Gunung Es
Hai. Hai. Haiii! Ketemu lagi sama Devara dan Amran. Selama satu jam ke depan kami berdua akan menemani kalian semua dengan cerita cinta terbaru kami dan lagu kesayangan kita semua.
❤️❤️❤️
"Mbak De."
Devara menoleh ke arah pintu di mana Rika tengah melihatnya.
"Ada raja Jalalludin Hisyam di depan," ujar Rika disertai senyum lebar sampai terlihat barisan giginya.
Wanita itu tersenyum tapi hanya sejenak mendengar julukan yang diberikan Rika pada Amran Jalalludin Hisyam. "Bilang saja udah pulang. Tadi pas istirahat siang nggak balik. Atau kamu cari alasan apa gitu."
Kening customer service itu mengkerut saat diminta berbohong oleh Devara. "Lah? Gimana sih, Mbak, orang kok disuruh bo'ong. Dosanya Mbak yang tanggung lho." Setelah itu Rika pun ke depan.
"Beres!"
"Kalian berantem?" tanya Firda dari meja sebelah. Devara menggeleng. "Terus?" Ia meletakkan pulpen di meja, melipat tangan di meja menunggu jawaban temannya itu.
Wanita 27 tahun itu menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Firda. "Mau stop aja, Fir. Capek juga berusaha cari perhatian dia."
"Mau stop kayak mana ini maksudnya?" Firda sedikit menarik kursinya lebih dekat dengan Devara.
Wanita menarik napasnya lagi. Keputusannya ini mungkin akan membuat keluarganya atau keluarga Amran kaget. Namun, itu lebih baik daripada harus menjalani hubungan yang timpang. "Mungkin aku mau batalin perjodohan ini. Rasanya capek aja bertahan di samping dia tapi nggak ada dapet feedback apa-apa dari dia. Aku nggak mungkin kan berjuang sendiri terus-terusan tanpa capek kan? yang endingnya aja nggak jelas. Mending bubar dan cari bahagia sendiri-sendiri to?"
"Emang Mas Amran secuek itu ya? Komunikasi kalian juga buruk?"
Devara mengangguk. "Kayak jalan sama robot gitu. Robot aja masih bisa di setting ngerespon la ini ... udah beneran kayak tembok gitu. Ntah wes."
"Kalau emang nggak demen kenapa dia mau coba terima perjodohan ini? Untung kalian masih tunangan lho, kalo dah nikah ya alamat cerai ini."
Wanita dengan rambut sepunggung itu menggeleng. "Aku nggak tahu alasan pastinya. Jadi ya udahlah mulai sekarang pelan-pelan aku narik diri dari dia sampai ada waktu pas buat ngomongin ini sama dia." Devara menautkan jari-jarinya ke udara, menggeliat merenggangkan tubuhnya. "Atau ... pikiranku aja kali ya yang kejauhan, tapi bisa aja bener. Mungkin Mas Amran selama ini udah ada cewek yang dia demen tapi gara-gara rencana ini jadi nggak bisa barengan. Dia benci kali ya sama aku."
"Dia ada ngomong gitu?" Firda meraih botol minumnya lalu meneguk isinya sampai seperempat. "Kamu pernah denger dia ngomong sama cewek lain?"
"Nggak sih cuma tebakan aku aja, tapi bisa aja bener to? Kalau ada telepon dia mesti ngejauh, jadi ya aku nggak tahu dia teleponan sama cewek apa nggak. Tapi intinya aku nyerah aja, Fir. Sumpah capek banget kalau cinta sendiri itu."
Firda akui hal seperti itu melelahkan. Ibarat kata membangun istana pasir di pantai yang sewaktu-waktu akan hancur oleh gempuran ombak.
"Lagian kenapa juga aku cepet banget suka sama dia. Wong dia ya kayak gitu. Mas Amran itu kayak nggak tersentuh gitu lho. Mancing senyum aja susahnya minta ampun, apalagi denger ngomong abcd, jangan harap keturutan. Mamanya dulu ngidam apa ya kok bisa punya anak macem dia."
"Ngidam inten (batu intan) kali. Kan kalo orang Jawa bilang 'meneng ae koyok ngemut inten'. Secara ya kita kalau lagi ngemut batu intan nggak bakal berani ngomong kalau nggak mau batu itu jatuh."
"Iya kali ya. Makanya tuh orang kayak gitu." Devara menyetujui perumpamaan Firda tentang Amran. "Mahal dan indah tapi tak tersentuh ya, apalagi buat kita kaum mendang mending, dah lah minggir, bukan levelnya."
"Betol. Mending batu kali siap di segala kondisi, cocok buat semua kalangan, ye kan?" sahut Firda seraya menggeser kursinya kembali ke asal.
"Ngecor kali pake batu."
Dua wanita itu tertawa terbahak di akhir percakapan mereka.
###
Devara membaca notifikasi pesan dari Amran tanpa membukanya. Memang sengaja tidak ia buka agar tidak goyah tekadnya untuk menghindari dan memutuskan hubungan mereka. Keputusan yang sulit dan pasti akan menimbulkan luka tapi tidak ada kebaikan di dalamnya kalau terus dipertahankan, yang ada malah mereka akan sama-sama terluka.
"Mbak De, raja Jalal izin menghadap. Kasih izin kagak?" tanya Rika. Perempuan itu menyembulkan sebagian badannya di pintu penghubung.
"Nggak. Bilang lagi meeting di luar sama Pak Yudhis. Nggak tahu jam berapa balik kantor atau bisa jadi langsung pulang."
Rika memberi kode Ok kemudian berlalu setelah sebelumnya menutup pintu penghubung.
Sejujurnya sulit untuk menetapkan hati agar tidak terpaku terus pada Amran, tapi sulit bukan berarti tidak bisa, jadi meskipun Devara tergoda membalas pesan pria itu, bertanya aktivitasnya sehari-hari, atau sekedar menyapanya, ia tahan sekuat tenaga. Ia juga sekarang ini membawa motor sendiri, tidak lagi minta dijemput oleh Amran. Pokoknya sekarang serba sendiri kembali ke setelan awal sebelum Amran menyerang.
Devara mengambil ponselnya saat notifikasi pesan bunyi. Ternyata dari bakal mantan calon mertuanya.
Tante Anik:
Assalamualaikum, Nduk.
Nduk, ada waktu? Bisa ke rumah ndak?
Devara:
Waallaikumussalam.
Insyaallah bisa, Ma. Tapi besok ndak apa-apa?
Tante Anik:
Kalau nanti pulang kerja gimana?
Devara:
Vara usahakan ya, Ma. Insyaallah sepulang kerja nanti.
Tante Anik:
Iya. Mama tunggu.
Kira-kira apa yang akan dibicarakan Tante Anik? Mengapa waktunya begitu pas saat Devara menjauh dari Amran. Memang dua minggu lebih ini ia selalu menghindar dari Amran. Jika pria itu ke rumah, Devara akan beralasan tidak enak badan dan memilih tidur, sedangkan pria itu bercengkerama bersama abangnya atau menunggui dirinya di sofa kamar.
Terkadang ia sangat ingin tahu apa yang di pikirkan oleh Amran. Pria itu sulit ditebak dan menebak pikiran Amran itu seperti semut memanjat tembok besar China alias mustahil dan tidak akan tembus ke jalan utama.
###
"Ya Allah. Mama kangen banget, De." Anik memeluk Devara setelah membuka pintu rumah. "Kamu sih lama nggak ke sini. Kata Amran sibuk. Bener to?"
Sambutan mama Amran membuat Devara resah. Bukan karena ia tak suka tapi rasanya begitu berat saat ia menyampaikan keputusannya soal pertunangannya dengan Amran. "Iya, Ma. Lagi launching produk baru, jadi sama atasan digenjot buat promosikan."
Anik menggiring calon mantunya ke ruang tengah, di mana ruangan itu menyatu dengan dapur dan meja makan. "Ya tapi jangan sampai lupa nggak ke sini bisa pecah kepala Mama lihat Amran uring-uringan terus."
"Hah? Maksudnya gimana, Ma?"
"Anak itu belakang ini uring-uringan terus. Kayak mau makan orang, De. Mode senggol bacok pokoknya. Itu anak-anak pada takut sampai ngadu sama Papa. Mama juga nggak berani tanya. Dia itu susah gitu lho mau ungkapin perasaannya," terang Anik. "Itu kenapa Mama minta kamu ke sini. Mama mau tanya, apa kalian lagi berantem? Nggak biasanya dia uring-uringan gitu. Mau dunia kiamat juga dia lempeng. Bodoh amat tapi ini kok beda, marah-marah terus. Kapan hari pulang mabuk.
"Dia sudah hampir nggak pernah mabuk-mabukan gitu tapi kemarin ini kok mulai lagi. Semalam aja dia pulang diantar temennya. Teler udah nggak tahu apa-apa. Kan Mama jadi heran, De. Dia itu nggak pernah lho cerita soal apa gitu. Pernah pacaran sama siapa. Lagi deket sama siapa. Pamit jalan sama cewek pun hampir nggak pernah. Ada masalah apa juga dia diem bae. Mau masalah kerjaan, masalah cinta, patung. Kan Mama jadi bertanya-tanya, mau dia itu apa?Sama kamu itu lho dia lumayan mau ngomong, biasanya irit banget. Heran ih dulu Mama ngidam apa sampai punya anak diemnya nggak ketulungan. Bomatnya juga nggak ketulungan."
Jadi ... apa selama ini Devara salah paham pada sikap Amran? Apakah ia perlu memastikan perasaan Amran padanya? Menilik dari cerita Anik, pria itu bukan laki-laki yang pandai menyampaikan perasaannya, jadi harus ada pihak yang berinisiatif untuk memulainya. "Ndak kok, Ma."
Terlihat sekali raut kelegaan dari Anik, mungkin karena dugaannya tidak benar. Wanita itupun mengelus dadanya pelan. "Alhamdulillah. Mungkin lagi ada masalah sama kerjaannya ya."
"Ini Mas Amran belum pulang, Ma?"
"Oh itu di kamarnya. Ngeluh pusing sama badannya panas. Udah minum obat sih tapi nggak tahu deh udah mendingan apa belum. Habis Mama marahin. Sebel sih. Kalau ada apa-apa tuh ya diomongin cari solusi bareng jangan minum-minum kayak gitu. Emang susah itu bocah. Mentolo tak lebokno weteng maneh (kayak pengin tak masukin perut lagi)."
Devara tertawa mendengar gerutuan Anik. Ya Tuhan, mamanya saja kesulitan menebak karakter dan sifat putranya apalagi dirinya. Tapi Amran beda sekali kalau sudah bersama abangnya, dia seperti orang lain. Banyak bicara, guyon, bahkan bisa ngobrol lama. Aneh sekali pokoknya.
"Deva izin lihat Mas Amran ya,. Ma."
"Iyo. Ceramahin sekalian biar nggak bego-bego amat itu anak."
Devara tersenyum mendapat perintah dari mama Amran. Ia pun berlalu ke kamar pria itu. Benar saja, Amran tampak tidur dengan mata ditindih lengan. Devara mendekat, menempelkan punggung tangannya di dahi pria tersebut. Rupanya masih demam. Ia berinisiatif minta sapu tangan atau waslap pada Anik untuk mengompres Amran.
"Biarin aja, De. Ngapain repot-repot ngurusin bocah gede itu."
"Kasihan, Ma," jawab Devara sebelum ke kamar Amran.
"La ngapain? Yang cari penyakit dia kok." Ya kadang Anik bisa setega itu pada putranya sendiri, si Gunung Es. Punya mulut tapi yang lebih banyak dipakai dengkulnya alias goblok.
Wanita itu membawa baskom kosong dan waslap. Ia ke kamar mandi mengisi baskom dengan air panas. Setelahnya ia masukkan waslap dan ia tempelkan di dahi Amran usai diperas.
Amran mengerang lirih saat sesuatu yang basah menyentuh dahinya. Tidurnya terusik dan tidak suka itu apalagi saat badannya tidak karuan seperti ini, ingin rasanya ia menghardik si pengganggu.
"Kepalanya masih pusing ya, Mas?" tanya Devara sesaat setelah mengamati Amran. Pria itu tidak lagi tidur karena terusik dirinya. "Kata Mama kamu minum-minum sampai nggak sadar."
"Hmmm."
"Suka bener cari penyakit."
Amran membuka matanya walaupun terasa berat. Ia menatap wanita yang selama ini menghindari dirinya. "CK. Kalau Mama yang manggil pasti datang," gumamnya. Ia pun lalu menutup matanya lagi. Kepalanya seperti di palu sangat kuat sampai-sampai ingin Amran benturkan ke tembok.
"Kebetulan aku udah nggak sibuk, Mas." Itu hanya dalih Devara saja. Ya bagaimanapun tidak akan ada maling mengaku bukan?
"Saking sibuknya sampai pesanku nggak kamu baca. Bagus."
Sudut bibir Devara tertarik lebar, baru kali ini ia mendengar pria itu bicara panjang. "Lho bisa bawel juga ternyata. Kirain aku aja yang bawel."
"Hmm." Amran mengeratkan pejaman matanya. Sakit di kepalanya membuat pria itu mengeluarkan semua makian yang ia punya.
"Lagian ngapain sih, Mas, mabok gini. Wong akhirnya kamu sendiri yang sakit. Ada masalah?" Devara sengaja memancing alasan Amran kembali minum-minum padahal kebiasaan buruk itu sudah lama ditinggalkannya.
"Nggak."
Sebal dengan jawaban Amran, Devara pun mencubit pinggang pria itu hingga menjerit keras.
"Sakit, De! Gila nih bocah." Amran mengusap bekas cubitan Devara. Matanya langsung melek tapi kepalanya masih pusing. Ia pun berdesis lalu meletakkan kembali kepala di bantal.
"Habis aku tuh sebel sama Mas. Kenapa sih kalau ngomong pendek-pendek banget. Padahal sama Bang Mika bisa gitu ngobrol panjang. Ketawa-ketawa. Eh sama aku malah gitu, Antartika. Emang apa sih bedanya aku sama Bang Mika? Perasaan sama-sama manusia tapi beda gitu perlakuan Mas."
Amran menutup matanya dengan lengannya, berharap bisa kembali tidur. "Ngawur."
Devara menyingkirkan lengan Amran agar pria itu mau menatapnya. "La emang gitu, kok."
Akhirnya Amran menatap Devara. Wanita itu cemberut tak terima jawabannya. "Ke sini ngajak berantem?" Tak pelak Amran menarik Devara hingga ikut berbaring. Pria itu lingkarkan tangannya di tubuh calon istrinya. Amran menempelkan wajahnya di ceruk leher Devara, menghidu aroma yang menguar dari badan wanita tersebut.
"Ya nggak sih ... cuma sebel aja Mas kamu kayak gitu. Berasa ngomong sama gunung es. Mau kek mana juga nggak bakal direspons. Sikap kamu yang gitu bikin aku nyerah." Devara rasa perlu mengutarakan niatnya yang ingin menyudahi pertunangan mereka, dengan begitu ia akan tahu bagaimana reaksi Amran.
"Jujur aja selama dua mingguan ini aku sengaja ngehindari kamu. Kayak capek gitu jalan sama kamu. Aku tuh capek nebak-nebak pikiran Mas, perasaan Mas sama aku. Alasan Mas terima usulan pernikahan ini," ujarnya terus terang. "Denger nggak sih, Mas? Heran aku, ada ya orang kayak kamu. Mama kamu aja lho sampai nggak ngerti pikiran kamu, ternyata emang bener Mas susah ditebak."
"Heum."
Devara pun sedikit menengok ke belakang. "Heum doang?" Astaga. Ini laki tahu tidak sih yang sedang ia permasalahkan? Ya Tuhan!
"Apa?" gumam Amran. Ia semakin ndusel pada Devara agar rindunya terpuaskan.
"Ya jawab apa gitu lho. Emang nggak takut kalau aku benaran nyerah? Nggak takut aku minta pisah?" Devara jadi sewot sendiri. Kenapa bisa ia cinta sekali pada Amran yang bisa dibilang sifatnya bertolak-belakang.
"Tinggal nikahin kamu aja beres."
Wanita itu tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Amran. Pria ini benar-benar menguras emosinya. Ia pun mengurai pelukan Amran lalu duduk menghadap pria tersebut. "Mas itu sebenarnya cinta nggak sih sama aku? Kok kayak lempeng aja gitu, nggak ada greget-gregetnya. Lama-lama beneran minta pisah ini aku. Males banget sama cowok yang nggak jelas kayak Mas."
Pria berusia 35 tahun itu menghela napas berat sebelum ia memaksakan diri duduk bersandar di headboard. "Masa gitu aja nggak tahu, De."
"Ya nggak tahulah, Mas, orang aku bukan dukun kok."
"Ya masa udah setuju nikah nggak cinta."
"Ya bisa aja nikah karena terpaksa soalnya nggak berani nolak Mama sama Papa. Bang Mika, Ayah, sama Bunda."
Amran menarik napasnya lagi mendengar jawaban Devara. "Harus banget ya De bilang itu? Emang Mas kayak gini kamu nggak paham?"
"Nggak. Emang aku detektif bisa hubung-hubungin satu sama lainnya. Kan bisa aja Mas mabok karena emang lagi kumat."
Pria itu mengusap kasar wajahnya dengan frustrasi. Devara dan keras kepalanya sangat menggangu. "Mas cinta kamu. Udah kan?" Amran merebahkan kembali tubuhnya. Kepalanya benar-benar tak bersahabat, bertambah pusing karena keras kepalanya Devara.
Astaga, pernyataan cinta yang sangat membagongkan. Datar saja kayak triplek dan tidak terasa euforianya. "Itu tadi ngomong cinta? Kok kayak nggak ada manis-manisnya gitu. Lempeng aja kayak tol."
Amran menarik kuat Devara sampai wanita itu masuk dalam dekapannya. "Nggak usah banyak-banyak protes, De. Kepala Mas makin pusing. Pokoknya cinta. Wes titik. Nggak ada koma apalagi tanda tanya." Pria itu mendekap erat Devara yang tidur menghadapnya.
"Kenapa dengernya kayak gimana gitu ya, Mas."
Teman abangnya itu tidak lagi menanggapi ocehan Devara. Ia sudah jelas mengatakan perasaannya, mau ada manisnya seperti le minerale atau tidak, yang pasti ia mencintai Devara. Amran membuka matanya, menatap lekat Devara. "Izin tidur ya Nyonya Hisyam. Nanti kalau udah enakan, babumu ini siap melayani." Lalu ia mencium kening Devara. Amran juga merapatkan tubuhnya mereka. Ia butuh tidur, benar-benar tidur sebelum melayani rentetan pertanyaan Devara. "Sayang kamu, De."
Tamat!!
Jangan minta terusannya 🤣🤣 ini tuh aku up duluan biar pas nulis Omar plong. Mamarika. Lope-lope sekebon 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top