Atlas
Datang lagiii! Yang nungguin cerita di Karyakarsa, sabar yes. Aing sedikit kagak enak body. Happy reading 😘
###
Atlas:
Di mana?
Perempuan 26 tahun itu menghela napas panjang saat membaca pesan dari kekasihnya. Atlas sungguh menguji kesabarannya. Benar-benar mengujinya, bagaimana tidak jika setiap tiga puluh menit sekali bertanya di mana dirinya.
"Tatas?" tebak Dania melihat reaksi temannya itu.
Sabrina mengangguk sebelum membalas pesan Atlas.
Sabrina:
Masih di toko, Mas. Ada apa?
Atlas:
Pak Jo ke sana kirim makanan.
Astaga! Apa pria itu tidak kasihan pada supir pribadinya itu harus bolak-balik mengikuti perintahnya? Sabrina tahu itu tugas Pak Jo tapi apakah tidak ada jedanya untuk istirahat?
Sabrina:
Nggak usah, Mas. Kasihan Pak Jo. Aku bisa pesan makanan di sekitar sini.
Tidak lama telepon Sabrina berdering. Ia kembali menarik napas dalam-dalam lalu mengangkatnya.
"Ya Mas?"
"Kamu nggak inget dokter bilang apa? Nggak boleh makan sembarangan kan? Kalau kamu sakit lagi habis makan makanan nggak jelas itu, yang repot siapa? Aku kan?"
Emosi Sabrina sontak tersulut. Sudah dari kemarin pria itu membuat mood-nya habis.
"Aku kan nggak minta Mas urus!"
Sabrina langsung memutus komunikasi mereka. Ia geram karena disudutkan seolah-olah dirinya merepoti Atlas padahal itu kemauannya sendiri.
"Kenapa?" Dania memberikan botol kecil air mineral pada Sabrina.
Wanita pemilik rambu panjang itu menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Atlas membuat harinya semakin buruk. "Biasa." Sabrina meneruskan membaca usulan dari karyawan untuk mengadakan event di toko miliknya.
"Dia ini banget ya ... apa tuh e ... kalo orang bilang posesif," ujar Dania. Walaupun mereka berteman tapi hanya beberapa kali ia bertemu kekasihnya Sabrina. "Emang dari awal gitu ya?"
Kawan Dania itu mengiakan. Atlas bisa sangat menyebalkan kalau sifat dominannya keluar. Sabrina tidak akan bebas bergerak. Jangankan bergerak, bernapas saja kalau bisa harus izin pria itu. "Nggak juga sih cuma makin ke sini makin posesif. Ini itu wajib banget lapor. Bunda sama Ayah aja nggak gitu lho."
"Kamu nggak protes?" Dania membawa buah potong yang disediakan Sabrina ke sofa. Udara panas cocok sekali makan buah segar begini.
"Proteslah. Nggak usah disuruh juga aku udah protes sama dia. Tapi kayak nggak masuk aja gitu ke dia. Tetep aja Tatas kek gitu. Ngimpi apa aku punya cowok kek dia."
Dania terkekeh mendengar keluhan temannya itu. "Ngimpi kejatuhan bintang," selorohnya. "Tapi sebanding nggak sih dia kek gitu. Udah tajir, ganteng, dan nggak cuma omong doang. Cewek lain kalau lihat gimana Tatas ke kamu pasti pada iri. Dia manjain kamu bener. Jagain betul. Berasa lihat couple Wattpad yang posesif gitu. Suer."
"Hmm. Kalau di cerita sih ok ya. Kalau real yang sumpek juga, Dan. Bukan aku nggak bersyukur ya dapet cowok kek Tatas cuma ya apa ya ... ada saatnya aku juga pengin ini itu sendiri. Maksudnya kek hal yang wajarlah bukan yang aneh-aneh. Paham nggak maksud aku?" Sabrina melihat Dania mengangguk. "Nah."
###
Mobil hitam mengkilap berhenti di pintu masuk sebuah mal ternama. Tampak seorang pria dengan setelan serba hitam turun. Lengannya yang padat dan liat tak bisa ditutupi oleh lengan kemeja yang digulung hingga siku. Kacamata hitam bertengger apik, dan terselip sebatang rokok di bibirnya. Sungguh visualisasinya seperti ceo-ceo di drama Korea atau China. Jadi tidak heran saat ia lewat, banyak mata terutama wanita melihatnya.
Atlas masuk dengan anggun. Tangan di saku celana membuat gayanya lebih menarik. Ia naik lift diiringi satu pengawalnya. Mereka tidak tampak seperti bos dan pengawal sebab Niko—pengawal Atlas—tidak memakai pakaian formal. Saat di lantai tiga Niko mendahului Atlas keluar lalu berjalan sedikit di belakangnya.
Dengan postur tubuh sama tinggi, tegap, dan rupawan, mereka bak foto model di catwalk. Sampai di depan toko kosmetik Sabrina, Niko membuka pintu kaca tebal tersebut.
Karyawan Sabrina segera membungkuk ketika melihat Atlas.
"Ibu di mana?" tanya Atlas. Meskipun sedikit marah pada kekasihnya itu, ia tidak melupakan sopan santunnya untuk tidak langsung menerobos masuk ruangan Sabrina.
Salah satu orang kepercayaan Sabrina pun maju. Ia bahkan tidak berani melihat kekasih Sabrina itu sebab ekspresi cukup membuat nyalinya ciut. "Di ruangannya, Pak. Mari saya antar."
Pria 35 tahun itu mengikuti karyawan tersebut. Ia masuk tapi ruangan ini sunyi seperti tidak berpenghuni. Atlas mengedarkan pandangan, menemukan sosok mungil yang ia cari di sofa, tidur bergelung seperti bayi. Ia pun mendekat, duduk di meja sisi sofa. Mengamati lamat-lamat wajah ayu tersebut.
Kemarahan yang berkobar menghilang melihat wajah damai Sabrina. "Bagaimana bisa wanita sepertimu membuatku gila," gumamnya. "Saking gilanya pengin aku kurung."
Ia mengusap lembut pipi Sabrina lalu pindah ke bibir berwarna itu. Begitu menggoda dan ingin sekali ia kecup terus-menerus, serta mencecapnya hingga puas. Atlas merasa seperti maniak yang haus akan Sabrina.
Usai kepergian kekasihnya dulu, Atlas menutup diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta. Namun, semuanya buyar saat ia melihat Sabrina di acara pernikahan sepupunya. Wanita ini menarik perhatian karena hal sepele. Iya sepele, Atlas melihatnya memberi makan kucing liar saat Sabrina akan pulang.
Atlas mengalihkan perhatian, mencari sesuatu untuk menyelimuti Sabrina. Ia beranjak mengambil lipatan kain yang entah untuk apa, membentangkan di atas tubuh Sabrina. Sembari menunggu wanita itu bangun, Atlas duduk sofa single dekat kaki kekasihnya itu, menatapnya tanpa berkedip.
Ruangan itu sunyi, bahkan suara jarum jam saja tidak mampu memecah kesunyian tersebut, termasuk Atlas. Pria itu tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Tidak terusik oleh notifikasi pesan yang masuk. Ia begitu lekat memperhatikan Sabrina yang lelap.
Sabrina terbangun secara tiba-tiba. Namun, ia cukup puas bisa tidur lama. Ia menggeliat dan tersenyum lalu menjerit kecil saat mendapati Atlas duduk di sofa. Ya Tuhan! Jantungnya serasa copot melihatnya mematung memperhatikan diri Sabrina. Sorot matanya tajam seolah ingin mengulitinya. Ia pun beringsut duduk, menunduk tak berani menatap pria itu. Sabrina kemudian menangkup rambutnya untuk digulung jadi satu ke atas.
Keadaan semakin sunyi kala keduanya tak saling membuka suara. Nyali Sabrina ciut ketika berhadapan langsung dengan Atlas padahal pria itu tidak berkata apa pun. Semangat melawannya hilang tak berbekas. Beda sekali saat di telepon tadi.
"Pulang."
Sabrina mengangguk tidak berani membantah meskipun enggan. Ia kemudian berdiri untuk mengambil tas di meja kerja hingga kain yang menutupinya teronggok di lantai.
Pria itu menarik tubuhnya dari sofa, mendekati Sabrina, memutar tubuh wanita itu hingga masuk pelukannya "Sudah makan?" tanya Atlas. Wanita itu menggeleng. "Kenapa?" Ia mendorong ke atas dagu Sabrina hingga mereka saling tatap.
"Ketiduran tadi," cicitnya. Atlas pasti marah mendengar ucapannya. Ia pun melingkar tangan di pinggang kekasihnya itu, menempelkan kepala di dada Atlas. Biasanya dengan seperti ini, pria tersebut tidak memarahinya.
Inilah yang Atlas tidak suka, Sabrina meskipun sudah dewasa tapi cerobohnya hampir tidak tertolong. Ada saja hal penting yang dilupakan olehnya termasuk makan. Beberapa waktu lalu Sabrina masuk rumah sakit pun gara-gara sering telat makan dan membuat maag-nya kambuh.
"Maaf, Mas." Sabrina sadar ini salahnya dengan menolak makanan dari Atlas tadi dan sekarang perutnya tidak nyaman.
Pria itu pun menarik napas, memecah kemarahan di dada saat melihat Sabrina lesu. "Ayo." Atlas menggiring keluar ruangan sambil membawa tas wanita itu.
###
"Aku nggak izinin." Atlas menolak mentah-mentah keinginan Sabrina ikut menginap di vila bersama teman-temannya, bukan tidak boleh tapi ia tidak bisa ikut untuk mengawasi. Hari menginap Sabrina bentrok dengan jadwalnya ke Kalimantan.
"Cewek semua, Mas. Dania, Aurel, Keke sama yang lain juga. Cowoknya cuma kakaknya Aurel itu juga buat jagain kita," rengek Sabrina. Wanita itu menggoyangkan lengan Atlas persis seperti bocah merayu bapaknya. "Boleh ya? Please," mohonnya.
Atlas tidak menjawab dan memilih menatap lekat Sabrina. Relakah ia membiarkan wanita ini di luar jangkauannya? Tentu saja tidak. "Ok. Tapi Niko ikut."
Mendengar itu Sabrina langsung mencebik seperti bebek. "Buat apa? Kan udah ada kakaknya Aurel yang jagain kita." Ia menarik tangannya dari lengan Atlas lalu menghempaskan tubuhnya di samping pria itu.
"Kalau Pak Niko ikut aku kayak anak kecil dikintili bapaknya." Sabrina mendesah keras saat Atlas bergeming. "Mas, aku udah gede lho. Nggak perlulah kayak gini. Tingkah Mas kayak gini bikin aku muak, engap. Sesek nggak bisa ini itu. Tahu kalau Mas kayak ini, aku nggak bakalan mau jadian sama Mas." Sabrina mengatakannya dengan berapi-api dan benar-benar muak. Ia jenuh harus tunduk pada apa pun yang Atlas perintahkan.
Pria itu menatap Sabrina tajam yang dibalas tak kalah garangnya oleh wanita itu. Sorot permusuhan begitu ketara di mata Sabrina. Untuk kali ini mungkin akan Atlas biarkan Sabrina semaunya dan akan ia lihat sampai sebatas mana wanita itu bisa lepas darinya. Ia pun mengangguk lalu menarik diri dari samping kekasihnya. Bibirnya bungkam saat berlalu dari sisi Sabrina.
###
"Muka kusut banget, Neng. Kenapa, sih?" Aurel meletakkan kue bolen pisang yang ia beli di pak-pak keliling di POM.
"Lagi gegana dia gara-gara Tatas nggak hubungi dia samsek," celetuk Dania. Wanita itu mengambil satu potong bolen pisang keju dari Aurel.
Aurel menatap Dania lalu Sabrina. Raut muram kawannya itu seolah mendukung ucapan Dania. "Bener gitu?" tanya Aurel. Sabrina mengangguk lesu. "Kalian berantem?"
"Nggak," sahut Sabrina lirih. "Jadi aku nggak tahu apa yang bikin dia menghilang gini."
Sejak pembicaraan mereka terakhir kali sebelum ke Vila bersama teman-temannya—kurang lebih tiga minggu lalu—Atlas tidak menghubunginya sama sekali. Bahkan Pak Niko yang harusnya mendampingi Sabrina ke vila pun tak tampak. Apa beliau ikut Atlas ke Kalimantan?
Aurel menutup jarak antara dirinya dan Sabrina lalu bertanya pada kawannya itu. "Coba kamu inget-inget, Brin, apa yang bikin paduka Raja Atlas marah." Ia sudah duduk di depan Sabrina siap mendengarkan ceritanya. "Nggak mungkinkan Tatas tiba-tiba ngilang gitu aja kalau nggak ada apa-apa, coz setahu aku dia termasuk kategori 'possessiv man'. Yang apa-apa harus izin dia. Harus tahu semua tanpa satu pun terlewat."
Wanita dengan rambut sepunggung itu menghela napas besar, mencoba mengingat apa yang membuat Atlas menghilang. "Apa gara-gara omonganku waktu itu ya?" gumamnya.
"Ngomong gimana?" sahut Dania cepat. Ia pun merapat pada Sabrina hingga sofa panjang itu berisi tiga wanita dengan usia hampir sama.
"Jadi pas aku protes soal Pak Niko ikut ke vila, aku ngomong '"Kalau Pak Niko ikut aku kayak anak kecil dikintili bapaknya. Aku udah gede lho. Nggak perlulah kayak gini. Tingkah Mas kayak gini bikin aku muak, engap. Sesek nggak bisa ini itu. Tahu kalau Mas kayak ini, aku nggak bakalan mau jadian sama Mas.' gitu." Sabrina menoleh kanan kiri usai menceritakannya. "Masa gara-gara itu ya?" Pasti itu tapi ia perlu mencari pembelaan untuknya.
"Bisa jadi," ujar Aurel.
Sabrina meringis mendengar jawaban Aurel. "Keterlaluan ya?" tanyanya.
"Wajar aja sih. Nggak salah kok bilang kalau itu yang kamu rasakan. Dan mungkin Atlas juga punya maksud lain kenapa dia kek gitu. Pernah tanya kenapa dia seperti itu?" tanya Aurel. Sabrina menggeleng. "Harusnya tanya kenapa Tatas kek gitu."
Kenapa Sabrina tidak kepikiran itu? Mungkin nanti kalau mereka bertemu, ia akan tanyakan hal itu.
"Ya udah sih nggak usah di pikirin terus. Bagus dong dia tahu unek-unekmu jadi Tatas juga bisa instrospeksi diri," tukas Dania. "Ambil positifnya, kamu jadi lebih bebas mau apa juga. Nggak ada lagi yang recokin kamu tiap jam."
Itu benar tapi ada yang hilang dalam keseharian Sabrina. Ternyata benar pepatah bilang, akan terasa berharga saat hilang.
###
Sudah sejak lima belas menit lalu Sabrina berdiri di depan pintu rumah Atlas. Pintu kayu itu menjulang tinggi membuatnya seperti berhadapan dengan raksasa. Ya Tuhan. Bantu dirinya agar bisa bertemu dengan Atlas.
Pria itu benar-benar membebaskan Sabrina seperti kemauannya. Tidak ada pesan WhatsApp, tidak ada kiriman makanan, bahkan tidak ada telepon dari Atlas. Hal itu membuatnya seperti cacing kepanasan. Dan Sabrina rindu pada pria itu. Saking kangennya, ia nekat datang kemari dalam keadaan demam.
Dengan tekad yang bulat, ia menekan bel rumah. Jantungnya berdetak tak karuan saat menunggu pintu dibuka. Tidak lama, pintu besar dan berat itu terbuka. Seorang pelayan mempersilakan masuk —mengenal Sabrina. "Silakan, Non. Kalau cari Ibu, beliau ada di belakang. Kalau Mas Atlas, tadi sepertinya keluar sama Pak Niko."
Tubuhnya Sabrina mendadak lemas mendengar hal itu. Kenapa sulit sekali bertemu Atlas? Pesannya tidak dibalas, waktu ia kunjungi ke kantornya, sekretarisnya bilang tidak di tempat. Jadi apa yang harus ia lakukan agar bertemu pria itu?
"Kira-kira Mas Atlas lama tidak?" Ia harap tidak tapi rasanya itu mustahil.
"Wah kalau itu saya ndak tahu, Non."
Tentu saja! Tidak mungkin Atlas pamit pada pelayan. Pertanyaan yang bodoh! "Boleh antar saya ketemu Ibu?" Sudah di sini, lebih baik ia bertemu dengan ibu dari Atlas.
Pelayanan itu mengangguk lalu berjalan lebih dulu ke bagian belakang rumah. Sabrina melihat Liliana tengah duduk bersantai kursi anyaman dalam gazebo. Gazebo kaca itu pas di tengah-tengah kolam. Papan kayu sebagai jalan membuatnya semakin terlihat estetik.
Liliana langsung berdiri ketika melihat Sabrina berjalan ke arahnya. Ia menyambutnya dengan suka cita, membawa kekasih putranya itu dalam pelukannya. "Ibu kangen sama kamu, Bri." Liliana mengurai pelukannya. Memperhatikan Sabrina dengan teliti. "Kamu sehat, kan?" tanyanya khawatir sebab saat memeluk Sabrina terasa hangat.
"Sehat, Tante." Sabrina menampilkan senyum manisnya. Ia tidak ingin membuat wanita baik hati itu tahu kondisinya. "Tante sehat, kan?" Sabrina duduk di kursi anyaman samping kursi Liliana.
"Harus sehat biar bisa ngomelin Tatas tiap hari," kelakar Liliana. "Kamu kok lama nggak ke sini? Sibuk ya?" Tapi melihat gelagat Sabrina, seperti ada sesuatu yang terjadi antara putranya dan gadis muda di depannya ini. "Oh ya, ke sini mau ketemu Tatas kan? Tapi anaknya lagi keluar sama Niko. Ibu nggak tahu ke mana."
Apakah sejelas itu maksudnya datang kemari sampai Liliana bisa menebaknya dengan benar. "I ... iya, Tante. Ada sedikit ...." Perlukah mengatakan kebenarannya pada wanita di depannya ini? "Emm ... itu ...."
Mungkin benar tebakan Liliana, bahwa ada sesuatu di antara keduanya melihat Sabrina ragu-ragu menyahutinya. "Tunggu ya. Ibu ke dalam sebentar. Kamu tunggu di sini biar sama bibik dibawakan kue."
Sabrina mengangguk, mempersilakan Liliana masuk. Usai kepergian ibu Atlas tersebut, ia menarik napas berat, mendesah lelah, dan menyugar rambut panjangnya frustrasi. Pria itu benar-benar menarik diri, menghilang tanpa jejak, dan membuat lubang besar di dadanya. Sabrina merasa hampa tanpa Atlas.
Meskipun arogan, Atlas merupakan kekasih yang benar-benar memanjakannya, mencintainya penuh, dan tidak ada ambisi di dalamnya. Harusnya ia syukuri hal tersebut. Banyak wanita memimpikan hal yang ia dapatkan tapi dengan bodohnya Sabrina membuatnya berantakan.
"Kata Ibu kamu nyari aku. Ada apa?"
Sabrina terkesiap. Lamunannya pecah oleh suara Atlas. Pria itu berdiri di sisi kursi anyaman. Tangannya ia lipat di dada tapi riak wajahnya tak bersahabat. Sabrina cepat-cepat berdiri. Entah berapa lama pria itu berdiri di sana memperhatikan dirinya melamun. "Mas ... itu ...."
"Duduk." Atlas bergerak luwes menempatkan dirinya di kursi. Mengamati sekilas wajah Sabrina yang tampak pucat. "Ada apa?"
Wanita berkulit kuning langsat itu menunduk, menggigit bibir bawahnya guna meredam kerinduan yang membuncah. Walaupun tidak ada senyuman dari Atlas tapi ia cukup senang mendapati pria tersebut di sini. "Aku ... Mas ke mana? Aku ...." Sabrina mengutuki dirinya tidak becus mengatakan rindu pada Atlas.
"Kerja dan ya ... menjauh darimu seperti permintaanmu."
Sabrina langsung menatap Atlas. Sorot matanya begitu sendu. "Aku ... bukan begitu maksudku, Mas, aku ...."
"Bagiku, kata-katamu waktu itu permintaan untuk menjauhimu. Pergi dari hidupmu jadi ya ... aku keluar dari hidupmu."
Perempuan yang sore ini memakai blus warna terakota itu menggeleng kuat. "Bukan itu maksudnya, Mas, aku cuma minta sedikit kebebasan. Sedikit kepercayaan dari Mas."
"Kebebasan berarti lepas dariku, Bri."
"Tapi itu pemikiran terlalu dangkal!"
Atlas mengangkat bahu. Terserah apa kata Sabrina, yang jelas pendirian tetap. "Terserah. Bebas artinya lepas dariku. Jika ingin bersama, kebebasanmu milikku."
"Tapi itu nggak adil!"
"Terserah." Atlas menarik diri dari kursi, memberi waktu Sabrina berpikir. Namun, tidak sampai lima langkah, tubuhnya dipeluk dari belakang. Atlas sedikit tersentak saat punggungnya merasakan panas.
"Aku ... aku mau sama Mas. Aku nggak mau pisah."
Ini yang Atlas inginkan. "Kamu yakin? Kamu nggak akan bebas seperti kemarin-kemarin."
Sabrina mengangguk. "Iya."
"Kamu akan selalu di bawah pengawasanku."
"Hmm. Tapi jangan pergi lagi." Sabrina sudah tidak peduli risiko di belakang nanti yang penting Atlas bersamanya.
"Pikirkan sekali lagi. Begitu kamu memilih bersamaku, itu artinya hidupmu jadi milikku." Untuk kali ini Atlas tidak akan mendesak serta memaksa Sabrina untuk tetap di sisinya. Jadi ia berikan pilihan tersebut walaupun sulit baginya harus melepas Sabrina jika pilihannya berubah.
"Hmm. Aku mau sama Mas."
Atlas tersenyum. "Kesempatan terakhir, Bri. Pikirku baik-baik karena nggak ada jalan mundur."
Wanita itu mengurai pelukannya, memutar hingga di hadapan Atlas. Sabrina menatap dengan keyakinan penuh. "Aku mau sama, Mas."
"Yakin?" Atlas menahan tangan untuk segera memeluk Sabrina. Wanita itu mengangguk penuh keyakinan. "Nggak ada jalan keluar, Bri." Atlas memeluk Sabrina penuh kerinduan. Namun, suhu tubuh wanita itu mengganggunya. "Badanmu panas. Kamu sakit?"
Kekasih Atlas itu mengangguk. "Dari kemarin-kemarin."
Seketika decakan sebal terlontar dari Atlas. "Sudah tahu sakit ngapain ke sini." Ia melepas jas yang ia pakai untuk ditimpakan ke badan Sabrina lalu membawanya masuk. "Bawa obat?"
"Nggak."
"Ceroboh!" Atlas memanggil Niko yang memang berjaga di ruang tengah. "Panggil Dokter Fatma dan langsung ke kamarku."
"Baik, Pak." Niko segera berlalu untuk memanggil dokter keluarga tersebut.
"Sakit itu di rumah nggak keluyuran gini." Atlas membantu Sabrina berbaring di kasurnya serta menyelimutinya.
"Kalau di rumah, aku nggak bakal ketemu Mas. Aku kangen."
Atlas terdiam lalu mencium bibir Sabrina lembut sebelum mengurainya. "Tidur. Aku di sini."
TIMIT!
Redflag ya Bun si Tatas😤 minta disentil kok palanya 😏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top