Arti Dirimu #2


Mentari memperhatikan Gazza yang menurutnya tampak lebih kurus dari terakhir yang ia ingat. Tubuhnya terlihat seperti tiang listrik padahal sebelum begitu proposional, dada yang tegap dengan otot yang tidak berlebihan, pipi berisi tapi tidak tembam, otot lengannya liat sampai tidak bisa dicubit. Mentari pun bertanya-tanya dalam hati, berapa banyak bobot yang berkurang dari Gazza hingga terlihat kusam, tirus, dan lebih tua dari umurnya?

"Diminum, Mas." Mentari menaruh es sirup di meja depan Gazza. Cuaca begitu terik, membuat udara kering maka minuman dingin sangat cocok untuk disuguhkan.

Gazza diam, menatap lekat dan saksama istrinya. Menyusuri wajahnya yang tampak berseri—mungkin Mentari bahagia dengan kehamilannya dan temannya. Perut yang membuncit, membuat Gazza ingin memegang dan mengelusnya. Badan yang lebih berisi, Mentari terlihat berbeda. Dan Gazza merindukan wanita itu. "Sudah berapa bulan?" Perhatian tertuju pada perut istrinya yang menonjol di sebagian sisinya.

"25 Minggu, Mas." Mentari menunduk, mengusap bagian perutnya yang menonjol. Anaknya bergerak seolah tahu keberadaan orang penting yang tiap malam Mentari ingat.

Seolah tidak ada lagi pokok bahasan, keduanya sama-sama diam. Gazza bingung bagaimana mulainya untuk meminta Mentari kembali bersamanya, sedangkan Mentari ingin bertanya bagaimana kabarnya tapi jelas itu hanya basa-basi busuk.

"Dia nggak rewel?"

"Alhamdulillah nggak. Dia tahu kalau ibunya harus kerja untuk tabungan dia."

Ucapan Mentari menohok Gazza. Harusnya wanita itu cukup istirahat selama hamil bukan bekerja. Mungkin Mentari akan mengatakan baik-baik saja tapi kakinya terlihat bengkak Mencari uang sudah tugas sebagai suaminya tapi Gazza adalah suami yang buruk, dan ia sangat menyesal. "Aku minta maaf."

Tentu saja Mentari kaget mendengar permintaan maaf suaminya. Kenapa tiba-tiba? Apakah Gazza minta maaf sebelum menceraikan dirinya? Meskipun sudah Mentari rencanakan akan mengirimkan surat cerai tetap saja hatinya belum siap, apalagi kalau berhadapan langsung dengan Gazza.

Pria itu terlihat kesusahan saat menarik napas, seolah jeratan di lehernya begitu kencang dan menyumbat saluran pernapasannya. "Selama ini aku bukan suami yang baik. Aku pikir kamu wanita kuat yang nggak bakal peduli dengan omongan orang-orang tapi ... maaf aku nggak memberimu dukungan dan membiarkanmu melawan sendiri." Kepalanya tertunduk seperti anak kecil yang melakukan kesalahan berat. "Aku menyesal. Tolong maafkan aku, Tari."

Mentari tidak salah dengarkan? Gazza menyesal?

"Salahku terlalu banyak tapi tolong kasih kesempatan aku buat memperbaikinya. Aku mohon. Aku nggak mau kita pisah."

Ya Gazza tidak ingin kehilangan Mentari. Logikanya sudah lelah menampik fakta bahwa ia mencintai Mentari. Kesederhanaannya, kepatuhannya, tingkah lakunya, dan kesabaran wanita itu lah yang membuat hatinya terpaut. Suara tawanya dan alunan ayat suci Qur'an di kala subuh membuatnya rindu. Dan Gazza tidak yakin bisa menemukan hal tersebut di wanita lain—jika mereka berpisah.

Gazza berdiri, menghampiri Mentari di kursi seberang, menekuk lututnya di lantai seperti seorang abdi dalem menghadap tuannya. Ia merangkum tangan kecil Mentari. "Tolong beri aku kesempatan. Pulang bersamaku. Rasanya hampa waktu pulang nggak lihat dirimu. Saat kamu pergi, aku baru sadar sebesar apa arti dirimu untukku. Maafkan aku, Ta."

###

Sebenarnya Mentari malu atau segan kembali ke desanya, di mana tersebar berita bahwa ia diceraikan Gazza. Namun, apa boleh buat kondisi kehamilannya memaksa Mentari pulang dengan Gazza.

Awalnya Mentari tidak langsung menjawab permintaan pria itu. Ia butuh waktu untuk berpikir. Gazza tidak mendesak, sadar bahwa perbuatannya tidak mudah dimaafkan. Tapi baru beberapa hari, saat jadwal kontrol, dokter menduga adanya gejala pre-eklampsia. Walaupun masih ringan tapi dokter minta agar Mentari berhati-hati.

Gazza yang mendengar hal itu pun bertanya tentang risiko dan penanganannya. Setelah mengetahui bahayanya, suaminya tersebut memaksa Mentari ikut pulang bersamanya. Tentu saja ia menolak tapi dokter mendukung keputusan Gazza sebab Mentari memang harus diawasi dan akhirnya mematahkan argumentasinya.

"Sementara kita tinggal di sini dulu." Gazza membuka pintu rumah yang ia sewa. Rumah ini terletak hampir di ujung kampung, jauh dari rumahnya. "Nanti biar Ibuk sama Awan yang temenin kalau aku kerja." Ia menunjukkan kamar tidur utama.

Rumah ini tidak terlalu besar tapi cukup untuk mereka. Dengan dua kamar tidur, dapur dan ruang makan jadi satu, satu kamar mandi, dan ruang tamu. "Kenapa di sini, Mas? Apa ndak apa-apa sama Ibu?" Atau sebenarnya Gazza malu membawanya kembali ke kampung ini?

"Nggak usah mikirin Ibu. Nanti aku yang urus. Kamu butuh istirahat, mood yang bagus, karena itu aku sengaja menyewa rumah ini bukan karena malu tapi aku mau biar kamu nggak perlu denger omongan orang-orang." Pria itu seolah tahu pikiran Mentari, makanya ia pun segera menjelaskan maksudnya. "Memang nggak bakal bisa nutup mulut orang-orang tapi kamu nggak perlu takut, kali ini aku yang maju. Mereka akan berhadapan denganku jika mereka berani mengusikmu. Sekarang istirahatlah. Nanti kalau Pak Yono datang bawa makanan, aku bangunkan." Gazza berlalu dari hadapan Mentari. Ia perlu mengabari bapaknya kalau ia sudah di sini.

Sementara ini hanya bapaknya yang tahu kalau Gazza menyewa rumah ini. Mungkin nanti ibunya pun tahu tapi ia sudah siap membela Mentari.

Mentari begitu terperangah sampai tak mampu berkata. Itu tadi benar Gazza? Pria irit bicara yang ia kenal? Ia kaget dengan perubahan suaminya. Apa kepergiannya membawa dampak besar buat pria itu?

###

"Nduk, maaf yo. Ibu sudah kasih tahu alamatmu sama Gazza." Aseh merasa bersalah sudah melanggar perintah putrinya.

"Mboten nopo-nopo, Bu." Mentari anggap sudah waktunya mereka bertemu sesuai dengan alur yang Tuhan tuliskan.

"Sebener e Ibuk ndak mau kasih tahu Gazza tapi Pak Roni sendiri yang datang nemuin Ibuk. Gazza ikut tapi wajah e sudah bonyok semua. Kayaknya habis dihajar mertuamu."

Memang selalu Pak Roni yang membelanya kalau Bu Leni mulai menyenggolnya.

"Arek e ya sempat sakit semingguan. Makane Ibuk kasihan, soal e Pak Roni bilang di depan Ibuk, kalau sampai nggak bisa bawa kamu pulang, suamimu bakal dihajar lebih parah."

Mentari tersenyum. "Ndak apa-apa." Ibunya perlu dibuat yakin bahwa ia tidak masalah dengan hal itu. "Bapak tahu Tari di sini?"

"Tahu tapi nggak mau ke sini. Kalau diajak ke sini cari alasan terus. Ibuk ndak tahu kenapa," jawab Aseh. Ia berdiri membawa kulit buah untuk ia buang.

Sudah Mentari duga, bapaknya tidak pernah mau tahu tentang keluarganya, yang di pikirkan dirinya sendiri. Ada kalanya Mentari ingin minta ibunya berpisah dari Bapak tapi tak berani ia utarakan. Mentari takut ibunya sedih.

Usai makan siang, vitamin, dan salat Duhur, Mentari pamit istirahat. Matanya sudah berat ingin segera tidur. Tidak lama Gazza pulang. Pria itu langsung ke kamar mandi untuk bersih-bersih baru ke kamar. Hari ini cukup melelahkan, di mana ia harus ikut mengangkat pupuk ke gudang. Menggantikan Bapak meninjau tanah yang akan mereka sewa, belum lagi mengecek kondisi sapi mereka yang akan melahirkan. Benar-benar padat.

Saat di kamar ia mendekati Mentari. Mengamati parasnya yang sudah tidak terlalu pucat dan Gazza bersyukur karenanya, itu artinya ia berhasil menjaga kesehatan Mentari walaupun begitu masih terselip was-was di hatinya menjelang persalinan. Ia tidak ingin ditempatkan di mana Gazza harus memilih antara istri dan anaknya, sebab keduanya merupakan hal paling berharga dalam hidupnya.

###

Mentari kaget mendapati Bu Leni di depan pintu rumahnya. Ia mempersilakan mantan juragannya itu masuk. Ia menunduk tidak berani menatap beliau. Jantungnya berdegup kencang, mengira-ngira apa yang membawa beliau kemari. Bukan tidak suka tapi Mentari tahu kalau Bu Leni tidak menyukai dirinya.

"Kenapa berdiri saja di situ? Duduk, Tari." Bu Leni sudah mendengar rumor bahwa mantunya kembali dengan perut besar. Banyak yang menduga itu bukan anak Gazza karena mereka lama berpisah tapi saat ia konfirmasi pada Gazza, putra bilang itu anaknya.

Gazza bilang ia menemukan test pack tiga bulan setelah kepergian Mentari, sedangkan usia kandungan wanita itu  tujuh bulan. Artinya sebelum pergi, Mentari sudah hamil. "Kamu sehat?" Bu Leni berusaha membuka obrolan agar tidak kaku.

"Alhamdulillah sehat, Bu," jawab Mentari. "Saya buatkan minum dulu."

"Nggak usah."

Wanita hamil itu pun kembali duduk. "Ibu cari Mas Gazza? Beliau ...."

"Apa kalau ke sini harus nyari Gazza?"

Mentari menggeleng dalam tunduknya. "Ngapunten, Bu." Ia pikir tidak ada alasan yang membuat mertuanya ke sini selain Gazza. Oleh karena itu ia ingin mengatakan kalau Gazza tidak di rumah.

Wanita enam puluh tahun itu menghela napas melihat reaksi Mentari. Wajar saja mantan pembantunya itu segan sebab ia berlaku tidak baik padanya. "Lusa Ibuk ada undangan di kota. Bapak nggak bisa temani, jadi kamu saja."

"Sa ... saya, Bu?" Mentari bertanya tak percaya. Kenapa mertuanya ini tiba-tiba baik padanya? "Saya, Bu?" Ia mengulangi bertanya. Sungguh ia kaget.

"Iya! Kenapa? Nggak bisa? Kalau nggak bisa ya ...."

"Insyaallah saget, Bu." Mentari tidak ingin membuat mertuanya marah meskipun masih terselip ragu.

Bu Leni mengamati rumah yang di sewa anaknya untuk Mentari, kecil kalau dibandingkan sama rumahnya. "Kamu nggak pernah keluar?"

"Mboten, Bu." Tapi bukan berarti Mentari tidak tahu gosip apa yang beredar tentangnya. Tentang siapa ayah dari anaknya. "Sama Mas Gazza Ndak dibolehin keluar. Istirahat saja." Mungkin suaminya itu tidak mau ia mendengar gosip-gosip tidak jelas tersebut, makanya melarangnya keluar, padahal tanpa keluar rumah pun ia tahu.

"Nanti bilang sama Gazza, suruh bawa kamu jalan-jalan, jangan dibiarin di rumah terus." Usai berkata demikian, Bu Leni pulang dijemput Lisa anak Bu Titin.

Malam itu setelah makan malam, Gazza membawa Mentari dalam pelukannya. Menempatkan setengah badan istrinya di atas badannya—rebahan di kasur. "Kata Ibuk tadi ibuku ke sini?"

Biarpun belum terbiasa dengan perlakuan Gazza, Mentari tak menolak dipeluknya. "Iya. Itu ...."

"Apa?"

"Emm itu ... Ibuk minta temenin ke undangan di kota. Saya ...."

"Oh yang itu. Besok kita cari baju. Aku lihat bajumu sudah nggak cukup semua."

Memang, lagipula ia juga tidak punya baju yang cocok untuk ke acara resmi. Selama ini ia sering menghindari undangan-undangan nikah atau khitan karena tidak ada baju yang pantas. "Tapi ... kalau boleh cari di toko biasa saja, Mas. Soalnya uang saya ndak banyak."

Gazza menjauhkan Mentari dari tubuhnya hingga mereka berdua duduk berhadapan. "Kamu menghina aku?" Ia tersinggung dengan ucapan Mentari. Tapi memang salahnya sendiri, selama bersama ia terlalu acuh tak acuh akan keperluan Mentari, jadi mungkin sudah terpatri seperti itu.

"Mboten, Mas, mboten. Saya ... itu kan biasa pake uang sendiri jadi ... ngapunten, Mas, kalau saya bikin marah."

Gazza merangsek maju, mendekap Mentari begitu erat. Semua memang salahnya sendiri, selama bersama ia terlalu acuh tak acuh akan keperluan Mentari, jadi wanita itu terbiasa semua sendiri. "Maaf," ujarnya penuh penyesalan. "Maaf karena aku bukan suami yang baik. Tolong mulai sekarang semua bebanmu biar aku yang tanggung, kamu cukup ceritakan semuanya padaku."

Mentari mengangguk. Air mata yang sudah menggunung jatuh berhamburan seperti kaca mobil yang pecah. "Iya, Mas."

Tamat!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top