Skenario

Holaaa! Puasa hari ketiga bagaimana besti? Lancar kan? Cus baca buat temen tidur wkwkwk.

Btw, maafkan kalau ceritaku soal rumah tangga terus. Nggak tahu knp lagi suka gitu hehehe.

###

"Athaya! Ada yang cariin kamu tuh." Memei teriak dari ujung tangga paling atas, suaranya melengking dan cukup ampuh mendatangkan si pemilik nama.

Athaya tergopoh-gopoh dari kamarnya yang terletak paling ujung. Rambut panjangnya ia jepit dengan jedai asal-asalan yang penting rapi. "Siapa, Mbak?"

"Nggak tahu. Ibu-ibu gitu sama cowok." Memei turun meninggalkan Athaya.

Ibu-ibu? Cowok? Rasanya ia tidak punya janji dengan siapa pun hari ini terutama ibu-ibu. Lalu siapa? Sadar bahwa tidak akan mendapat jawaban, Athaya pun turun menemui tamu tersebut.

Langkah Athaya melambat saat mengenali sosok wanita yang telah menyayanginya selama ini dan ia rindukan, bahkan doa selalu terucap untuk beliau selain untuk ayahnya. Riska, ibunya, dan Jenggala. Athaya bergegas menghampiri ibunya, beliau menyambutnya dalam pelukan.

"Ibu kangen, Tha." Riska memeluk putri kesayangannya itu dengan penuh kerinduan. "Pulang, Nak. Temani Ibu." Air matanya turun karena begitu rindu pada Athaya. Putrinya ini memutuskan keluar dari rumah mereka sesaat setelah lulus kuliah. Memang dia pulang tapi tidak pernah lama.

Athaya mengurai pelukan Riska, memberinya senyuman, dan menghelanya duduk. Perhatiannya penuh pada ibunya. "Atha kan kerjaannya di sini. Kalau pulang ke sana berarti harus keluar dari kerjaan dong. Kan sudah ada Mbak Rosa, Mas Gala juga."

"Mbakmu kui lak ikut Mas Gane ke Jakarta. Gala nggak pernah ada di rumah, pulang e malam terus. Ibu sendirian, Tha."

Perempuan 27 tahun itu meringis mendengar penuturan ibunya. "Atha belum bisa pulang, Bu. Kerjaan di sini lagi banyak-banyaknya. Nanti kalau ada libur, Atha pulang deh."

Ibu dari Gala tersebut tidak tahu apa yang membuat Athaya berubah. Athayanya dulu selalu ingin berada di sisinya tapi sekarang seperti ingin menjauh darinya. "Iya, wes. Ini Ibuk sama masmu di sini beberapa hari. Mau ndak temenin Ibuk di hotel?"

"Ibuk nginep di mana?" Athaya mengambil air mineral di rak bawah meja, menaruhnya di depan Riska dan Gala.

"Ndek mana, Le?" Riska melempar pertanyaan pada Gala.

"GAIA," jawab Gala.

"Ayok Ibuk bantu siap-siap. Jadi besok kita langsung bisa jalan. Besok liburkan?" tanya Riska sambil menghela Athaya ke lantai dua tempat kamarnya berada.

Riska memperhatikan kamar kos putrinya dengan perasaan tak rela. Tentu saja tak rela sebab kamar kost-nya tidak luas, sangat berbanding terbalik dengan kamar Athaya di rumahnya tapi perempuan itu malah milih bertahan di sini. Apa sebenarnya penyebab utama Athaya pilih keluar dari rumahnya?

###

Di kamar hotel keesokkan harinya saat Riska dan Athaya sarapan berdua, wanita berusia 65 tahun itu bercerita tentang keresahannya. "Ibuk wes nyerah nyuruh Gala nikah. Nggak ruh yang dicari kui perempuan kayak apa. Wes banyak dikenalno sama Bapak dulu tapi nggak ada yang cocok."

"Belum ketemu jodohnya saja mungkin, Bu. Nanti kalau sudah waktunya pasti mau nikah," sahut Athaya. Ia membereskan alat makan kotor yang nantinya akan diambil karyawan hotel.

"Nantinya kui kapan? Umur wes 38 gitu kok sek nanti-nanti ae." Riska menghela napasnya, resah memikirkan putranya. "Pacarmu mana, nduk? Kapan mau dikenalin sama Ibu?" Tampak senyum semringah dari wanita berhijab tersebut.

Athaya menggeleng. "Belum ada, Bu. Temenan biasa banyak."

"Kenapa?"

"Belum ada yang sreg, Buk."

"Kenapa kalian nggak nikah aja, Tha? Toh sama-sama single. Ibuk ya jadi tenang, Bapak juga pasti seneng. Dulu cita-cita Bapak melihat kalian nikah," tutur Riska dengan pandangan jauh ke depan, berkelana menyusuri kenangannya bersama almarhum suaminya. "Bapak sedih pas kamu milih kerja di sini. Ya dia senyam-senyum tapi aslinya dia sedih, kepikiran kamu terus yang jauh." Ia menghela napasnya berat sebelum melempar senyuman untuk Athaya. "Njajal di pikirno saran Ibuk. Kalian nggak ada hubungan darah, kalau nikah nggak ada masalah."

Athaya mengangguk lalu mengambil teh manis di nampan. Menghirup aromanya seraya memikirkan ucapan ibunya. Satu kenyataan baru yang ia tahu. Ya Allah, Athaya sangat menyayangi Bapak dan sekarang rasa bersalah sudah membuat beliau sedih bercokol di hati. Maafkan Athaya, Pak, gumamnya dalam hati.

Untuk soal menikah dengan Gala, darinya tidak masalah kalau tapi masalahnya justru dari pria itu sendiri. Gala tidak menyukai Athaya, sampai kapan pun anak pungut sepertinya tidak ada pernah cocok jadi pasangan pria itu. Tidak sebanding dengan Gala walaupun Nana Raharjo mendukungnya.

Rasanya sungguh menyakitkan mengetahui kenyataan itu. Kalau saja bisa memilih, Athaya tak ingin lahir dengan status tidak jelas. Ia ingin punya orang tua kandung lengkap, saudara kandung dan keluarga dengan background yang bagus.

"Tha. Kamu nggak jadi berangkat? Sudah jam tujuh lebih."

Kata-kata Riska menyentak kesadaran Athaya. Perempuan muda itu buru-buru meninggalkan kursinya untuk bersiap-siap berangkat kerja. Tepat ia keluar dari kamar mandi, Gala sudah duduk bersama ibunya. Pria itu tampak menawan dengan pakaian kasual. Celana jin pendek biru, polo shirt putih, sepatu sneaker putih, dan kacamata hitam. Oh jangan lupakan jam tangan mahalnya, benar-benar pria sempurna dan idaman para wanita.

"Tha, bareng sama masmu wae. Kui Gala arep nok koncoe juga. Searah," perintah Riska.

"Nggeh, Buk." Athaya mengambil tas ransel hitam. Tas itu yang biasa ia pakai sehari-hari. "Atha berangkat ya, Buk. Insyaallah kalau nanti bisa izin setengah hari, Atha bakal cepet-cepet pulang." Athaya mencium tangan Riska, memeluknya sebentar sebelum meninggalkan beliau sendiri.

"Ora usah. Kerja sing tenang. Ibuk sabar kok nungguin kamu."

"Nggeh."

"Buk, berangkat." Gala mencium tangan Riska sebentar lalu mengikuti Athaya keluar kamar.

Dalam perjalanan menuju tempat kerja Athaya, Gala tidak membuka mulutnya sama sekali. Situasinya tegang dan sangat tidak nyaman. Athaya membuka suara saat memberi petunjuk arah tempat kerjanya. "Makasih, Mas," ucap Athaya sebelum turun. Namun, seolah menulikan telinganya dan pergi begitu saja ketika pintu mobil Athaya tutup.

###

"Akhir kamu nikah juga, Dek." Rosa memeluk Athaya saat perias pengantin selesai merias adiknya itu. "Duh, mbok ya dari dulu-dulu kamu nikah sama Mas Gala. Jadi nggak ada drama kabur-kaburan segala." Riska tertawa melihat Athaya merenggut sebal padanya. "Kamu kira Mbak nggak tahu ya perasaan kamu sama Mas Gala? Hohoho Anda salah ferguso. Tapi seru sih bisa buat cerita anak-anak kalian nanti."

"Ih, nggak ya. Aku nggak kabur kok. Aku cuma pengin mandiri aja, Mbak. Lagian Mbak harus tahu kalau semua ini demi Ibuk. Aku nggak mau nyesal bikin Ibuk kenapa-napa kayak Bapak dulu. Mas Gala juga. Jadi pernikahan ini nggak ngubah apa pun, Mbak."

"Ya. Ya. Ya. Wes terserah kalian, yang penting kalian dah resmi. Mau terpaksa, mau demi Ibuk, mau demi Alex juga nggak masalah. Lama-lama juga suka."

"Mbak, perasaan dulu Mas Gala ada cewek deh. Kenapa dia nggak nikah sama ceweknya aja sih?"

Rosa mengedikkan bahu. "Nggak tahu. Mbak nggak berani tanya-tanya soal itu. Nyari aman aja sih, Tha, daripada kenak amuk singo. Ruh dewe lek dekne nesu, sak omah iso dipangan."

Athaya membenarkan omongan Rosa. Gala akan jadi saudara yang baik tapi jika daerah teritorinya diganggu dia bisa jadi singa ngamuk. "Iya seh." Athaya kemudian termenung, memikirkan nasibnya setelah ini. Bagaimana ia harus bersikap pada Gala nantinya? Lama tidak tinggal satu atap—momen-momen tertentu ia pulang—pasti canggung, apalagi nanti kalau berada dalam satu kamar.

"Hayo mikiran malam pertama ya." Rosa menyenggol bahu Athaya pelan. "Pertamanya aja sakit, Tha, lama-lama bikin nagih."

"Apanya yang bikin nagih, Sa?" Riska masuk menghampiri kedua putrinya. "Ayo keluar temuin Gala."

Athaya mengangguk, berdiri di antara Rosa dan Riska. Dadanya berdegup kencang, seolah tengah ditabuh cepat dan kuat. Ya Tuhan, batinnya. Saat di depan, Athaya melempar senyuman pada tamu undangan, kerabat, dan temannya, tapi senyumnya sedikit luntur melihat ekspresi Gala. Pria itu tidak tersenyum sedikitpun, serta sorot matanya menusuk membuat Athaya menarik senyumnya.

Wanita itu mencium tangan Gala, menerima kecupan dingin di dahinya. Tidak ada euforia kebahagiaan karena menjadi istri Jenggala Akbar Raharjo. Semua terasa dingin. Setelahnya ia menandatangani buku nikah.

Pukul satu siang acara berakhir, semua tamu undangan telah pergi, tinggal para kerabat. Athaya juga sudah melepas pakaian pengantin, menghapus make up, dan selesai salat. Ia menoleh kala pintu kamarnya dibuka. Untuk sesaat Athaya bingung melihat Gala masuk kamarnya, sedetik kemudian sadar.

Pria itu langsung ke lemari, mengambil baju seolah-olah sudah sangat hapal dengan kamar Athaya ini. Apa mungkin Gala yang pindahkan? Sepertinya tidak mungkin. Pasti ibunya. Ia pun bergegas melihat mukena lalu mengambil handuk bersih di rak lemari paling bawah. "Handuknya aku taruh dipegang pintu." Setelahnya Athaya keluar bergabung sama saudara-saudaranya.

"Manten anyar rek," celetuk Mas Kala, kependekan dari Niskala. "Kirain cewek mana yang berhasil bikin kulkas empat pintu nikah, nggak tahunya kamu dek."

"La ya. Gletek ae tibak e. Tiwas tak kenalin sama temen-temenku eh nyantolnya sama Atha," timpal Hawa dari sisi Bisma.

"CK. Gala dari awal emang demen sama Atha. Gengsi doang dia mah. Masa suka sama adik sendiri," beber Surya yang memang lebih dekat dengan Gala dibandingkan sepupu-sepupunya yang lain.

Rosa mendekat dengan hati-hati karena perutnya yang buncit. Ia duduk di sisi Athaya. "Masa sih?"

"Yaelah ngapain bohong sih. Yang temenin dia minum gara-gara Atha pindah ke Yogya siapa? Ya Aku. Padahal nggak pernah lho dia minum sampai mabuk parah gitu. Jauh-jauh dari Malang ke Yogya cuma buat lihat Atha doang. Babi banget kan? Mana tidur di mobil depan kost-nya Atha lagi. Asem emang tuh orang. Udah gila dia."

"Nggak usah bacot!" Gala melempar gelas air mineral ke wajah Surya. "Geser, Dhan." Gala memaksa Ardhana pindah jauh dari Athaya. Tangannya menjulur di sandaran kursi belakang Athaya.

"Yaelah, Mas, banyak kursi kosong kenapa harus mepet-mepet sih," protes Ardhana yang kini berada di sisi Chery.

Surya tersenyum kecil melihat kelakuan Gala. "Masa gitu aja nggak paham, Dan. Orang cemburu itu nyeremin lho. Untung-untungan kamu nggak dibogem kayak siapa tuh dulu."

Gala melempar kue kering kepada Surya. Mulut sepupunya itu benar-benar ember, tidak bisa jaga rahasia sama sekali.

Sungguh Athaya tidak percaya dengan semua omongan Surya. Tidak mungkin Gala berbuat seperti itu. Lagi pula buat apa? Bukankah pria di sisinya ini begitu tidak suka padanya?Bukankah Gala merasa jijik karena dia anak yang tidak jelas asal-usulnya menjadi bagian keluarga Raharja?

"Bubar. Bubar." Gala berdiri sambil menarik Athaya. Perempuan itu tampak kebingungan melihat sikapnya. Sorak-sorai menggoda terdengar dari para sepupunya tapi Gala tidak peduli. Ia menghela paksa Athaya ke kamar.

Sampai di kamar, Gala langsung tidur tengkurap. Kedua tangannya menyusup di bawah bantal. Matanya juga langsung terpejam. Gala butuh istirahat usai meninjau toko furniture keluarganya di Surabaya.

Berbeda dengan Gala, Athaya tidak bisa tidur biarpun ngantuk dan capek. Rasanya aneh dan tidak terbiasa ada orang lain di kamarnya. Ia pun akhirnya pilih duduk berselonjor di sofa sambil membaca pesan-pesan yang masuk.

Athaya membuka mata saat mendengar sayup-sayup suara adzan. Tidak tahu adzan Magrib atau Isya'. Tangannya otomatis mencari-cari ponselnya dan berhasil menemukan. Pukul 19.10 WIB. Itu artinya ia melewatkan salat Magrib—sepertinya ia tertidur usai salat Ashar.

Perempuan itu duduk. Dia terlihat bingung. Bukankah tadi dirinya duduk-duduk di sofa, lalu kenapa sekarang di kasur? Apa dirinya ngelindur berjalan ke kasur? Atau Gala yang mengangkatnya? Ah, tidak mungkin Gala repot-repot melakukannya. Pasti Athaya ngelindur.

Perhatian Athaya teralihkan sewaktu pintu kamarnya dibuka. Gala masuk membawa nampan, lalu meletakkannya di pangkuan Athaya. Aneh. Sejak kapan mantan kakaknya ini baik padanya?

"Disuruh Ibuk." Selanjutnya Gala duduk di sofa sambil bermain ponsel. Sesekali melirik pada Athaya yang makan dengan lahap, melihat itu seringainya muncul.

Rasanya tidak nyaman buat Athaya diam-diaman begini. Memang status mereka berubah tapi setidaknya mereka bisa jadi teman. "Mas," panggilnya. Sejurus kemudian ia turun dari kasur menghampiri Gala di Sofa. "Maaf ya Mas jadi terpaksa nikah sama aku. Ya aku tahu kalau aku bukan kriteria atau level Mas buat jadi istri Mas, tapi kita bisa kan jadi temen? Kalau jadi saudara udah nggak mungkin."

Wanita yang mempunyai rambut sepunggung itu mengambil jeda, menarik napasnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Ya setidaknya sampai Ibuk bener-bener sehat dan stabil. Kalau nantinya Mas ketemu sama perempuan yang Mas suka, yang selevel, mungkin kita bisa pisah. Aku yakin Ibuk bisa ngerti."

Gala menatap lekat wajah Athaya. Geram sekali rasanya. Dan sungguh terkutuk wanita di depannya ini. Bagaimana bisa dia menyarankan perpisahan saat pernikahan mereka baru berlangsung beberapa jam lalu? Gala kemudian merangsek maju, menarik tengkuk Athaya cepat lalu menyatukan kedua bibir mereka. Pria itu menekan semakin kuat, mengunci rontaan Athaya.

Laki-laki tersebut menggoda bibir Athaya, mencumbunya penuh tekanan hingga wanita itu menginzinkan dirinya menikmati bibir lembut Athaya. Gala melepas tautan bibir mereka ketika udara mulai habis dalam paru-paru, menempel keningnya pada kening istrinya. Napas mereka terus berlomba untuk segera normal.

Wanita itu sontak menampar Gala. Ia terlalu kaget sampai tidak berpikir panjang. "Maaf, Mas, aku ...."

"Ck. Main gampar aja sih, Tha."

"Habisnya Mas Gala tiba-tiba banget."

"Apes. Malam pertama bukannya disayang-sayang malah ditampar." Gala mengusap pipinya yang panas. Lumayan juga tamparan Athaya.

Mendengar gerutuan Gala, Athaya merasa tidak enak. "Maaf, Mas. Aku beneran kaget."

"Kaget mana aku sama kamu. Baru nikah tapi udah diulti pisah. Ngajari selingkuh lagi."

"Ya aku nggak maksud gitu. Aku ngomong sesuai fakta. Mas sendiri yang bilang aku nggak level sama Mas. Aku cuma anak pungut. Jadi menurutku itu yang terbaik buat kita." Athaya menatap lurus paras Gala. Bekas tamparannya membayang di pipi pria itu.

"Ngawur emang kamu, Tha. Padahal omongan Surya udah jelas lho. Masih aja otakmu itu lola." Gala meraih Athaya dalam pelukan. Pertengkaran ini harus diakhiri. Tidak elit sekali malam pertama malah berdebat.

Athaya mendongak, menatap Gala penuh cinta. "Jadi Mas Surya nggak bohong? Kalau gitu kenapa waktu itu Mas bilang kayak itu? Aku sampai nangis lho."

Gala menarik napas, mengeratkan pelukannya pada Athaya. "Nggak. Surya nggak bohong. Kenapa aku ngomong gitu karena aku udah janji sama Bapak, kalau aku nggak bakal ngerusak kamu sampai kamu selesai kuliah. Bapak sayang banget sama kamu, Rosa, bahkan Ibuk tapi aku nggak pernah lihat kamu sebagai adik. Jadi ya ... kayak itu."

"Jadi Bapak tahu kalau Mas suka aku?" tanya Athaya. Gala pun mengangguk. "Bapak nggak marah?" Gala lagi-lagi menggeleng. "Terus kenapa harus janji jauhin aku?"

"Ya soalnya aku pengin langsung nikahin kamu. Tapi sama Bapak nggak bolehin. Biar kamu lulus dan punya gelar dulu. Bapak mau kita setara."

Ya Allah, sesayang itu Bapak padanya. Bahkan beliau memikirkan pendidikan Athaya. Dan yang jelas, selama ini ia sudah salah paham pada Gala. Sungguh terkadang skenario Tuhan tidak ada yang tahu. Mungkin menyakitkan awalnya tapi terselip kebahagiaan di akhirnya.

Tamat!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top