga udah dikasi tau tadi sama Ustadz Azmi. Tapi Della lupa apa bunyinya. Hihi.” Della nyengir.
“Ya udah. Yang penting Della udah tau ‘kan sekarang?”
“Hem emh. Pas kali, Ma. Tadi waktu Ustadz Azmi njelaskan, Hendri dan teman-temannya lagi datang.” Della semangat bercerita.
“Hendri siapa?” Mama menatap Della heran.
“Mmmm ... anak kelas lima di sekolah.”
“Dia yang suka ngejek Della?” tanya Mama pelan.
Della mengangguk ragu. “Bukan Della aja sih, Ma.”
Mama mengangguk. “Oh ....” Tangan Mama masih cekatan memetik sayuran.
“Ya udah. Baguslah, kalian semua sekalian dapat wejangannya.”
“Ma, tadi Ustadz Azmi juga jelasin tentang marah.”
“Oh ya?”
Della mengangguk bersemangat. Matanya membulat.
“Gimana?”
Della lalu dengan semangatnya bercerita tentang apa yang ia dapat tentang ‘pasal marah' tadi di musala.
“Orang yang kuat bukan lah dengan bergulat, tapi yang mampu menahan emosinya padahal ia bisa saja marah.” Ustadz Azmi memberi nasehat.
“Marah itu adalah tabiat manusia yang tak akan bisa dihilangkan. Marah itu manusiawi. Hanya saja perlu dihindari,” kata Ustadz Azmi lagi.
“Jadi marah boleh ‘kan Ustadz?” Omar yang juga di sana bertanya dengan rasa penasaran.
Ustadz Azmi tersenyum.
“Omar, marah memang manusiawi, tapi kendalikan diri. Jangan sampai emosi menguasai hati. Orang yang sedang marah bisa dikendalikan syaitan. Ngeri.”
Wajah anak-anak itu spontan tegang.
“Rasulullah nabi kita pernah bersabda. Sayyidina bilang, laa taghdob, wa lakal jannah. Janganlah kamu marah, bagimu surga.”
“Gitu kata Ustadz Azmi, Ma,” Della menyudahi cerita. Mama tersenyum, merasa bahagia dengan apa yang diceritakan ulang oleh Della.
“Terus adalagi?” tanya Mama.
Della menggeleng.
“Cara mengatasinya kalau udah terlanjur marah, nggak diajari?” tanya Mama lagi. Mama sengaja memberikan pertanyaan pada Della. Agar pikirannya terbuka. Kalau Ustadz Azmi yang menjawab, bukan hanya Della, anak-anak yang lain juga mendapat pelajaran.
“Oh, nggak. Besok Della tanya lagi. Tadi sudah keburu mendung. Takut hujan. Mana mau pulang dapat pemboman.”
“Maksudnya?”
Ohoks!
Della terbatuk. Ia segera meminum air putih di samping piring.
“Pelan-pelan ....”
“Mama ngajak Della bicara terus, sih.” Della mendengkus.
“Mama minta maaf. Abis Della ceritanya semangat kali gitu. Mama 'kan jadi ikut semangat. Ya udah, siapin makannya.”
“Udah abis,” Della tertawa lirih.
“Mmm ... Ma, Wak Leman kemarin ke sini mau apa?” tanya Della takut-takut.
“Nggak ada. Cuma laporan aja.”
‘Hah? Laporan?! Duh, Jangan-jangan ....’
“Laporan Apa, Ma?”
“Urusan orang tua. Kamu anak-anak nggak boleh tau.”
Della cengengesan. Dalam hati ia merasa panas dingin juga deg-degan.
‘Ah, selamaaaaat ....’
🌼🌼
Hay sahabat Della. Apa kabar?
Sekarang udah tau, kan? Ternyata memanggil orang dengan sebutan buruk itu nggak boleh, lho. Kata Ustadz Azmi, dosa.
Marah, ternyata juga patut dihindari. Kira-kira apa kata Ustadz Azmi perihal mengatasi marah, ya?
Buku ini sudah ditulis hingga tamat (versi online) di grub LovRinz and Friend.
Sekarang sedang Open Pre Order.
Yang mau ikutan masuk list-nya boleh banget. ☺
Kelebihan isi.
Adik-adik akan diajak berpetualang dan seseruan bersama mereka, sekaligus ikut menyerap pengetahuan dan pelajaran dari tiap perjalanan cerita mereka.
Buat orang dewasa, Pertualangan mereka mungkin akan banyak membuat kalian bernostalgia dengan masa kecil dahulu. Penulis sengaja mengambil latar cerita yang terjadi pada zaman sebelum banyak gaget dan internet di mana-mana. Agar untuk adik-adik pembaca bisa punya wawasan bagaimana kehidupan masa kecil tanpa gaget yang tak kalah seru. Bahkan bisa jadi lebih menyenangkan dengan keseruan bermain bersama-sama.
Kuy, masuk list PO. Dua hari lagi lho close. Harga normal jauh berbeda dengan harga PO mimin bilang. Normal 100K
Beda jauh kan. Mending PO aja 😉
Eh iya, ini Omar. Lucu 'kan dia. Liat tuh badannya. Kenalin diri, Mar! 😁
Okay! 👌
Eghm! Ehem! Tes!
"Haaaay, 👋saya Omar. 😁 jangan aneh dengan tubuhku yang gendut. Hihi
Aku suka makan, sih. Saya--"
"Dah, dah, dah! Waktunya dah abis." 😆
"Ish! Della! Salam kenal ya sahabat semuaa ...."
😀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top