Sabarlah Cintaku

Ketemu lagi wkwkwk. Masih dengan cerpen yang begitu lah dengan judul lagi Afgan. Kutambahkan dikit sih 🤣 happy reading zeyengku.

####

"Nduk."

Aku segera menoleh, meletakkan sisir yang kupegang. Untung saja rambutku sudah terikat rapi. "Nggeh, Bu?" Aku mendekat ke arah beliau. Aku sedikit heran melihat ibu sudah rapi dengan gamis yang cantik. Tidak biasanya. "Ibu mau pergi ta?" Aku menghela Ibu duduk di kursi tengah.

"Ora. Habis ini ada tamunya bapakmu. Temen lama. Dulu orang sini terus merantau. Sekarang pindah lagi ke sini soalnya sudah pensiun dari pekerjaannya."

"Oalah nggeh. Ibu mau dibantuin apa? Biar Mita yang siapkan."

"Tinggal nata makanan ke meja nanti. Kamu ikut nemuin juga ya nanti. Biar tahu," pinta ibu lembut.

Aku mengangguk saja. Tidak ada salahnya toh hanya menemani orang tuaku sendiri. "Mau ditata sekarang saja ta makanannya? Biar nanti nggak keburu-buru."

"Boleh. Itu kayaknya mereka datang. Sama buatkan minuman hangat ya, Mit." Beliau ke depan setelah menangkap suara mobil berhenti di halaman rumah.

Dengan cepat Aku menata hidangan yang ibunya buat, tak lupa menutupnya dengan tudung saji setelah itu aku Ia minuman hangat teh dan kopi dalam teko kecil. Usai membuat minuman aku ke depan untuk menyapa tamu Bapak sesuai permintaan Ibu .

"Sini, Mit." Bapak melambai tepat aku masuk ruang tamu. "Ini putriku Amita. Nduk ini temen Bapak. Pak Soleh sama Bu Yuyun."

Aku menyalami kedua orang tersebut lalu ke dalam untuk membawa teh hangat dan kopi beserta beberapa buah gelas. "Monggo," ujarku mempersilakan mereka untuk menuang minuman yang diminati.

"Ayu tenan e. Sayange anakku nggak ikut. Kan mereka bisa kenalan. Siapa mau jodoh," celetuk Pak Soleh bersemangat. Beliau sepertinya orangnya ramah meskipun mempunyai kumis lebat kayak Pak Raden di film Unyil.

Aku tersenyum kecil saja mendengarnya. Mungkin jika tidak menyimpan perasaan pada pria lain aku mau saja dikenalkan putranya. Ya namanya jodoh siapa tahu kan? Bisa saja kami berjodoh atau sebaliknya, semua patut dicoba bukan? Sayangnya perasaanku sudah terbelenggu oleh dia. Malik Abbiyya. Atasanku di tempat kerja. Ya bisa dibilang cinta dalam diam. Aku tak berani mengatakan perasaanku padanya sebab dia sudah memiliki kekasih.

Sungguh bodoh bukan diriku mengharapkan dia mengetahui perasaanku padanya? Entah sampai kapan akan terus begini. Kadang aku juga berpikir, kapan aku benar-benar bisa melepas cintaku padanya dan membuka hati untuk yang lain? Sungguh berat rasanya tapi bagaimana lagi? Andai bisa memilih aku tak ingin mempunyai perasaan ini pada dia.

"Iya, Pak, ya. Sayang tenan e," sahut Bu Yuyun. "Dia itu susah kalo diajak-ajak gini. Kerjaan aja yang diurusin. Umur juga sudah 35 masih aja betah sendiri," ungkap beliau.

Bisa dipahami keresahan seorang Ibu di mana pengaruh lingkungan yang semakin mencemaskan. Pergaulan yang sudah tidak terkontrol lagi yang bisa menjerat seseorang dalam kubangan dosa.

###

Hari itu aku datang lebih lambat dari biasanya setelah izin karena mengantar Ibu ke klinik lebih dulu, tekanan darah beliau tinggi. Pantas saja Ibu mengeluh kepalanya berat dan memang waktunya kontrol. Biasanya Bapak yang mengantar tapi hari ini beliau pun sedang kurang sehat jadi ya hanya aku yang bisa.

Pukul sepuluh aku baru sampai kantor. Untungnya kerjaanku hari ini tidak begitu banyak sebab sebagian sudah di-acc tinggal melaporkan saja pada Pak Malik. "Mbak Nai, bos udah datang?" tanyaku sembari duduk.

Perempuan ayu itu mengangguk. "Sudah. Kamu diminta langsung masuk kalo sudah datang. Beliau menunggu laporan punya PT. Gemilang."

Aku segera mengambil laporan milik PT. Gemilang lalu menemui beliau. Selama menunggu Pak Malik membaca laporan yang sudah disetujui oleh kedua pihak, aku memandanginya dari balik bulu mataku. Kulitnya sedikit kecokelatan khas seorang pekerja keras tapi bukan yang cokelat pekat. Sorot matanya tajam, bibir yang penuh, sungguh menggoda untuk dikecup, dan tubuhnya kekar. Ah sungguh beruntung bukan kekasihnya memiliki Pak Malik yang spek dewa begitu.

"Mit. Mita!"

"Ah iya, Pak?" Ya ampun aku kaget mendengar panggilannya yang keras. Salahku juga melamun di saat jam kerja.

"Ok. Bisa dilanjutkan ke bagian pengadaan barang," ujarnya menyetujui laporan yang aku serahkan. "Kamu bisa keluar."

"Baik, Pak."

Aku keluar dengan perasaan nelangsa, menyadari kenyataan tak mungkin bisa menggapai pria itu.

"Kenapa?" tanya Mbak Nai

Dia bertanya saat melihatku duduk dengan lesu di kursi. "Patah hati, Mbak." Memang benar kan? Pak Malik dan Bu Maura begitu cocok satu sama lain. Aku? Ah rasanya sangat jauh beda.

"Sama siapa? Perasaan Mbak nggak pernah lihat kamu deket banget sama cowok di sini?" Mbak Nai melihatku dengan curiga usai berkata demikian. "Kamu nggak lagi suka ...."

Aku mengangguk meskipun Mbak Nai belum melanjutkan ucapannya.

"Duh," celetuknya cepat sambil menepuk jidatnya. "Gimana ya bukan nggak dukung sih, Mit, tapi kok timpang bener ya kamu sama beliau."

Itu tidak perlukan lagi. Aku pun mengakuinya. Bu Maura itu sudah pintar dan cantik saja tapi juga anggun dan ramah pada orang. Siapa pun tak akan sulit untuk menyukainya. "Itu dia, Mbak. Beliau spek Dewi Afrodit lah aku? Rakjel doang. Ah emang cari penyakit kok aku ini."

"Sudah berapa lama?"

"Sejak beliau gantiin Pak Jaya."

Mulut Mbak Nai terbuka lebar. Jangankan dia aku saja tidak percaya sudah tiga tahun aku mencintai Pak Malik dalam diam.

"Gila, Mit. Rekor sih." Mbak Nia terlihat menarik napas panjang. Wajahnya berubah sendu, pandangan kosong seolah jiwanya berkelana. "Tapi emang berat banget buat ngehapus perasaan itu, Mit. Kalo gampang kayak ngehapus pensil pasti perasaanku sama dia sudah aku hapus lama."

"Dia siapa, Mbak?" tanyaku penasaran. Selama ini Mbak Nai terlihat bahagia tapi siapa mengira dia mengalami hal yang sama denganku.

"Arka." Ia seolah tersadar dari lamunannya kemudian memberiku semangat bahwa tidak ada yang tak mungkin jika Tuhan berkehendak. Aku tahu itu hanyalah pengalihan topik yang akan kukejar sampai dapat.

"Nggak usah ngeles deh, Mbak. Gimana ceritanya Mbak sama Arka itu."

"Gimana ya. Entahlah. Rasanya kayak berat banget, Mit, buat buka hati dia. Rasanya pengin nyerah. Pengin nggak peduli dia tapi nggak bisa. Kayak gitulah."

Ya aku paham yang Mbak Nai rasakan sebab itu pula yang aku rasakan. Berusaha menghilangkan perasaan ini tapi begitu sukar, apalagi bertemu setiap hari walaupun sebagai atasan dan bawahan tetap saja akan terus terbayang. Sudah seperti membasmi jamur saja, mati satu tumbuh seribu. Gagal total.

"Nasib kita kok sama gini sih, Mbak." Aku menempelkan pipiku di meja menghadap Mbak Nai. Wanita ayu itu tersenyum lebar menyadari kebodohan kami.

###

"Nduk." Ibu memanggilku. Beliau duduk di pinggir kasur dengan tersenyum padaku. "Mau ndak ketemuan sama anaknya Pak Sholeh? Kenalan saja, Nduk. Ndak ada salahnya to? Apa kamu sudah punya orang yang kamu suka?"

Aku menggeleng. Meskipun ada tak mungkin bersama jadi kenapa tak kuambil saja, mungkin ini kesempatan yang Tuhan berikan untukku agar lepas dari bayang-bayang Pak Malik. Ya mungkin saja ini jawaban doaku setiap malam. "Kapan, Bu?" tanyaku.

"Sabtu malam. Soale liburnya hari Sabtu."

"Inggih. Nggak apa-apa, Bu. Nanti kulo (saya) siap-siap."

"Ya wes. Kalo gitu Ibu ke depan dulu ya," pamit ibu lalu keluar kamar.

"Nggeh, Bu."

Melihat punggung ringkih Ibu rasanya aku tahu kegelisahan beliau walaupun tidak pernah mengatakan apa-apa. Ibu pasti cemas melihatku sendiri di usiaku yang ke-28 tahun. Di saat sepupu atau anak teman-temannya sudah menikah dan memiliki anak, aku masih sendiri.

Kalau saja mencari suami semudah membeli jagung manis di pasar pasti sudah dari dulu mempunyai pasangan, nyatanya hidup tak mudah itu diperparah cinta tak kunjung datang jadi ya begitulah.

Pak Malik:
Mita

Aku terkejut melihat pesan dari pria itu. Pesan pribadi lagi. Padahal setahuku Pak Malik jarang atau hampir tidak pernah mengirim pesan pribadi kecuali urusan penting dengan yang bersangkutan.

Me:
Ya Pak?

Pak Malik:
Bisa tolong saya belikan obat maag di apotik sebelum kamu ke kantor?

Me:
Bisa, Pak. Biasanya pake merk apa?

Pak Malik:
Polysilane tablet
Terima kasih Mita.

Me:
Sama-sama, Pak.

Aku pun bergegas berangkat ke kantor. Beliau mungkin sangat membutuhkan obat itu dan aku tidak mau dia menunggu lama. Usai pamitan aku segera melajukan motorku ke apotek terdekat lalu ke kantorku di daerah Wilis. Begitu sampai aku langsung mengetuk pintu ruangan Pak Malik.

Aku masuk saat beliau menyuruh dan sedikit kaget melihatnya berbaring di sofa yang tak mampu menampung semua tubuhnya. Satu lengannya menutupi matanya dan satu menindih perutnya. Pasti tidak nyaman rasanya. Aku pun mendekat, meyerahkan obat itu. Dia terlihat lemah. "Mau saya buatkan minuman hangat biar sedikit reda sakitnya?"

"Boleh. Tolong ya, Mit," ujarnya lemah.

Aku segera keluar ke dapur membuatkan teh hangat. Sebenarnya ingin kutambahkan jahe berhubungan tidak ada ya seadanya saja. Aku membawa teh hangat itu ke ruangannya. Meletakkan di meja, beliau dengan segera meminumnya. Bahagia rasanya bisa membantu walaupun kecil.

###

Sabtu sore sebelum keluarga Pak Soleh datang, kami menyiapkan hidangan yang akan disuguhkan. Ayam goreng, cah kangkung, udang asam manis. Ibu juga membuat kue ringan pisang cokelat gulung dan lumpia.

"Anaknya Pak Soleh cuma satu, Bu?" tanyaku.

Beliau tidak menoleh sebab tengah membalik lumpia di wajan. "Dua. Yang perempuan sudah nikah. Tinggal Abi saja."

Oh jadi namanya Abi. "Kerja apa gimana, Bu?"

"Kerja kayak e tapi Ibu lupa di mana. Kemarin dikasih tahu padahal."

Syukurlah. Andai nantinya kami ingin serius setidaknya pria itu mempunyai pekerjaan tetap. Bukan materialistis tapi realistis saja. Meskipun uang tidak bisa membeli kebahagiaan atau apa pun yang berhubungan dengan rasa tapi semuanya butuh uang. Dan dalam hubungan jangka panjang kestabilan ekonomi itu perlu dipertimbangkan.

Rasa-rasanya aku berharap besar pada pertemuan ini sebab aku ingin membuka lembaran baru untuk pria yang memang serius denganku walaupun rasa itu belum tercipta. Aku ingin lepas dari bayang-bayang Pak Malik yang tak mungkin bisa kugapai.

Sebelum adzan magrib semuanya telah siap di meja makan. Camilan pun sudah tertata apik di meja depan. Aku membersihkan diri sebelum menyambut mereka nantinya. Selepas Isya' mobil Avanza putih milik Pak Soleh berhenti di depan rumah. Beliau turun lebih dulu disusul oleh istrinya sedangkan putranya masih menerima telepon.

Kami masuk dan bercengkerama. Aku menyimak saja dengan bermain ponsel. Dari cerita Bapak dan Pak Soleh mereka cukup bandel sewaktu SMP sampai pernah dihukum berjemur di tengah lapangan. Tidak hanya itu saja, mereka hampir dikeluarkan dari sekolah. Benar-benar sudah tidak tertolong rupanya.

"Ini Abi kok lama to. Coba Bu anakmu susulen," perintah beliau.

Namun, belum sempat Bu Yuyun beranjak dari duduknya sebuah  suara yang cukup familiar menyapa diriku. Sontak aku mendongak, melihat ke arah suara tersebut. Aku pasti sedang berhalusinasi melihat dia berada di sini. Ini mimpi tapi cubitan di tangan terasa. Tidak mungkin ... aku seperti disiram air es dengan tiba-tiba. Tubuhku kaku, bibir tak mampu bergerak, dan otakku beku. Semua ini sulit dipercaya. Jadi Abi yang dimaksud Pak Soleh adalah Pak Malik. Atasan sekaligus pria yang aku cinta. Ya Tuhan. Permainan takdir seperti apa yang telah Kau siapkan diriku?

"Kenalno anakku, To. Abi. Ganteng kan?" Pak Soleh memperkenalkan Pak Malik dengan bangga karena itu benar adanya. Dia menarik. "Mit, ini anaknya Pak De. Le, ini Mita anaknya Pak Yanto." Beliau membuatku memaksakan senyuman.

Pak Malik duduk tepat di seberang ku. Menatapku dengan pandangan aneh. "Kami sudah kenal, Pak. Mita bawahanku di kantor," sahutnya membuat riuh ruang tamu rumahku.

"Lho ya bagus lek gitu. Nggak usah lama-lama kalo memang sama-sama mau. Iya to, Pak?" timpal Bu Yuyun pada suaminya.

"Lho iya itu."

Antusiasme mereka seperti tak mampu meredakan kecewa di hati. Entahlah. Seolah harapanku mati terbakar kenyataan. Memang bukan salah pria itu tapi ... entahlah. Pikiranku buntu, tapi satu yang pasti hubungan ini tidak akan berlanjut ke mana-mana sebab dia telah memiliki pasangan.

###

"Mbak Naiii." Aku memeluk saat di dapur tidak ada siapa pun. Maklum saja masih jam efektif. Aku mengeluarkan semua tangis yang telah kutahan mulai kemarin. Dadaku hampir meledak karenanya tapi aku tidak mau Ibu bingung melihatku menangis. "Kacau, Mbak. Dia ... Abi ...."

"Tenang dulu, Mit." Wanita ini mengusap punggungku dengan sabar. Naik turun dengan lembut sampai aku merasa tenang. Menepuk-nepuk dengan ringan. Dia tidak bertanya karena tahu akan percuma saja, aku tak akan bisa mengatakannya dengan jelas.

"Mbak yang datang itu ... Pak Malik. Dia ... Abi itu," terangku tersendat-sendat lalu mengurai pelukanku. Aku meraih tisu yang diangsurkan olehnya. Mbak Nai tahu soal pertemuan itu dan mengikuti sarannya untuk membuka hati pada pria lain agar terlepas dari bayang-bayang Pak Malik.

"Tunggu. Ini maksudnya orang yang ke rumahmu itu Pak Mal?" Ia terlihat kaget kala aku mengangguk. "Gimana ceritanya?"

"Aku ya nggak tahu kalo mereka orang yang sama. Doa kalo di rumah dipanggil Abi. Andai pake nama Malik pun aku nggak bakal ngeh. Yang punya nama itu kan banyak wak."

"Iya, sih. Jadi ending mentok ini?" Aku mengiakan dengan wajah melas. "Nggak apa-apa, masih banyak kesempatan kalo kamu memang mau lepas dari bayangan beliau. Di kantor ini kan pria nggak cuma Pak Mal saja, Mit."

"Hmm."

"Wes nggak usah nangis. Semangat lagi. Yakin bisa ngelepas Pak Mal. Pelan-pelan coba buat nggak peduli sama dia."

Kalau saja semudah itu. "Susah, Mbak."

"Tahu. Kamu lupa aku juga di posisi yang sama kayak kamu? Tapi nggak berarti nggak bisa kan?"

Benar omongan Mbak Nai. Semua butuh proses walaupun awalnya berat.

###

Aku kaget melihat Abi eh bukan Pak Malik bertandang ke rumah. Seingatku kami tidak ada janji bertemu. Oh mungkin dia ada perlu sama Bapak. Tapi beliau tidak berpesan apa pun begitu pula Ibu. Mereka berdua malah pergi ke rumah Uti.

"Bapak ada perlu sama Bapak saya?" tanyaku setelah mempersilakan dia duduk di dalam. "Sayangnya beliau keluar, Pak. Nggak tahu kapan baliknya."

"Nggak. Aku nyariin kamu."

Tentu saja aku terkejut. Mencariku? "Ada apa ya, Pak?" Aku bertanya dengan takut-takut. Tapi seingatku aku tidak membuat kesalahan apa pun.

Doa kemudian berpindah duduk di sisiku. Meraih tanganku untuk dia genggam. Aku menatap dengan bingung lalu menarik tanganku dari genggamannya. Tidak pantas rasanya seorang pria yang sudah mempunyai pasangan memberikan harapan palsu pada wanita lain. Ia berdiri berniat menjauh tapi Pak Malik menarik tanganku kuat sampai aku jatuh dalam dekapannya.

Astaga. Aku meronta berusaha melepaskan lingkaran tangannya di pinggangku. Bisa bahaya kalau orang tuaku melihat. "Lepas, Pak. Anda sudah kurang ajar bertindak seperti."

"Nggak kurang ajar kalo sudah mendapat izin dari Pak Yanto," jawabnya santai. Ia malah semakin merapatkan pelukannya.

"Maksud Bapak apa ya?" Tetap saja aku berusaha lepas dari kungkungan pria ini. Mendorong dadanya yang menghimpit tubuh atasku.

"Sudah dapat restu dari Bapak buat nikahin kamu."

Jawaban Pak Malik bagai petir menyambar di siang hari, terkejut. Bagaimana ceritanya Bapak memberi restu pada dia. Aku menatapnya dengan kebingungan bahkan tak bereaksi melihatnya tertawa karena ekspresiku.

Ia mengelus pipiku dengan jempolnya berulang-ulang sebelum mengecupnya singkat. "Terima kasih sudah sabar mencintaiku selama ini. Terima kasih sudah mau menungguku. Terima kasih sudah menyimpan cinta yang begitu besar untukku."

Tunggu ... dari mana dia tahu jika aku mencintainya? Apakah Mbak Nai cerita? Tidak. Aku yakin tidak. Lalu apa yang dikatakannya pada Bapak sampai beliau setuju?

"Saya nggak ngerti maksud Bapak?"

"Kamu pasti ngerti maksudku, Mit. Mungkin kamu pikir aku nggak tahu kalo kamu punya perasaan padaku. Ya awalnya memang begitu tapi waktu ke mejamu aku nggak sengaja melihat notes bertuliskan namaku. Ya anggap saja aku ke-pd-an tapi buat apa menuliskan nama seseorang begitu lengkap di buku harian jika tak memiliki perasaan apa pun?"

Ah aku ingat. Buku harianku itu tertinggal dan besoknya aku temukan sudah tertata rapi di antara tumpukan dokumen. Lebih tepatnya di bawah dokumen. Jadi itu ... mukamu pasti seperti tomat busuk sekarang, serta merta aku tutupi wajahku. Ya Tuhan.

Pak Malik tergelak melihatku malu. Jadi selama ini dia pura-pura tidak tahu padahal aku hampir menyerah tapi ... tunggu. Bukannya beliau bersama Bu Maura? Aku menurunkan tanganku, meski malu aku harus bertanya. "Bu Maura?"

"Nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Aku hanya membantunya menjadi pasangannya di depan keluarganya dan seperti dia berhasil membuat cemburu laki-laki yang dia incar."

"Jadi selama ini ...."

"Iya."

Ya Tuhan ini kah jawaban atas doaku selama ini? Aku kira kedatangan Abi adalah jawaban ternyata Abi maupun Malik sama-sama hadiah dari buah kesabaranku dari Tuhan.

Tamat.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top