Dia#3
Yeay part akhir hahaha terus ganti ke cerpen selanjutnya. Btw, cerita Niken Ervin ada di Karyakarsa. Cari aja Mbak Tika atau judulnya Muara Cinta. Makasehhh. Sayang kalian banyak-banyak wanita hebat ❤️
&&&
Mbak Anggie menatapku dengan tatapan bertanya 'itu mata kenapa mbendul?' saat aku menaruh tas di sebelahnya. Dia kuabaikan dengan berlalu begitu saja ke pantry. Di sana tempat yang pas buat bercerita. Sekarang kepalaku sakit banget gara-gara nangis semalaman, untung di rumah enggak ada orang jadi enggak bingung cari alasan.
"Mata udah kek jambul ikan louhan aja. Kenapa?" Mbak Anggie duduk di sebelahku. Meletakkan dua gelas kopi sekali pakai di meja.
Aku menelungkup dengan air mata kembali turun. Perasaanku benar-benar enggak baik, atau bisa dibilang hancur karena kenyataan yang terungkap kemarin. "Kacau."
Gumaman Mbak Anggie merespon ucapanku lalu diam, mungkin menunggu aku tenang dan siap menceritakan apa yang terjadi. Dia sudah mengenalku dengan baik selain Niken dan Luna. "Tisu, Mbak." Ia menggeser pack tisu sampai dekat siku. "Parah."
"Apanya?" Mbak Anggie memutar tubuhnya menghadapku, memandang tanpa mengerti maksudnya.
Aku menghela napas panjang dan dalam. Dada ini terasa penuh oleh rasa bersalah, mengutuki kebodohanku, dan sakit hati karena dibohongi. "Mas Ardo selama ini bertahan karena rasa bersalah, Mbak. Dia merasa bertanggungjawab karena Vio membuat jariku harus diamputasi."
Rasanya sungguh enggak enak saat mengingat lalu menceritakan luka itu pada orang lain. Hati rasanya ditusuk-tusuk ribuan jarum, sakit. Tapi yang lebih menyakitkan adalah aku yang tak tahu apa-apa, seperti orang bodoh yang mudah ditipu. Astaga.
Harusnya aku curiga, kenapa orang semenarik dan sesempurna Mas Ardo mau dengan—orang yang bisa dikatakan cacat walaupun tak kentara—aku yang tidak ada apa-apanya. Kami sangat jauh berbeda dari segi penampilan, ekonomi, mau kepintaran.
"Aku nggak sengaja denger kemarin pas mau ambil tasku di mobil dia. Mbak inget kan kemarin aku dijemput?" ujarku mengingatkan. Mbak Anggie mengangguk karena berada di sana saat Mas Ardo datang. "Ya itu, sampai di rumah aku dengar itu." Aku mendongak, memandangi lampu di ruangan tak besar ini. Ornamen-ornamen di tiap sudutnya. "Udah kayak di film-film gitu atau cerita-cerita, Mbak. Mereka ngobrol, kitanya nggak sengaja denger. Rasanya Mbak ... wes mbuhlah."
"Udah tanya ke Ardo kenapa dia kayak gitu?" Mbak Anggie bertanya yang aku jawab dengan gelengan, seketika dia berdecak. "Angel wes angel. Iki. Harusnya kan tanya kenapa? Jangan main kabur aja. Kadang hal itu bikin tambah runyam keadaan."
Huft! Aku menempelkan kepala di atas lipatan lengan di meja, miring melihat Mbak Anggie. "Ya kan aku siyok, Mbak. Tiba-tiba kayak digeplak dari belakang nggak bilang-bilang dulu. Kan makjleb gitu. Pantes Vio benci banget sama aku, banyak bener yang Mas Ardo korbankan buatku, sampai-sampai ngelepas perempuan yang dia suka. Jahat bener kan aku, Mbak?"
Rupanya Mbak Anggi menggeleng enggak setuju denganku. "Kamu nggak jahat wong nggak tahu, yang perlu diperjelas di sini ya alasan cowokmu. Kenapa itu kamu perlu ngomong sama Ardo. Biar semuanya clear."
"Gitu ya, Mbak?"
"Iyalah, Ren. Ada masalah tuh dibicarakan bukan diem-dieman. Jadi tahu mau dibawa ke mana arahnya, lanjut apa udahan."
"Gitu." Memang sebaiknya begitu hanya saja mungkin enggak sekarang. Aku butuh waktu menata hati dan perasaan, gimana pun ini terlalu tiba-tiba.
&&&
"Sini." Mas Ardo membawaku duduk di sisinya—kami berada di rumah pribadi miliknya. Sejak tadi genggaman tangannya enggak lepas sedikit dari tanganku. Mungkin dia takut aku pergi, sebab selama beberapa waktu ini aku menghindari dia.
Menghindari dia tak hanya enggak mau diantar jemput saja tapi nomor dia aku blokir. Aku butuh waktu sendiri menelaah gimana perasaanku, tapi tadi pas mau pulang, Mas Ardo sudah standby di lobi kantor.
Aku enggak tahu kalau dia di sana, kalau tahu mungkin aku bakalan lewat pintu belakang. Entahlah. Sudah dua minggu berlalu tapi masih belum siap juga berhadapan dengan dia. Ya, jujur saja, aku sudah terlalu dalam cinta dia. Sudah terbiasa dengannya jadi selama menghindar kemarin ... menyiksa sekali.
Begitu duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu, Mas Ardo langsung memelukku. Meskipun dia tak berkata apa pun, aku seperti tahu bahwa dia menyimpan kerinduan padaku. "Cukup menghindari Mas, Ren," bisiknya.
Aku bergeming. Tak tahu harus menjawab apa meski rinduku tak kalah besar untuknya, tapi aku menahannya. Aku enggak mau membebani dia dengan perasaanku. Membiarkan dia bebas dengan pilihannya adalah tujuan utamaku kali ini.
"Mas ...."
"Biarin gini dulu, Ren. Mas kangen."
Aku juga, Mas. Namun, kata-kata itu hanya terucap di hati.
"Jangan kayak gini lagi. Lebih baik kamu marah atau pukul Mas sekalian daripada hindari Mas. Mas bener-bener nggak bisa kalo nggak lihat kamu, denger cerewetmu, rengekanmu. Mas bisa gila kalo kamu nggak mau ngomong sama Mas."
"Lepas dulu. Aku nggak bisa napas, Mas. Sesek ini."
Seketika dia melepas pelukannya. Menatapku dalam sebelum mencium bibirku. Dia menumpahkan kerinduan pada kecupannya yang menuntut. "Aku nggak pernah pengin kamu dengar ucapan Vio," ujarnya usai mengurai tautan bibir kami. Ibu jarinya yang sedikit kasar mengusap lembut pipiku berulang kali.
Aku menatapnya sendu. Rasanya sakit sekali melihat penampilan Mas Ardo sekarang ini. Dia enggak se-glowing sebelumya. Bahkan ia membiarkan cambang tumbuh menghiasi rahangnya. "Apa ... apa benar yang dibilang Vio? Termasuk perempuan yang sama kalian waktu itu?" Jantungku berdebar tak keruan. Pertanyaan yang sangat berbahaya tapi bila tak kutanyakan, perasaanku enggak tenang.
Mas Ardo meraih tanganku, mengecupnya lembut sebelum menyandar di kursi. Dia tampak lelah, mungkin pekerjaannya banyak hingga menguras tenaga. "Nggak sepenuhnya benar." Ia menghela napas. Pandangannya jauh ke depan seakan menembus lorong waktu dan tak kembali. "Awalnya iya, Mas merasa bertanggungjawab atau lebih tepatnya kasihan lihat kamu yang nangis sendiri di teras karena teman-temanmu termasuk Vio meninggalkanmu bermain. Mas merasa nggak seharusnya Vio ikut dengan yang lain, padahal dia yang membuatmu kehilangan ujung jari. Dari itu Mas mulai mendekatimu, menemanimu, menjagamu dan sampai dewasa."
Ya ampun.
"Mas nggak tahu sejak kapan rasa iba itu jadi sesuatu yang lain, ya kalo orang bilang itu cinta. Bukan karenamu Mas nolak semua tawaran itu, juga bukan karenamu Mas melepas Fatia, yang dari awal hanya Mas anggap teman. Tapi karena Mas nggak mau jauh darimu, Ren."
Ia menoleh padaku. Binar di matanya menunjukkan ketulusan dari ucapannya, tapi ... apa aku harus percaya padanya?
"Kamu boleh percaya boleh nggak. Yang jelas, lamaran itu Mas usulkan bukan karena kasihan tapi karena Mas bener-bener sayang kamu," ucapnya menekankan jelas perasaannya. "Mas bahkan sudah lamar kamu ke Bapak tahun lalu."
Hah?
"Ayah, Bunda, Ibu, dan Abangmu tahu. Di sini hanya kamu dan Vio yang nggak tahu."
Ini ... aku sampai enggak bisa bersuara saking terkejutnya. "Ma ... Mas bohong, kan?"tuturku saat menemukan kembali suaraku.
Mas Ardo tampak putus asa. Parasnya keruh ditambah helaan napas panjang. "Kamu bisa tanya langsung sama Bapak, aku bohong apa nggak."
"Tapi ...."
Mas Ardo mengerang frustrasi karena aku masih mengeluarkan jurus andalan yaitu tapi. Satu kata yang mampu membantah kata lain.
Ia memegang bahuku kuat-kuat. Menyelami netraku dalam. "Yang jelas, lamaran ini tetap lanjut. Ah nggak. Kemarin aku sudah telepon Bapak buat mempercepat pernikahan kita. Aku nggak mau kamu salah paham dan pergi gara-gara omongan Vio kemarin."
Nikah? Mataku hanya berkedip-kedip dengan mulut terbuka. Aku tak percaya antisipasi Mas Ardo sudah sejauh itu. Kalau sudah begini aku tak mungkin bisa lari. "Jadi sebenarnya Mas cinta aku apa nggak?"
Astaga mulutku. Bukankah dia sudah bilang cinta? Kenapa harus ditanyakan lagi?
"Masih kurang jelas omonganku?" Aku mengangguk. "Iya, Mas cinta kamu. Puas?" Aku mengangguk kuat lalu memeluknya.
Bau parfum yang dia pakai menguar hebat hingga rasanya pulang ke rumah. Dekapan hangat ini tak akan pernah aku lepas, ralat, lepas dariku karena dia tak bisa jauh dariku.
Tangan hangat Mas Ardo terasa di punggung. Naik turun mengusap lembut. Ah, senangnya walaupun awalnya menyakitkan mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, seketika aku melepas pelukan padanya. Dia menatapku bingung. "Kenapa, Mas, bohong pas ketemu Kak Fatia di Matos waktu itu? Bilangnya sama Mas Ryan, ternyata sama yang lain."
Ia dia tersenyum melihatku cemberut. Apa dia enggak tahu kalau aku cemburu?
"Itu nggak sengaja ketemu. Asliy memang sama Ryan tapi pas kelar di duluan. Vio kebetulan di sana, ya sekalian nongkrong sama dia dan Fatia. Mas nggak mungkin kan ngusir Fatia?"
"Tapi kenapa nggak bilang. Aku kirim pesan pas Mas sama mereka."
"Iya maaf Mas salah. Lain kali nggak akan bohong." Mas Ardo mendekapku lagi. Erat dan hangat. Rasanya tak ingin pergi dari pelukan dia. "Jangan berpikir untuk pergi dariku, Ren. Mas bisa gila nanti."
Aku mengiakan permintaannya. Lagipula mau pergi ke mana bila duniaku di sini? Meninggalkan tempat paling nyaman di hidupku, Mas Ardo.
End.
Yeayy, moga sesuai ekspektasi kalian yak. Hahahah
Btw, soal jari Rena yang harus diamputasi, terinspirasi dari kejadian anakku 2 tahun lalu sih hehehe.
Alhamdulillah g harus sampai diamputasi (naudzubillah mindalik dah terakhir jangan lagi) tapi ujungnya pas bawah kuku waktu itu ilang😁 bisa bayangin kan? Alhamdulillah masih bisa dioperasi karena tulangnya utuh. Jadi g kelihatan deh, cuma g ada gundukan kayak ujung jari pada umumnya.
Yuk ah Babay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top