Bagaimana Cinta?

Happy reading sista 😘

###

Aleeya tertegun mendengar bisikan laki-laki di depannya ini. Bisikan dengan suara rendah dan berat membuat bulu kuduknya meremang. Embusan napas pria itu menyapu hangat di leher dan pundaknya membuat Aleeya spontan menutupinya dengan tangan tanpa berani menoleh, sebab salah sedikit saja bibir mereka pasti bertemu.

Tama—kependekan dari Utama—benar-benar tidak mengenal menyerah mendekati dirinya. Sudah beberapa kali ia selalu menghindar, menolak, bahkan mengatakan bahwa Aleeya tidak suka, tidak membuat Tama mundur, dan pria itu semakin gencar mendekatinya.

"Rasanya aku pengin cium habis bibirmu yang mungil mu ini, Le," bisiknya lagi lalu Tama menarik wajahnya dari dekat wajah Aleeya kemudian menyeringai penuh kemenangan sebab berhasil membuat wanita itu tak berkutik.

Raut muka Tama benar-benar menjengkelkan dan congkak. Tak lama ibu jari Tama terulur menyusuri bibir Aleeya dengan sedikit tekanan yang diakhiri kecupan kecil di sudut bibirnya. "Manis," ujarnya seraya mengusap bibirnya dan menjilat jempolnya. Tatapannya begitu nakal persis gambaran bad boy di manga-manga online.

Saking kagetnya, Aleeya sampai tak mampu bergerak. Laki-laki ini membuatnya tak berkutik—mengecupnya tiba-tiba. Otaknya kosong melompong dan kesadaran hilang ditelan keterkejutan. Pria ini ... bola matanya semakin melebar saat bibirnya dipagut cepat oleh Tama. Aleeya benar-benar disihir oleh pria itu untuk tidak melawan.

Tama tersenyum miring melihat Aleeya cengo. Wanita itu mungkin tidak mengira kalau ia berani mengecupnya di depan kos-kosan Aleeya. "Masuk, Le." Ia mendorong pelan Aleeya hingga di depan pintu kamar kos-nya. "Aku pergi." Tama pergi dengan langkah ringan, penuh semangat, dan siulan yang terus terdengar. Malam ini rasanya ia bisa tidur dengan nyenyak.

###

"Aku balik duluan." Aleeya pergi meninggalkan Syila di kantin—dekat temoat kerjanya—saat melihat Tama melangkah panjang ke arah mejanya. Ia tidak mau bertemu Tama lagi—malu karena kejadian tempo hari. Lagipula ia bukan perempuan yang bisa dibuat mainan oleh anak laki-laki yang baru dewasa.

Aleeya mempercepat jalannya agar segera sampai di ruang karyawan tempatnya bekerja. Namun, ia terkesiap saat didorong sedikit kuat ke tembok. Tubuh Aleeya dengan cepat dibalik, tangannya dicekal kuat, dan dihimpit oleh badan besar Tama.

"Melarikan diri heh?"

Aleeya mencoba melepaskan tangannya dari cekalan Tama. "Lepas!" desis Aleeya. Matanya berkilat-kilat penuh amarah.

"Aku lepas dengan satu syarat ... pulang kerja ikut denganku."

"Nggak! Aku nggak akan ikut denganmu ke mana-mana," debat Aleeya berapi-api. Ia bukanlah budak yang harus menuruti perintah majikannya dan Tama bukan majikan Aleeya.

"Ok. Aku nggak keberatan begini terus." Tama maju, mendesak tubuh Aleeya sampai tak berjarak, dan merasakan empuk di dadanya. Ia menggeram tertahan. Sialan! Tama berusaha keras memadamkan bara api dalam raganya.

Wanita itu tak berani bergerak, tidak tampak pula tanda-tanda Tama akan menyingkir darinya. Mau tidak mau Aleeya pun harus menurut pada Utama Al Birru. "Baiklah." Sungguh tak rela sekali menurut pada laki-laki ini tapi jika tidak ... selalu saja membuatnya tak punya pilihan.

Pria itu menjauhkan raganya dari Aleeya dengan smrik kemenangan. Tak peduli wanita 33 tahun itu merenggut, yang penting keinginan Tama terkabul. "Gitu dong. Nurut kan enak. Nggak perlu pake ngancam segala." Tama meraih tangan Aleeya yang ia cekal tadi. Mengusapnya lalu mencium bekasnya. "Sorry."

Dengan cepat Aleeya menarik tangannya dari genggaman Tama. Menatapnya tajam lalu meninggalkan pria itu sendiri. Sebenarnya dosa apa yang sudah Aleeya lakukan sampai-sampai bertemu dengan Tama si psikopat itu? Dari awal ia sepertinya masuk jebakan yang sudah dirancang oleh Tama dan sekarang tidak bisa keluar jika bukan pria itu sendiri yang mengeluarkannya.

###

Syila melihat saksama pria di depannya ini. Wajahnya menarik walaupun bukan yang sangat tampan. Kulitnya kecokelatan tapi memiliki senyuman yang sangat manis. Dengan  paras seperti itu sangat mudah baginya menarik perhatian gadis mana pun, tapi sayangnya laki-laki gila itu malah tertarik dengan temannya, Aleeya. "Kamu seriusan sama Leya?" tanya Syila tiba-tiba.

Tama membalas tatapan Syila dengan sama tajamnya. Ia meletakkan ponselnya di meja, duduk menghadap Syila, dan melipat tangannya di meja. "Menurutmu?" Ekspresinya berubah serius dan tak tersentuh bagai gunung es Kutub Selatan. Dingin dan beku.

"Hanya main-main." Syila tidak gentar dengan tatapan garang Tama. Ia tahu bagaimana perangai sepupunya tersebut. Tama bukanlah pria yang bisa bertahan dengan satu wanita. "Jadi lebih baik berhenti mengganggunya."

"Coba hentikan aku kalau bisa." Tama marah Syila meragukan niatnya. Apa sepupunya ini tidak melihat bagaimana sikap dan tingkah lakunya semenjak mengenal Aleeya?

"Oke. Kamu sendiri yang minta. Jadi jangan salahkan aku kalau nantinya Leya menjauh darimu." Syila harus tahu apakah Tama benar-benar serius atau euforia saja.

###

"Enak dong, Le, dibucinin berondong. Apalagi berondong tajir gitu, kagak nolak kalau aku," sahut Allura. Wanita single itu merebahkan diri di samping Aleeya.

"Enak kalau cuma bucin doang. Dianya suka banget maksa. Takutlah aku." Aleeya bergidik membayangkan bagaimana hidup bersama Tama, pasti ia akan seperti boneka yang harus mau diatur.

"Lagian gimana sih ceritanya bisa kenal sama dia?" Allura tengkurap, menyanggah dagunya seraya melihat Aleeya duduk bersila di depannya.

"Aku nggak tahu gimana awalnya, pokoknya dia tiap hari beli di toko terus duduk di kursi depan. Seingatku gitu. Terus mulai nemenin jalan, ngajak kenalan, ngobrol. Udah gitu aja. Aku nggak ada pikiran kek gini." Aleeya mengusap wajah frustrasi. Lelah sekali pikirannya mencari cara untuk menjauh dari Tama. "Dia tuh kayak psikopat nggak sih? Mungkin kalau di buku-buku romance, manga, komik dicintai macam itu nyenengin. Tapi kalau di realita ya ngeri lah, Ra." Aleeya bergidik ngeri.

"Definisi cinta brutal sampai mampus ya kan," celetuk Allura. "Ini sikap dia emang gitu apa gimana sih? Apa awalnya baik terus kamu gimana jadi kek ini gitu?" Ia menarik tubuh dari kasur lalu duduk bersila di hadapan Aleeya. Allura begitu penasaran dengan cerita Aleeya.

Wanita dewasa itu menghela napas dalam, diam mengingat sikap Tama sebelumnya. "Kayaknya habis aku tolak dia jadi kek gini." Aleeya mengambil bantal, memangkunya sembari menghela napas. "Aku nggak yakin dia serius. Jiwa mudanya masih bergejolak, Ra. Kalau orang Jawa bilang itu 'urung jenek alias belum mantep, belum yakin' masih pengin ini itu. Lagian orang tua mana yang mau anaknya dapet janda? Nggak ada kan? Jadi ya gitulah."

Aleeya sendiri tidak lagi percaya pada cinta. Baginya, cinta hanya tameng untuk membenar selingkuh dan nafsu semata, seperti yang dilakukan suaminya dan wanita itu.

###

"Tama lepas! Kamu ini kenapa sih tiba-tiba kayak gini." Aleeya meronta, berusaha menarik tangannya dari genggaman Tama.

Tadi saat Aleeya sedang bekerja, Tama datang dengan dandanan yang sangat berbeda dari biasanya. Kemeja putih polos yang tampak mahal, celana bahan abu-abu yang dijahit rapi dan licin. Rambut licin dan kacamata hitam. Tama terlihat dewasa, seperti gambaran CEO di drama Korea. Menawan dan jauh dari kesan awut-awutan yang biasanya.

Namun, saat membuka kacamatanya, raut wajah pria itu terlihat marah. Aleeya tidak tahu apa penyebabnya dan tiba-tiba saja Tama menariknya tangannya agar mengikutinya.

"Tanganku sakit, Tama!" Aleeya tidak berbohong. Cengkeraman laki-laki muda ini sangat kuat dan bisa meremukkan tangannya yang ringkih. "Tama kamu kenapa sih?" Jujur saja Aleeya takut wajah Tama sekarang ini. Tenang tapi menyimpan kebengisan.

Tama diam, langkahnya semakin lebar, dan mendorong kasar Aleeya masuk ke mobilnya. Ia duduk setelah menggeser Aleeya. "Jalan, Pak."

Aleeya panik. Akan dibawa ke mana dirinya? "Ini mau ke mana?" tanyanya tapi tidak mendapat jawaban. "Tama ini mau ke mana?" tanyanya ulang. "Tam jangan aneh-aneh. Balik. Aku masih kerja!"

Rupanya tidak ada gunanya terus bertanya jadi Aleeya duduk diam sembari berdoa. Ia mohon keselamatan pada Tuhan. Sampai beberapa waktu, mobil berbelok ke sebuah rumah yang cukup besar. Tidak hanya besar tapi juga luas dan mewah. Aleeya bingung rumah siapa?

"Ayo."

Ajakan Tama menyentak kesadaran Aleeya. Ia keluar dari mobil, mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Halaman luas, rumah bergaya klasik Eropa dengan pilar-pilar besar dan kokoh sebagai penyangga, dan nuansa ivory mendominasi. Sungguh rumah yang sangat indah dan khas imej kalangan atas. Borjuis.

"Ini ... rumah siapa, Tam?" Aleeya berdiam diri di tempatnya. Ia sangat takut akan sesuatu di balik pintu besar itu.

Tama mengulurkan tangan pada Aleeya. Wanita itu tampak ketakutan. "Ayo."

Aleeya menggeleng. Menyimpan rapat tangannya. "Tolong antar aku pulang." Suara bergetar. Pikirannya sudah kacau membayangkan hal yang tidak-tidak.

"Oke. Tapi kita masuk dulu."

Wanita itu kembali menggeleng.

"Kamu nggak akan kenapa-napa. Percaya sama aku." Tama merapat ke Aleeya, merangkul pundaknya lalu sedikit memaksa wanita itu jalan.

"Kamu nggak akan jual aku sama bosmu, kan?" Apalagi yang Aleeya pikiran menilik penampilan Tama yang berbeda kali ini?

Bos? Memang tampangnya seperti penjahat apa sampai harus menjual Aleeya ke bos-bos berduit? "Ngawur. Masuk dulu."

Sampai di dalam, mereka disambut sepasang suami istri. Mereka tersenyum lebar dan nyonya rumah ini memeluk Aleeya erat.

"Akhirnya kamu bawa ke sini juga dia," ujar wanita paruh baya itu. "Ayo duduk." Ia menghela Aleeya duduk di sofa ruang tengah. "Jadi tanggal berapa kalian menikah?" ujarnya.

"Menikah?" Aleeya membeo.

"Iya. Kata Tama kamu setuju buat nikah sama dia. Makanya kamu dibawa ke sini." Nyonya rumah itu menyadari kebingungan Aleeya. Ia pun menatap Tama. "Kamu nggak ngomong sama dia soal rencanamu itu?"

"Nggak. Kalau aku bilang bisa-bisa kabur dia," sahut Tama tenang.

"Ya Tuhan! Pantes dia bingung. Dasar bocah!" Nyonya tersebut melempar bantalan kursi ke arah Tama tapi tidak kena. "Maafin anak Tante ya. Biru kadang suka seenaknya sendiri."

Bukan kadang tapi memang seenaknya sendiri, batin Aleeya.

"Biru sudah cerita semua soalmu. Tante sama Om nggak akan melarang hubungan kalian. Tante malah nggak sabar melihat kalian segera menikah, biar Biru nggak keluyuran terus dan fokus bantuin papanya di kantor."

"Tapi kami tidak ada hubungan apa-apa, Tante," jawab Aleeya cepat.

"Bohong dia, Ma," sahut Tama. "Leya lagi marah makanya nggak mau ngaku."

"Itu ...."

Kata-kata Aleeya terpotong oleh papa Tama yang mengajak mereka untuk makan siang. Selama makan, Aleeya terus berpikir, benarkah Tama ingin menikahi dirinya yang seorang janda dari kalangan biasa saja? Sungguh tidak masuk akal.

"Mikirin apa? Sampai nggak ngeh Papa sama Mama pergi." Tama menopang dagu menatap lurus Aleeya. "Aku nggak bercanda soal nikahin kamu, Le."

Wanita itu menatap Tama sejenak sebelum bertanya, "Kenapa?"

"Kenapa apa?"

"Kenapa aku?" imbuh Aleeya dengan perasaan tak karuan.

"Ya karena aku mau dan cinta kamu. Memang perlu alasan apa lagi?" Tama tak mengerti mengapa Aleeya bisa mempunyai pertanyaan bodoh seperti itu. Memangnya jatuh cinta butuh alasan?

"Maksudku ... ini ... Tam, aku nggak sepadan sama kamu. Perbedaannya sangat besar. Selain dari segi umur, status, kondisi keluarga kita juga."

"Aku nggak peduli sama semua itu. Umur hanya angka, status hanya tulisan, harta cuma titipan. Kalau yang punya mau ya bakal diambil juga. Jadi di mana masalahnya?"

"Tapi ...."

Kecupan Tama di bibir Aleeya menghentikan protes wanita itu. Ia tidak akan memberi celah Aleeya untuk menolak pernikahan ini. "Nggak ada tapi, cukup iya. Semuanya beres."

"Nggak bisa gitu, Tam, semua kudu ...."

"Ya dibikin gini aja biar bisa gitu. Beres kan? Hidup udah ribet, Le, nggak usah dibikin ribet lagi. Mikirin hal guna cuma buat capek aja."

Aleeya pikir tidak ada gunanya lagi berkelit jika Tama bersikeras. "Iya."

Tamat!

Ngebut ketiknya 🤣 pokok udah ketulis idenya. Jdi kapan-kapan bisa dieksekusi jadi panjang. Babay😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top