Dia#2
Yuhuuu. Ayem datang lagi. Cus lah langsung baca.
¥¥¥
Sudah beberapa hari ini aku menghindari Mas Ardo. Memberi jeda untuk menenangkan dan menguatkan hati saat bertanya nanti, tapi tak yakin akan bertanya juga. Lidah rasanya kelu untuk sekedar bicara. Entah ke mana perginya keberanianku hingga memilih menghindar. Jujur saja aku takut mendengar jawaban dia nantinya. Pengecut bukan? Tapi ya inilah aku. Terlalu lama terlindungi hingga terpaan badai sedikit saja mampu menghancurkan diriku.
Ah, aku benci sekali diriku yang seperti ini, enggak bisa ambil keputusan sendiri. Labil dan diperparah mudah terpengaruh oleh dia. Arghhh! Sebel! Aku beranjak dari kursi terus ke pantry membuat kopi, padahal aku enggak kuat minum kopi, tapi aku membutuhkan.
Saat menunggu air masak, handphone-ku berdering. Cepat-cepat aku raih benda itu dari saku celana panjang—kebiasaan—Mas Ardo menelepon. Bagaimana ini? Bukannya menjawab panggilan itu, aku malah hilir mudik seraya menggigit handphone.
"Gimana ini?" ujarku hilir mudik. "Astaghfirullah." Seketika langkahku berhenti. "Kenapa harus panik, dia tanya ya tinggal jawab, Ren. Bodoh amat sih!"
Waktu akan kuangkat, panggilan itu berhenti. Aku mendesah lega, tak perlu bingung memikirkan jawaban apa atas pertanyaannya. Namun, lega yang kurasakan hanya sejenak, ponselku berdering lagi. Aku berdeham. Tenggorokan rasanya kering, entah ke mana perginya enzim-enzim di dalam mulut.
"Iy ... iya, Mas?"
Haduh! Jantungku deg-degan. Rasanya seperti menghadapi sidang Pak Budi karena mematahkan alat pancing beliau.
"Kamu di mana?"
"Di kantor, Mas. Kena ... kenapa?"
"Diantar siapa?"
Entah kenapa suara Mas Ardo seperti orang ingin marah tapi ditahan, jadi seperti menggeram begitu. Mungkin dia marah padaku yang sudah enggak mau diantar jemput dia atau Pak Imron.
Ya bagaimana lagi. Aku enggak bisa terus berpura-pura baik-baik saja padahal hatiku sedang meradang. Kalau dipikir-pikir, aku cemburu pun juga karena hal belum jelas. Maksudnya, aku marah oleh kesimpulan yang belum tentu benar faktanya tapi ... ah lagi-lagi tapi. Kata itu seolah tameng untuk pembenaran diriku sendiri yang enggak mau mencari tahu dulu yang sebenarnya.
"Naik Maxim, Mas. Aku ...."
"Nanti Mas jemput. Cukup kamu menghindar, Ren. Kamu kira Mas nggak tahu kalo kamu menghindari Mas? Awas aja kamu sampai berani jalan duluan. Mas hukum kamu."
Ah! Tubuhku langsung lemas. Aku tempelkan kepalaku ke meja pantry. Kenapa dia yang marah coba. Di sini kan harusnya aku sebab dia berbohong. Bilangnya ketemu calon pembeli sama Mas Ryan, nyatanya sama perempuan lain.
"Lemes aja, Neng. Nggak dapet jatah dari lakimu?"
Aku menggeleng lalu menatap Mbak Anggie. "Mbak."
"Hmm." Mbak Anggie melihatku sebentar sebelum kembali meracik kopinya.
"Kira-kira kenapa cowok bohong ya?" tanyaku.
Mbak Anggie ikut duduk di stool sebelahku. Mengipasi kopinya agar menghangat. "Macam-macam alasannya. Kenapa? Pacarmu berbohong?" Ia menatapku dengan pandangan menuntut. Aku mengiakan. "Ah." Dia mengangguk paham. "Banyak faktor sih tapi lebih enak itu tanya langsung ke orangnya. Lebih plong juga kan. Ini kalo aku sih, tapi ya emang kudu siapin hati denger jawabannya. Jaga-jaga kalo alasan dia bikin kita sakit hati."
Ya, aku setuju dengan ucapan Mbak Anggie. Tapi tetap saja takut mendengar jawaban Mas Ardo, oleh sebab itu aku memilih menghindar dulu. "Mbak Anggie pernah dibohongi sama Pak Yuda?" Aku menjauhkan kepala dari meja pantry, lalu menopangnya dengan tangan menunggu jawaban Mbak Anggie.
Fyi, Pak Yuda itu atasan kami di kantor yang juga tunangan Mbak Anggie. Sebenarnya aku penasaran banget dengan kisah mereka, dari jadian, putus, terus kembali bertemu di kantor. Sempat musuhan sampai akhirnya Mbak Anggie menyerah karena kegigihan Pak Yuda yang menunjukkan kesungguhannya.
"Pernah." Perempuan itu meneguk kopinya yang sudah hangat. Tatapannya kosong seolah menembus dimensi lain. "Waktu itu papanya datang ke apartemen dia, padahal kami udah janjian mau makan bareng. Jadi dia bohong ketemu temen lama dan batalin acara kami. Nggak tahunya dia nggak mau aku sama papanya bertemu. Dia nggak mau nyakitin perasaanku." Ia kembali menyeruput kopinya, menoleh padaku dan bertanya, "Bohong apa?" tanyanya seraya memutar-mutar jarinya di bibir gelas sekali pakai.
Pertanyaan Mbak Anggie membuat gelisah di hati menyeruak ke permukaan. Aku tak suka itu. "Katanya rapat tapi pas nggak sengaja aku lihat, dia lagi makan di Matos sama perempuan cantik dan adiknya." Aku menghela napas. Memandangi kopi hitam yang tinggal separuh, lalu menoleh pada Mbak Anggie. "Mbak tahu, adiknya nggak pernah suka aku. Nggak tahu kenapa, padahal pas SD kita deket tapi sejak kejadian itu, dia lama-lama menjauh."
Kening Mbak Anggie berkerut, aku tahu makna dari kerutan itu. Aku mengangkat tangan kananku dan terlihat perbedaannya. Bibirnya terbuka lalu mengangguk paham. "Ya itulah, Mbak. Perasaan aku nggak pernah ngomong yang bikin dia marah atau tersinggung tapi ... ya wes gitulah."
"Kamu nggak coba tanya dia apa salahmu?" Aku menggeleng. Mbak Anggie refleks mendorong kepalaku kuat. "Mulut dipake, Neng. Ojok ngemut inten ae (diem aja)."
"Lha dia lho kalo ada aku pergi. Ya gimana mau tanya hayo." Bukan mencari alasan tapi memang seperti itu. Kadang aku merasa Vio cemburu karena Mas Ardo memilihku untuk jadi pacarnya.
"Angel wes angel," seloroh Mbak Anggie terus berlalu.
"Iyo, angel," gumamku setuju.
¥¥¥
Aku meliriknya. Kukira saat kami bertemu dia akan mengintrogasiku, bertanya segala macam, nyata tidak. Dia menutup rapat bibirnya, seolah aku tak ada bersamanya. Dan bodohnya, malah diriku yang bingung sendiri. Belingsatan seperti cacing kepanasan.
Kediaman Mas Ardo sangat mampu membuat nyaliku ciut. Aku yang tadi akan mengkonfrontasi dia, jadi mundur perlahan. Matanya ketika menatap tadi seperti ingin menebasku bulat-bulat. Mengerikan.
Kesunyian terus berlangsung sampai mobil Mas Ardo masuk ke carport rumahnya. Aku turun tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bergegas meninggalkan kediamannya dan menuju rumahku sendiri di samping. Saat akan membuka pintu, barulah aku sadar jika tasku tertinggal di mobil Mas Ardo.
Aku mendesah lelah harus kembali ke sebelah. Dengan langkah gontai, aku masuk lewat pintu garasi. Saat itulah aku tak sengaja mendengar percakapan Mas Ardo dan Vio. Sebenarnya enggak ada maksud menguping pembicaraan mereka, tapi rasa penasaranku meronta-ronta dan ingin dipuaskan.
"Mas jemput Rena lagi? Kenapa sih Mas lebih penting dia daripada diri Mas sendiri? Apa-apa Rena. Apa-apa Rena. Buat Mas kapan?"
Suara Vio terdengar sangat jengkel padaku. Mungkin inilah motif di balik kebencian dia padaku. Namun, aku paham perasaan dia, mungkin bila aku di posisinya mungkin akan berlaku hal yang sama.
"Mas ngorbanin tawaran Om Andre kuliah di Amerika. Nolak tawaran kerja Om Redi di Jakarta hanya untuk memanjakan Rena. Bahkan Mas sampai melepas Kak Fatia untuk dia. Mas ini sebenarnya kenapa!"
Teriakan Vio membekukan tubuhku. Bibirku terbuka tapi enggak mengeluarkan suara sama sekali. Ucapan Vio menancap kuat di otak dan membuatku terdiam. Ini ... aku enggak tahu sampai sebesar itu yang dikorbankan Mas Ardo untukku tapi kenapa? Ya kenapa dia melakukan semua itu? Bukankah itu sangat merugikan dia?
"Apa Mas merasa bertanggungjawab atas kejadian waktu itu?"
Ayo jawab Mas Ardo, pintaku dalam hati.
"Vi ...."
"Berarti tebakanku benar. Mas! Kita sama-sama tahu jika kejadian itu nggak sengaja. Kita udah kasih ganti rugi mereka, biar pun ditolak. Bukan salah kita. Kami masih kecil waktu itu. Mereka juga paham bahwa itu nggak disengaja. Mereka udah menerima terus kenapa Mas Ardo melakukan hal bodoh kayak gini? Bahkan Mas ngusulin tunangan. Astaga, Mas!"
Ragaku seperti tak bertulang, otot-otot pengikatnya seolah ditarik kuat-kuat sampai tak bersisa. Beruntung di belakangku tembok untuk bersandar, jika enggak, mungkin aku sudah jatuh terduduk dengan keras.
"Mas berusaha bahagiakan Rena tapi nyakitin Kak Fatia, orang yang Mas suka. Asal Mas tahu, sampai detik ini Kak Fatia masih berharap keputusan ini berubah. Apa Mas nggak lihat gimana senengnya dis pas kita jalan bertiga kemarin di Matos? Dia kayak dapet anugerah. Tapi lagi-lagi harus terluka karena Mas nolak dia. Dan semua itu gara-gara Rena! Astaga. Aku nggak tahu gimana pikiran Mas."
"Tenang dulu, Vi. Mas bisa ...."
"Lho, Ren, ngapain kamu di situ." Mama Mas Ardo tiba-tiba saja datang, entah dari mana, tak aku perhatikan. Fokusku hanya pada percakapan dua kakak beradik tersebut. Beliau melangkah cepat ke arahku sampai tak bisa menghindar. Meraih lenganku dan menghela masuk. "Do, Rena kenapa nggak disuruh masuk, sih."
Aku menatap Mas Ardo dan Vio. Mereka tampak kaget. Parasnya juga pucat tapi tak lebih pucat dariku. Mungkin jika ada lomba wajah siapa yang paling pucat, akulah pemenangnya. Mungkin mereka tak mengira aku akan mendengar pembicaraan mereka.
"Duduk sini, Ren." Tante Widya menepuk stool kosong di sebelahnya. Namun, kakiku tak bergerak. Hanya senyum kecil yang kupaksakan membalas ajakannya. "Tadi ke sini mau apa? Kok bengong di garasi gitu?"
"Itu tadi tasku ketinggalan di mobil Mas Ardo. Mau masuk nggak bisa," ujarku. "Mas, pintu mobilnya nggak dikunci, kan?" tanyaku padanya.
"Ayo aku antar."
Dia berdiri siap mendekat tapi aku menolaknya. "Nggak usah, Mas. Aku bisa ambil sendiri asal pintunya nggak dikunci. Nggak dikunci, kan?" Aku mengulangi pertanyaan yang sama.
Aku ingin segera pergi dari sini sebab air mata ini hampir tak bisa ditahan. Aku enggak mau menangis di hadapan mereka yang akan panjang urusannya, terutama Tante Widya. Beliau akan bertanya ini itu sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan. "Tante, aku pulang dulu."
Wanita itu mengangguk. Tangannya sudah sibuk dengan bahan makanan untuk makan malam. "Nanti makan malam di sini aja, Ren, daripada pesan makanan online," perintah Tante Widya.
Aku mengangguk tapi enggak janji akan datang. Rasanya sudah enggak punya muka untuk ke sini. Aku enggak mau terus merepotkan keluarga ini terutama Mas Ardo. Mungkin setelah aku berhasil menenangkan diri, aku akan minta pertunangan ini dibatalkan saja. Enggak mau mengikat pria itu selamanya denganku. Dia butuh kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
Tbc.
Wkwkw, kirain bakal cukup 2 part aja hahaha. Ternyata tidak sodara-sodara 😆
Btw, ada reques mau bikin cerita siapa atau yang gmn mungkin? Hehehe tanya aja sih 🤣 Babay.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top