Dia#1
Halooo. Ketemu di lapak cerpen hahaha. Nggak ada hal khusus cuma mau nuangin ide di otak aja, siapa tahu ntar bikin versi panjang wkwkwk.
Btw, selamat hari raya Idul Fitri ya. Mohon maaf lahir batin buat kalian semua 😘
¥¥¥
Gila. Benar-benar gila Mas Ardo itu, hanya karena pernah terjatuh dari motor waktu dibonceng Niken, dia enggak bolehin belajar motor. Mau belajar mobil juga enggak boleh, alasannya aku ceroboh. Iya, sih, tapi kan aku juga pasti hati-hati kalau lagi bawa motor atau mobil. Masa iya ke mana-mana dianter dia, apa kata Vio nanti?
Adik Mas Ardo itu enggak suka padaku, entah apa alasannya. Seingatku, aku enggak pernah bikin dia marah atau menyinggung perasaannya. Kami jarang bicara sejak SMP, padahal waktu sekolah dasar kami berteman dekat, selain karena bertetangga juga.
"Ren, ada Ardo tuh."
Teriakan Ibu membuatku mau tak mau beranjak dari kasur. Aku sedang malas bertemu dengan dia, karena tak mengizinkan aku belajar motor. Biar saja dianggap kekanak-kanakan tapi aku enggak mau terus-terusan merepotkan dia. Pengin mandiri tanpa harus tergantung sama Mas Ardo.
Aku menghampiri dia yang sudah duduk nyaman di sofa depan televisi lantai dua. Ia menoleh, menepuk sisi kosong di sebelahnya. Namun, aku abaikan permintaan dia dengan duduk di sofa single kanannya.
"Masih marah?"
Ardo mendekat tapi aku enggak mau melihatnya. Aku juga tak mau menjawab pertanyaannya dia. Anggap saja aku mendengar siaran radio yang enggak harus membalas pertanyaan si penyiar.
"Mas bukannya nggak bolehin kamu mandiri. Motoran itu nggak gampang, Sayang, apalagi mobil. Kamu naik sepeda aja masuk got, ini motoran, bisa-bisa nabrak orang."
Tuh kan. Dia selalu saja bisa kasih jawaban setiap mendebatnya. Aku enggak pernah menang melawan dia, karena dia tahu betul bagaimana aku. "Ya masa apa-apa kudu dianter, Mas. Kalo mau jalan mesti nungguin. Iya kalo bisa, kalo nggak bisa? Ya batal," jawabku ketus tapi enggan menatap dia.
Dia tersenyum. Tangannya mengelus punggung tanganku. "Tapi nggak pernah batal jalan, kan? Kalo Mas nggak bisa kan dijemput Pak Imron," pungkasnya mematahkan alasanku.
Benar, sih, tapi tetap saja aku ingin mandiri seperti Niken atau perempuan lainnya, yang ke mana-mana enggak perlu diantar. Aku menatap dia dengan wajah merajuk. "Tapi aku pengin tetep bisa motoran, Mas. Aku nggak mau dibilang manja sama Vi ...."
Aku segera menghentikan omonganku sebelum menyebut nama adiknya. Mas Ardo bisa-bisa marah pada Vio kalau tahu bahwa salah satu faktor aku ingin bisa motoran karena ucapan Vio. Sudah kubilang, wanita itu sangat memusuhiku.
"Sama siapa?"
Ekspresi paras Mas Ardo seketika serius. Matanya lekat melihatku sampai-sampai nyaliku ciut. "Nggak kok ...."
"Siapa?" ujarnya mengulang pertanyaan yang sama. Dia akan mengejar sampai mendapat jawaban yang sebenarnya.
"Niken."
'Maafkan aku, Ken, daripada harus terjadi perang keempat nantinya.
"Nggak ngatain sih cuma nasihati aku aja, kasihan kalo repotin Mas terus. Kupikir bener juga. Aku juga gampang kalo mau jalan ke mana aja, nggak kudu nungguin dijemput," kilahku.
Mas Ardo menarikku untuk duduk di pangkuannya. Mengecup bibir ini singkat. Ia menahan daguku untuk membalas tatapannya. "Mas nggak lebih baik kamu repoti daripada kamu kenapa-napa, Sayang. Jadi nggak usah lagi mikirin belajar motor atau mobil. Sepakat?" tawarnya sembari mengelus punggungku. Dia tahu betul aku akan mengiakan apa pun keputusannya.
"Tapi ...."
"Apa lagi? Masih kurang jelas apa yang aku bilang barusan? Aku suka direpoti kamu, Ren. Apa pernah aku mengeluh kamu manja dan lain-lain?" Jelas aku menggeleng karena enggak pernah. "Lalu di mana masalahnya? Apa aku perlu ngomong sama Niken kalo aku nggak keberatan biar kamu nurut?" Suaranya sedikit meninggi. Jelas dia mulai jengkel dengan kemauanku.
Aku menggeleng cepat. "Nggak. Nggak. Aku ngerti kok."
Gagal lagi. Percuma aku mendiamkan selama tiga hari ini kalau hasil akhirnya aku nurut lagi sama dia. Bodoh! Aku benar-benar tergantung banget sama Mas Ardo.
¥¥¥
"Kusut banget itu muka, kenapa?" Niken meletakkan kopi susu yang aku minta pas datang tadi.
Sekarang ini aku sedang berada di toko makanan ringan milik Niken di daerah Sumbersari. Aku salut dengan sahabatku ini, dia berhasil mengembangkan usahanya hingga sebesar ini, yang awalnya hanya satu ruko menjadi dua ruko.
"Biasa." Aku mengambil kudapan yang disajikan. Niken kadang membawa sebagian hasil kreasinya di rumah mertuanya ke toko, dibagi-bagikan ke karyawannya.
Wanita itu tersenyum. Ia paham dengan jawabanku. "Kamu aneh. Cewek lain suka banget diperhatiin gitu, kamu malah kesel. Katanya di-posesif-in itu enak. Kayanya lho ya, aku nggak tahu juga."
"Nggak usah ngeles pake katanya, Ken," ujarku seraya meliriknya tajam. Wanita itu menutup mulutnya menahan senyum. "Tahu yang sekarang lakinya bucin parah. Dulu aja nolak, sekarang hmm. Telepon telat angkat aja ceramahnya sepanjang jalan kenangan."
Tapi melihat Niken yang kini lebih banyak tersenyum, aku jadi ikut bahagia. Selain karena kehamilannya, juga karena Ervin benar-benar enggak bisa lepas sahabatnya itu. Kalau diingat-ingat, pria itu awalnya antipati terhadap Niken. Tapi dia tak menunjukkan keberatan ataupun menyerah untuk perilaku Ervin padanya, yang akhirnya membuat pria itu takluk sendiri.
Aku enggak akan membenci Ervin, sebab, sedikit banyak bisa dipahami sikapnya. Menikah dengan orang yang belum kita kenal itu sangatlah susah. Banyak penyesuaian dan butuh waktu, apalagi harus melepas orang terkasih karena terhalang restu, pasti lebih berat.
"Aku penasaran emang apa sih alasan Mas Ardo kayak gitu? Aneh aja gitu, masa belajar motoran aja nggak boleh."
Aku juga penasaran tapi mau bertanya lebih lanjut dia selalu mengalihkan topik pembicaraan, membelokkan ke obrolan tentang rencana pertunangan mereka. Terkadang aku ingin tahu, apa motif kuat Mas Ardo memilihku sebagai pasangannya? Padahal banyak teman wanitanya yang bersedia menjadi kekasihnya. "Nggak tahu juga. Mesti ngalihin pembicaraan kalo aku tanya." Saat berbicara tentang Mas Ardo, perasaanku selalu enggak nyaman. Enggak tahu kenapa, seperti ada ganjalan besar yang ingin kupecah hingga menjadi puing-puing kecil tak beraturan, tapi bingung harus dari mana awalnya.
Aku menatap Niken di mejanya. Wanita itu sedang menerima telepon dari si bucin Ervin. "Ken." Dia menatapku dengan alis terangkat. "Nggak tahu kenapa, akhir-akhir ini aku ngerasa gimana gitu sama Mas Ardo. Perasaanku nggak enak gitu. Kayak gimana gitu lho. Duh, susah bener mo jabarin."
Niken mendekat, menempatkan dirinya di sampingku. Wanita hamil itu mengunyah siomai yang aku bawakan. "Kenapa gitu?"
"Nggak tahu juga. Feeling aja."
"Hmm, kumat. Feeling-mu kadang nggak jelas." Ia meraih vitamin ibu hamil, menelannya dalam sekali teguk. "Itu cuma pikiranmu aja, Ren. Tapi emang, sih, ada kalanya kita masuk ke fase denial yang bikin bingung. Bikin nggak enak perasaan. Apa-apa salah. Nethink terus bawaannya." Niken menghadapku. Ia menepuk bahuku pelan. "Tapi, Ren, jangan biarin perasaan nggak jelas itu mempengaruhi kita. Kalo terus kayak gitu bakalan runyam juga. Hubunganmu dengan Mas Ardo juga bisa kacau."
Aku tahu itu, tapi rasanya sukar sekali membuang perasaan enggak jelas seperti ini. Pikiran negatif juga akhirnya merajalela dalam otakku. Ya ampun, aku harus bagaimana?
¥¥¥
Mas Ardo: Mas nggak bisa jemput, ada pertemuan sama calon pembeli toko, tapi Pak Imron udah jalan ke tempatmu.
Me: Iya. Tapi aku nggak langsung pulang ya. Aku pengin beli bedak di tempat biasa.
Mas Ardo: Iya. Biar Pak Imron tungguin kamu di parkiran.
Me: nggak usah. Kasihan Pak Imron. Nanti aku pesen Maxim mobil aja.
Mas Ardo: iya. Udah ya. Mas mau jalan.
Me: iya.
Aku menghela napas panjang, perasaan tak nyaman ini semakin merundungku, semakin mendesak hingga tak ada celahnya untuk lari. Aku pun jadi bingung harus melakukan apa agar perasaan ini membaik. Lepas dari ketidaknyamanan yang kurasakan.
Astaga.
Di tengah pikiran ruwetku, Pak Sapto—satpam tempatku bekerja—menghampiri mejaku. Beliau bilang kalau Pak Imron datang. Dengan langkah gontai aku keluar kantor, menyapanya sebentar sebelum akhirnya masuk ke mobil. "Pak ke MOG aja ya, eh ke Matos aja."
"Iya, Mbak," jawab Pak Imron.
Ramainya jalanan sore Kota Malang saat ini tak bisa membuat hatiku tenang. Perasaanku semakin tak karuan gelisahnya. Mendebarkan sekaligus menyebarkan aura ketakutan. Firasat apa ini sebenarnya? Mengapa sangat gelisah seolah akan terjadi sesuatu yang besar nantinya?
Tuhan, tolong tenangkan perasaanku ini, pintaku dalam hati.
"Mbak sudah sampai. Perlu saya tunggu?" tanya Pak Imron ketika akan menurunkan aku di depan pintu mal.
"Ndak usah, Pak," sahutku. "Bapak langsung pulang aja. Nanti saya pesan Maxim saja."
"Iya, Mbak."
Aku turun dari mobil yang langsung disambut oleh Satpam. Mereka memengulas senyum ketika aku masuk. Kaki ini terus melangkah ke lantai dua tanpa tujuan. Membeli bedak sudah bukan lagi agenda penting kali ini, aku hanya ingin berkeliling membunuh perasaan tak tenang. Siapa tahu setelah berkeliling mal ini aku jadi sedikit lebih baik.
Aku terus berjalan, masuk dari satu gerai ke gerai lain. Sempat beberapa waktu berhenti di Matahari departemen store karena diskon. Ya bagaimanapun diskon merupakan daya tarik utama untuk pembeli mampir. Setelah hampir satu jam berkeliling, aku memutuskan membeli satu sepasang sandal dari salah satu merk ternama. Bentuknya simpel tapi aku suka.
Keluar dari toko itu, aku ke food court. Tidak terlalu ramai hingga masih meja-meja yang kosong. Aku duduk seraya melihat menu-menu yang disajikan. Usai memesan makanan juga minuman, aku mengedarkan pandangan. Saat itulah aku tanpa sengaja melihat Mas Ardo bersama wanita. Mereka duduk tak jauh dariku.
Enggak tahu kenapa perasaanku semakin tak enak. Interaksi mereka sepertinya tak mungkin sekedar klien saja. Wanita itu tersenyum malu-malu setiap kali pria itu berbicara. Mencuri pandang pandang pada Mas Ardo.
Aku enggak tahu seperti apa interaksi Mas Ardo pada orang lain—terutama wanita—tapi ini jelas terlihat akrab.
Mungkinkah mereka teman lama atau ... ah, enggak. Enggak. Aku enggak mau berpikir macam-macam yang bakal mengacaukan hubungan kami. Mas Ardo enggak mungkin bermain di belakangku. Dia bukan pria seperti itu tapi ... prasangka baik yang aku tanamkan buyar dalam hitungan detik kala Vio ikut bergabung dengan mereka.
Bila Vio bersama mereka artinya hubungan mereka dekat, sebab aku enggak pernah kenal atau bertemu wanita itu—aku kenal hampir seluruh keluarga besar Mas Ardo. Jadi ini kah alasan dia tak bisa menjemputku? Mengapa harus berbohong? Andai dia mengatakan yang sebenarnya aku pun tak masalah.
Me: Mas masih lama ketemu kliennya?
Mas Ardo: iya. Kenapa?
Me: nggak apa-apa. Berdua aja apa sama Mas Ryan?
Mas Ardo: sama Ryan juga. Agak malam kayaknya, ini diajak ngopi sama beliau.
Bibirku tersenyum kecut. Apa mungkin Mas Ardo sering membohongiku juga seperti saat ini? Apakah ini alasan dia enggak pernah izinkan aku keluar tanpa ia temani agar bisa memastikan aku tak mengetahui kelakuannya?
Aku menggeleng tak percaya. Bodoh! Kenapa aku bisa senaif ini? Bagaimana mungkin pria seperti dia bertahan pada satu wanita bodoh sepertiku? Manja, yang apa-apa selalu dia. Astaga.
¥¥¥
Sekalian promo🤣 yang kepo cerita Niken Ervin, ada di Karyakarsa dengan judul Muara Cinta. Masih 8 part sih hahaha.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top