Redam Amara


"Gus! Sini kamu!" Pria kelahiran 1987 itu membuka pintu ruangannya dengan kasar. Emosinya sedang bergejolak dan mode senggol bacok. Bagaimana tidak senggol bacok kalau dirinya harus melatih karyawan baru hasil dari titipan atasannya. Ia paling tidak suka dengan hal-hal berbau jalur dalam terlebih lagi untuk masalah pekerjaan, dan sialnya sangat merepotkan.

Paras Agus sudah mengkerut saja sebelum menemui kepala tim-nya, pasalnya atasannya itu kalau sudah marah sangat menyeramkan. Agus masuk dengan langkah lambat berharap emosi bosnya ini sedikit mereda. "Ya, Pak." Ia sudah menyiapkan diri kalau harus menerima semprotan pria di depannya ini.

"Siapa yang seharusnya bertanggung-jawab pada Amara?" Redam berkacak pinggang setelah sedikit mengendurkan amarahnya.

"Pak Nusa, Pak."

"Sekarang Pak Nusa ke mana sampai dia dilimpahkan sama aku?" Redam sangat ingin meremukkan gadis itu karena menguji kesabarannya. Sudah lelet, membawa badannya sendiri pun tak becus. Sialan!

"Ke Surabaya, Pak."

Bangsat memang itu orang. "Ya wes kamu keluar. Oh ya, ajarin dia tugasnya." Redam mulai menekan nomor Nusa dan mengangguk kecil saat Agus pamit keluar ruangan.

"Halo."

"Bangsat. Itu anak baru kenapa jadi tanggung jawabku, anjing!"

Nusa tertawa keras mendapat amukan dari Redam.

"Jangan ketawa, monyet!"

"Sabar. Sabar. Ngahahaha."

"Deket udah aku bunuh kamu."

"Bunuh saja kalau pengin lihat adikmu nangis-nangis."

Sialan memang manusia satu ini, seenaknya jidatnya melimpahkan tanggung jawabnya pada Redam.

"Awakmu iku ancen jiancok!"

Nusa lagi-lagi tertawa mendengar Redam Guruh Pamungkas mengeluarkan semua makian yang dia punya. Bahkan isi kebun binatang pun ikut dibawa-bawa.

"Wes talah, sing ikhlas ngono lho ben tambah pahala."

"Pahala ndasmu! Sumpah, Nu, arek iku ngarai emosi. Oleh teko ndi seh arek iku? Titipane sopo? Sek usum ae jalur ordal."

"Titipan Pak Syarief. Ponakannya. Wes ndang protes kono sama beliau. Dia lho yang milih kamu buat bantuin Mara."

Jika sudah begitu, Redam tak bisa apa-apa. Pak Syarief atasan yang sangat ia hormati. Beliau juga banyak membantu dirinya sampai berhasil duduk di posisinya sekarang ini. Ya walaupun bukan posisi yang amat sangat tinggi, tapi cukup baik.

"Haduhhh!"

"Selamat bersenang-senang, Bung."

"Bersenang-senang matamu iku!"

Tawa Nusa hilang kala ia memutuskan sepihak sambungan telepon dengan kawannya itu. Sialan! Harusnya ia pun berada di Surabaya sama seperti Nusa tapi gara-gara anak titipan itu, Redam harus absen di pertemuan kali ini.

###

Amara terbangun dari tidur nyenyaknya gara-gara suara hujan di luar. Ia menggeliat, menarik tinggi-tinggi tangannya ke belakang, dan menguap. Ia mengucek mata, membuatnya melek lebar. Diliriknya jam di dinding, pukul satu dini hari. Cukup lama juga ia tidur, pikirnya.

Wanita memperhatikan laporan yang harus ia serahkan besok pada atasannya yang super duper galak. Pria itu seperti tidak suka dengan keberadaannya, ya Amara paham akan tidak sukanya Redam. Siapa yang tidak jengkel harus mengajari karyawan titipan bos-nya, apalagi hanya lulusan SMA dari desa sepertinya. Pria itu selalu mencari kesalahannya untuk membentaknya.

Ia pun beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Selama di Malang, Amara tinggal di rumah kos. Sebenarnya pamannya, Pak Syarief, menawarinya tinggal di rumah beliau tapi ia menolak. mara ingin mandiri selain itu tantenya sedikit kurang menyukai dirinya, entah apa penyebabnya, apa karena ia dari desa? Ya itu bisa saja.

Usai salat, Amara mengambil roti sisir yang ia beli saat melakukan kunjungan ke bedak sembako di pasar. Ia juga mengambil ponselnya di kasur. Membuka semua pesan tidak terkecuali dari Redam di grup kantor sambil makan roti.

Divisi TO:

Pak Galak:
Set.8 laporan sudah di meja. Telat, lari muterin parkiran 5x

"Ya Allah," gumamnya. "Moga besok nggak telat."

Ia segera meletakkan roti sisirnya kemudian mengambil lembar laporan lain untuk diisi dengan laporan dari rekan kerja lainnya. Mereka minta bantuannya untuk mengisinya sesuai dengan data yang mereka kirimkan padanya-teman kerjanya ada keperluan lain dan takut tidak bisa menyelesaikannya.

Entah sampai jam berapa ia mengerjakan laporan-laporan tersebut, paginya Amara bangun jam tujuh. Tentu saja ia kalang kabut, terlebih ada dua laporan yang belum selesai. Wanita itu cepat-cepat mandi dan bersiap berangkat setelah sebelumnya memesan ojek online. Jika harus naik angkutan umum, waktunya tidak nutut.

###

Redam berdiri didekat white board sambil melipat tangan di dada. Mulutnya terkatup tapi pandangannya begitu tajam, seperti hyena mengintai buruannya. Ia perhatikan satu per satu bawahannya, mereka menunduk tanpa berani menatapnya.

Suasana tegang itu mencekam sampai mencekik leher. Semua anggota Redam tak berani bergerak bahkan menelan ludah mereka sendiri pun takut.

"Siapa yang bawa semua laporan?" Sumpah demi apa pun, Redam benar-benar ingin menghajar seluruh anggotanya termasuk Amara yang belum datang. "Siapa, Gus?" bentak Redam pada Agus.

"Ma ... mara, Pak."

"Kenapa bisa sampai dibawa dia?"

Walaupun Redam bertanya dengan nada biasa saja tapi penuh penekanan.

"Itu ... anu, Pak ... itu ...." Agus berpikir apakah dia harus mengatakannya bahwa rekan kerjanya melimpahkan tugas itu pada Amar? "Jadi kemarin itu ....'

Pintu ruang rapat terbuka, semua mata tertuju pada Amara yang membungkuk untuk mengatur napasnya. "Ma ... maaf, Pak, saya ... terlambat" ujar wanita itu tersengal-sengal. Ia mendekat lalu menyerahkan semua laporan yang Amara bawa. Setelah ia menunduk dan siap menerima hukuman. "Maaf, Pak, saya terlambat."

"Lari 5x." Redam sudah sangat marah tapi berusaha ia tahan. Energinya terkuras habis karena marah-marah dari tadi. "Kalian juga. 7x!"

Tidak perlu menunggu dua kali, semua anggota Redam berdiri dan segera keluar. Mereka turun dan mulai berlari mengitari parkiran yang cukup panjang.

Pria itu memperhatikan dari lantai dua, menghitung dalam hati berapa putaran anggota lari. Sebenarnya tanpa perlu ia pantau mereka tidak akan curang karena trauma dengan waktu lalu, saat hukuman mereka bertambah tiga kali lipat karena kedapatan mengurangi jumlah putaran.

Redam menjauh dari jendela menuju kursinya. Ia menautkan jari-jarinya sambil menunggu kedatangan anggotanya. Tak berapa lama semua anggota timnya masuk, mereka berbaris di sisi meja. Tak ada satu pun yang berani menatap dirinya.

Pria itu tidak langsung mengajukan pertanyaan meskipun sangat ingin tahu sekali. Dibiarkannya bawahannya itu mengatur napas tanpa menyuruhnya duduk. Ya sebagai pelajaran karena berani melanggar aturan yang sudah ia terapkan.

"Sekarang ada yang bisa jelaskan kenapa beberapa laporan ada pada Amara?" tanya Redam dua puluh menit kemudian. "Dhio. Jam tiga kamu harusnya balik, tapi aku lihat kursimu kosong. Ratna kamu kemarin ada tapi kenapa laporanmu ada pada Amara? Rumi, Beby, Fadil, Hanif, Yuni. Kalian ngapain aja kemarin? Senioritas kalian?" teriaknya.

"Tidak, Pak." Mereka menjawab serentak.

Pria itu berdiri lalu berjalan ke depan anggotanya. Ia menyandarkan bokongnya di pinggir meja setelah sebelumnya menyingkirkan beberapa kursi ke pinggir. Redam melipat tangan di dada dengan tatapan berapi-api. "Aku paling nggak suka dengan senioritas. Sudah nggak zamannya. Mungkin di tempat lain masih berlaku tapi nggak di timku. Ngerti?!"

"Ngerti, Pak."

"Kali ini aku tolerir. Sampai terulang lagi, jangan harap kalian ada di tim ini lagi." Redam mengamati satu persatu anggotanya sampai terpaku pada Amara. Perempuan itu kenapa keberadaannya sangat mengusik Redam padahal ia tak pernah sekalipun merasa terganggu oleh kehadiran seseorang di sekitarnya. "Mara! Kamu harusnya sadar diri, bisa nggak ngerjain semua itu sendiri. Sudah tahu lelet tapi sok-sokan handle semua."

"Maaf, Pak," ujar Amara pelan tapi masih terdengar oleh mereka. Ia tidak akan sakit hati dengan ucapan Redam karena tahu itu benar. Ia lambat malah menyanggupi hal yang di luar kapasitasnya. Sungguh kacau.

"Aku nggak butuh maafmu." Redam lalu mengambil map yang Amara letakkan di meja. Ia membaca satu per satu semua laporan tersebut. "Kalian boleh keluar kecuali kamu Gus."

####

Redam yang tengah memeriksa laporan pengajuan pemesanan beras selama satu bulan ini, segera mengambil ponselnya ketika notifikasi pesan berbunyi.

Pak Syarief:
Assalamualaikum.
Dam saya bisa minta tolong?

Redam:
Waallaikumusalam. Insyaallah kalau bisa saya bantu Pak.

Pak Syarief:
Alhamdulillah.
Bisa minta tolong antar Mara ke klinik buat berobat? Dia nggak tahu tempatnya. Atau kalau nggak minta tolong beliin obat di apotik. Saya takut asmanya kambuh.

Memang tapi pagi perempuan itu absen karena sakit.

Redam:
Insyaallah bisa, Pak. Nanti saya tanya dia merk obatnya.

Pak Syarief:
Makasih ya Dam. Lega saya ada yang bantuin dia. Kasihan pas sakit malah kami ke Yogya.

Redam:
Sama-sama, Pak.

Setelah Pak Syarief tidak lagi mengirim pesan, Redam mengirim pesan pada Amara:

Redam:
Kata Pak Syarief kamu sakit. Beliau minta tolong buat beliin obatmu. Apa namanya? Dan alamatmu.

Amara sedang mengetik ....

Redam tidak sabar menunggu Amara mengetik jawaban yang menurut sangat lama. Ia pun meneleponnya.

"Balas gitu aja lama! Kamu mau ke klinik apa beli obat saja di apotik?"

"Beli obat saja di apotik."

Suara Amara terdengar berbeda, lebih serak, pelan, dan putus-putus.

"Apa namanya obatnya? Buruan!"

"Intunal sama salbutamol."

"Gitu aja lama! Kirim alamat kosmu biar nggak lama nyarinya."

"Pak ... bisa sekalian saya dibelikan nasi bungkus? Apa saja asal nggak pedas."

"Ok."

Tidak butuh waktu lama Redam melajukan motornya ke apotik dekat rumahnya—setelah berpamitan pada ibunya tentunya—untuk membeli obat yang diminta Amara. Setelahnya Redam menghentikan motornya di warung nasi goreng langganannya. "Pak To. Nasi goreng polosan satu. Minyaknya dikit aja. Nggak pedes."

"Tumben, Mas, nggak pedes," sahut Pak To yang masih mengaduk bakmi Jawa pesanan pembeli lain.

"Ora gawe aku, Pak."

"Beres, Mas. Smean tunggu ya. Kurang orang dua ini. Nggak banyak kok."

Redam mengangguk lalu kembali ke motornya dan duduk di jok. Ia mencari tempat kos Amara di map. Ah ternyata tidak terlalu jauh dari rumahnya, bisa dikatakan mereka searah kalau ke kantor.

Pukul 19.30 Redam sampai di depan kos-kosan Amara. Ia menelepon wanita itu keluar untuk mengambil obatnya. Pria itu mengulurkan kresek putih pada Amara.

"Terima kasih. Maaf bikin repot Bapak."

Redam menjawab dengan dehaman. "Lain kali nggak usah sok-sokan jadi pahlawan. Payung cuma satu malah dipinjemin orang."

Dahi Amara berkerut mendengar kata Redam. Memang kemarin pas mau pulang ia pinjamkan payungnya pada temannya karena beliau lupa bawa payung. "Kasihan, Pak. Anaknya nggak bisa jemput jadi harus naik angkot."

"Kasihan tapi bikin sakit sendiri. Masuk sana." Redam pun menghidupkan mesin motornya. Ia meninggalkan Amara begitu saja tanpa pamit.

Di kesempatan lain, Redam melihat Amara kesulitan membawa baki kayu isi empat mangkuk. Ia pun mendekat. Oh ternyata bakso. "Ini kamu semua yang makan?" Dagunya menunjuk mangkuk-mangkuk tersebut.

"Tidak, Pak. Kebetulan saya beli yang lain nitip," jawab Amara.

"Mbak Mara ini dibawa ke mana ya?" Cak Nur—penjual bakso langganan mereka —masuk membawa dua mangkuk gorengan dan siomai.

"Lantai dua, Pak." Amara memberitahu.

"Nggak usah Cak Nur. Taruh meja itu saja. Baki itu juga," perintah Redam. "Siapa yang nitip?"

Amara menaruh nampan kayu itu dengan hati-hati supaya kuah baksonya tidak tumpah. "Ini punya Mbak Yuni, Mas Dhio, sama Mbak Beby."

"Itu tok?"

"Punya Mbak Rumi, Mas Fadil, Mas Hanif, Mas Agus belum."

Tidak banyak omong, Redam mengirim pesan di grup.

Divisi TO:

Redam:
Aku hitung sampai 2 kalau kalian nggak sampai di bawah. Terima hukuman.

Tak berselang lama terdengar ayunan kaki dari lantai di tangga. Redam menunggu kedatangan anggota timnya dengan wajah garang. "Telat!" Lari keliling ruangan tiga kali kecuali kamu, Ra."

Meskipun bawahan Redam bingung kenapa mereka tiba-tiba dihukum, tapi mereka tetap melaksanakan perintah atasannya. Mereka saling berbisik dan bertanya satu sama lain perihal apa yang salah.

"Tahu kesalahan kalian?" Redam bertanya tanpa ekspresi. Ditambah tatapannya begitu tajam membuat anak buahnya mengkerut.

"Tidak, Pak," sahut mereka serentak.

"Itu bakso kenapa harus Mara yang antar ke atas? Kalian nggak bisa turun dan ambil sendiri?" Redam bersedekap memaku pandangan pada bawahannya.

"Eee ... anu, Pak, ... itu saya ... yang tawarkan," sela Amara. "Jadi bukan salah yang lain, Pak."

Redam lalu mengubah posisi berdirinya menyerong ke arah Amara. "Ohhh ... si lelet mulai sok-sokan. Bagus. Setelah istirahat siang aku tunggu di ruanganku." Redam meninggalkan kerumunan orang-orang yang menyaksikan keributan tersebut.

###

"Yaelah, Dam. Dam. Kenapa nggak ngaku aja sih kalau demen sama Mara," goda Nusa saat mereka duduk bersama di teras rumah Redam.

"Yang demen itu siapa? Gemes aja lihat dia. Kudu tak hih! Udah tahu lelet tapi sok-sokan oke di depan orang," elak Redam. "Dia itu belum nguasai kerjaannya. Gampang padahal tapi mau aja disuruh kerjain punya yang lain. Gregeten ndelok e."

"Iyo pertama e gregetan lama-lama deketan. Wes talah, Dam. Tebakan ku itu nggak pernah meleset. Kamu itu suka tapi nggak suka lihat dia dimanfaatin orang lain. Iya to? Duh kayak kita kenal baru kemarin aja, Dam."

"Ora."

"Makane lek gething ojok nemen-nemen mundak seneng (makanya kalo benci jangan kebangetan jadinya suka)."

Redam tak membalas ucapan laknat Nusa. Namun, benarkah dirinya suka pada perempuan itu? Ah, rasanya tidak. Amara bukan tipe yang dia inginkan untuk menjadi pasangannya.

Namun, Redam seakan lupa jika tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Seperti kesempatan kali ini di mana ia kembali diminta atasannya untuk membelikan makanan dan obat untuk Amara. Wanita itu demam, batuk dan pilek yang mengakibatkan asmanya kambuh. Tapi kali ini sepertinya lebih parah dari yang kemarin-kemarin, Amara hampir tidak bisa bangun, membukakan pintu saat Redam datang saja sudah seperti orang sekarat, benar-benar lemah.

"Makanya kalo lemah itu nggak usah sok bantuin orang segala! Sakit yang repot aku jadinya," omel Redam meletakkan kotak bekal di meja pendek dekat kasur busa—di lantai.

Amara tidak bermaksud merepotkan Redam tapi untuk menyanggah kata-kata pria itu tenaganya sudah habis. Tidak hanya habis tapi seperti orang hampir mata di mana napasnya kembang kempis.

"CK." Redam kasihan juga melihat Amara kayak ikan koki mangap-mangap menggelepar di tanah. Ia pun berinisiatif merebus air di teko listrik. "Ada ember kecil?" tanyanya. Perempuan itu menunjuk kamar mandi, Redam pun segera mengambil ember tersebut dan kain lebar yang tergantung di jemuran di kamar mandi. Entah kain apa yang penting lebar.

"Minyak kaput ada?" Redam menemukannya sebelum Amara menjawab. Setelah menuang air panas ke ember, ia bubuhi air tersebut dengan minyak kayu putih sebanyak mungkin. Ia mendekat ember tersebut didekat Amara. "Nunduk sini. Hirup uapnya." Redam membantu wanita itu bergerak, menyokong punggungnya usai menutup kepala Amara dengan kain. "Astaga! Gerak aja nggak bisa tapi sok-sokan!"

"Bisa nggak sih stop bikin orang repot? Kalau kamu kuat sih nggak apa-apa la ini, kenak hujan dikit doang tepar." Redam jadi kesal sendiri kalau ingat Amara menyanggupi permintaan teman-temannya untuk menolongnya ini itu. "Nolongin orang itu boleh. Boleh banget tapi ya mbok tahu batasan gitu. Yang punya badan itu kan kamu jadi harusnya ... mbuh wes."

"Maaf," cicit Amara usai menghirup uap air panas dengan tetesan minyak kayu putih—saluran pernapasannya sedikit lebih baik. Ekspresi wajahnya melas membuat Redam berdecak.

Pria itu menghela napas lalu menyingkirkan ember ke dekat kamar mandi. Ia duduk di pinggir kasur seraya memandang lekat paras Amara yang pucat—wanita itu bersandar di tembok. "Sialan. Kayaknya omongan Nusa bener ini," gumamnya sendiri membuat perempuan di depannya ini menatapnya bingung. "Aku nggak suka lihat kamu sakit gini, Ra." Tangan Redam terulur menyelipkan rambut yang menutupi pipi Amara ke belakang telinga. Ibu jarinya mengusap lembut dan berulang-ulang pipi wanita itu. "Kalau kamu ada keluarga nggak apa-apa tapi ini ... please, kalau mau nolongin orang lihat-lihat dulu, bikin kamu drop apa nggak endingnya. Kamu kenak AC aja nggak bisa tapi ... mulai sekarang dengerin omonganku. Ok?"

Meskipun bingung dengan maksud Redam tapi Amara mengangguk. Ia tahu pria ini baik walaupun kata-katanya pedas terkadang bisa menyakitkan.

Malam itu untuk pertama kalinya Amara tersenyum dalam sakitnya sebab pertama kalinya ia mendapat kecupan lembut di keningnya selain dari orang tuanya. Ah, sakit kali ini sungguh membahagiakan.

Tamat!!!

Btw, Redam ini aku ambil dari nama salah satu caleg di daerah ku wkwkwk. Namanya beda dan unik aja buatku. Jadi ok gas kita bakal lanjut di lapak Gazza. Babayyy 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top