Anggie#3
Datang lagi lunasin utang cerita ini wkwkwk. Langsung baca aja ya.
❤️❤️❤️
"Mbak Anggie nggak apa-apa?" Rena meletakkan secangkir cokelat hangat di meja teman kerjanya itu. "Keliatan capek banget gitu." Ia menarik kursinya ke sisi Anggie yang merebahkan kepalanya di meja.
"Nggak apa-apa. Biasa emosi jiwa ngadepin Yuda."
Rena terkikik. Seru ternyata melihat dua orang ini. "Ya kenapa nggak terima aja sih, Mbak, beres urusannya." Ia menyeruput kopi susunya. "Pak Yuda itu incaran ciwi-ciwi sini lho. Eh nggak ding ciwi-ciwi sebelah juga. Terkenal lho beliau sampai ruko ujung sana."
Ia menatap Rena kaget. Benarkah seterkenal itu Yuda?
"Nggak percoyo iki mesti. Suer Mbak dia itu incaran lho. Makanya udah sih terima aja."
Andai semudah itu menerima Yuda kembali dalam hidupnya mungkin dari awal mereka bersama tapi ... "Ya nggak apa-apa kalo ada yang berhasil dapetin dia."
"Ck. Ntar nangis lagi kalo Pak Yuda punya cewek lain."
Anggie mengangkat bahunya. Masa itu sudah lewat jadi untuk kali ini hal tersebut tak akan terjadi. Rasanya terlalu sayang menitik air mata untuk pria yang tak pernah menganggap dirinya berharga.
"Nggak bakal." Ia merasa rileks usai minum cokelat hangat buatan Rena. "Makasih ya cokelatnya. Sekarang balik sono, aku mau kerja lagi. Hus. Hus." Ia tersenyum lebar melihat Rena bersungut-sungut seraya menggeser kursinya ke mejanya sendiri.
Usai menghabiskan minumannya, Anggie mencoba konsentrasi merekap laporan barang-barang dari cabang spa dan salon milik perusahaannya. Di tengah fokusnya satu pesan masuk ke ponselnya.
0812xxxx
Bee.
Aku punya sesuatu buatmu.
Sesuatu? Kerutan di dahi Anggie pun tampak. Ia menunggu pesanan dari Yuda dengan perasaan gelisah. Apa yang dipunyai pria itu soalnya? Tubuh Anggie rasanya tak bertulang kala pesan Yuda masuk. Pria itu mengirim dua potretnya dalam keadaan memalukan.
Foto pertama memperlihatkan dirinya tidur mirin dengan rambut acak-acakan dan punggungnya terbuka hingga pinggang paling bawah dekat pantat. Foto kedua, ia terlelap dalam dekapan Yuda dengan selimut yang tak mampu menutupi tubuhnya. Astaga. Kapan dia memotret dirinya?
0812xxx
Foto ini klo dikirim ke no ayahmu, kira-kira gmn ya Bee.
Me:
Apa maumu sbnrnya? Knp menyusahkanku? Bukankah kmu sendiri yg menyuruhku pergi? Lalu knp skrng mempersulitku? Aku bukan sampah yg bisa kmu ambil dan buang semaumu, Yud. Aku manusia yg punya harga diri!
0812xxxx
Apa mksdmu, Bee?
Apa maksudnya? Apa Yuda lupa jika dia yang meminta pergi karena sudah bosan padanya? Dan sekarang dia bertindak seperti korban. Sungguh keterlaluan. Anggie pun memilih mengabaikan pesan Yuda yang kemudian dikejutkan oleh suara pintu yang dibuka keras oleh pria itu.
Karyawan dalam ruangan tersebut menahan napas, saling tatap, dan seolah bertanya ada apa dengan atasannya itu?
Anggie merentak berdiri ketika Yuda semakin dekat dengan mejanya. Ia mundur sampai terhimpit meja dan pria itu. "Ma ... mau apa?" Sialan lidahnya kelu jadinya terbata-bata.
Tubuh Anggie tersentak saat Yuda menarik lengannya kuat. Genggaman pria itu erat dan mungkin akan membekas nantinya. "Yuda lepas." Ia meronta, berusaha mengurangi cekalan Yuda tapi gagal saking kuatnya. "Yuda tanganku sakit. Astaga." Ia hampir terjerembab mengikuti langkah lebar serta cepat Yuda.
Pria itu berhenti mendadak membuat tubuhnya berbenturan dengan Anggie. Ia berdecak keras dan langsung memanggul wanita itu. Anggie memberontak tapi tak mengendurkan cengkeramannya. Tiba di depan mobilnya, ia langsung membuka pintu penumpang dan menghempaskan Anggie sedikit keras. Yuda segera memutar dan mengunci pintu mobil begitu ia duduk di depan kemudi.
Anggie mengadu merasakan kepalanya sakit karena terbentur transmisi. "Gila," sembur Anggie keras. Saat itulah ia menyadari jika mobil yang ia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi meskipun jalanan sedikit lengang. "Jangan ngebut!" Namun, sepertinya pria itu tak menghiraukan ucapan Anggie. "Yuda. Yuda. Jangan ngebut. Aku takut." Ia sampai-sampai menggenggam kuat hand grip untuk menahannya tetap di tempat. "Mas, please aku takut. Jangan ngebut, Mas."
Ia benar-benar takut hingga suaranya bergetar. Jantungnya pun berdetak cepat dan kuat seakan meledak. Serta keringat dingin mengucur serta pucat menghiasi wajahnya. "Bang."
###
Yuda mendorong Anggie masuk ke rumahnya di daerah bunga-bungaan—perumahan. Rumah minimalis itu persis berada di pojokan dengan pagar kayu setinggi satu setengah sampai dua meter. "Duduk," perintah Yuda menggunakan dagu menunjuk sofa abu-abu. Ia berjalan ke kamarnya, mengganti kemeja dengan singlet hitam yang membuat otot-otot lengannya terlihat. "Minum." Ia menyodorkan segelas air putih hangat pada Anggie yang ia ambil usai ganti baju.
Ragu-ragu Anggie menerima minuman tersebut. Ia menatap air bening itu lalu beralih memandang Yuda.
"Nggak ada racunnya," sahut Yuda seolah mengerti prasangka Anggie.
"Iya tapi obat tidur," gerutu Anggie membuat Yuda tertawa.
Yuda akui ia pernah memberi obat tidur pada Anggie untuk membuatnya terlambat bertemu dengan pria lain. "Aku udah peringatkan tapi kamu melanggarnya. Jadi jangan salahkan aku," ujarnya seraya bersandar di dinding.
"Melanggar apa? Kita bahkan belum punya hubungan apa-apa."
"Itu kan buatmu. Tapi buatku sejak kamu menerima uluran tanganku artinya kamu milikku."
"Sinting."
Yuda tertawa keras. "Aku bisa lebih sinting kalo menyangkut kamu, Bee. Sayangnya dua tahun lalu aku nggak bisa berbuat apa-apa karena orang tuaku dan terpaksa melepasmu. Tapi sekarang jangan harap itu terjadi. Apa pun bakal aku lakukan asal kamu kembali padaku, termasuk menyingkirkan hama yang menggangu."
Seketika tenggorokan Anggie mengering, untuk sekedar menelan ludahnya saja sukar. Yuda dan ancamannya. "A ... apa maksudmu?" Tubuh Anggie menegang, tangan gemetar sampai gelas ya ia pegang hampir lepas bila tak segera ia letakkan. Parasnya pun memutih. Pria ini ...
"Kamu tahu persis maksudku, Bee." Yuda menjauh dari dinding. Bergerak luwes bak foto model di catwalk menghampiri Anggie. Ia menarik wanita itu berdiri hingga tubuh keduanya menempel. "Kamu milikku, Bee." Ia mendorong naik dagu Anggie hingga menatapnya lekat. "Dan aku nggak bakal sakiti kamu dengan syarat patuh padaku."
"Ta ... tapi kamu yang menyuruhku pergi. Katamu bosan padaku. Itu artinya kita nggak ada hubungan apa-apa Yuda."
Gurat luka yang Yuda tangkap di mata Anggie membuatnya ingin memukuli dirinya sendiri. Berengsek. "Yah itu salahku dan aku ingin menebusnya saat ini."
Wanita itu mundur, memberi sedikit jarak untuk mereka. Ia tak terima diperlakukan tak adil begini. "Nggak. Kamu nggak bisa seenaknya gini. Kamu seenaknya mengusirku tanpa tahu sakitnya perasaanku dan sekarang saat aku udah bisa sembuhkan lukaku kamu datang ingin menebus salahmu. Nggak segampang itu, Yud."
Ya Yuda tahu pasti rasanya karena ia pun juga merasakannya. Namun, memang waktu itu ia terdesak dan tak punya pilihan mempertahankan Anggie di sisinya. "Bee. Kamu boleh marah bahkan membenciku tapi jangan tolak kehadiranku di sisimu. Apa pun dan bagaimana pun kamu cuma milikku."
"Egois."
Yuda menarik kembali raga Anggie dalam pelukannya. Menunduk menatap wanita itu — 158 sentimen. "Aku bisa lebih egois dari ini, Bee."
###
Karyawan kantor Anggie sekarang sudah tidak heran lagi melihat bagaimana Yuda yang selalu nempel pada Anggie. Pria itu setiap ada waktu selalu berada di sampingnya meskipun hubungan mereka masih abu-abu. Rasanya percuma mengusirnya karena dia bebal.
"Makan dulu, Bee. Ini waktunya istirahat." Yuda memutar kursi Anggie, menarik wanita itu berdiri dan mengikuti dirinya.
"Hp ku ketinggalan." Tapi Yuda tak menghiraukan protesnya. Ia tetap ditarik keluar dari ruangan. "Hp ku ketinggalan, Yuda." Ia melesakkan lebih dalam tubuhnya di jok mobil. Bibirnya mengerucut kesal.
Yuda mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja menggunakan satu tangan lalu memberikannya pada Anggie. "Pakai punyaku. Ada nomornya Rena. Kamu bisa telpon dia." Anggie mengambil ponselnya. "Kuncinya tanggal lahir kamu, Bee."
Anggie menekan tanggal lahirnya. Ia mulai melihat-lihat fitur ponsel tersebut.
"Periksa aja semua, Bee. Nggak ada foto perempuan lain selain punyamu."
Wanita itu menuruti perintah Yuda, melihat semua isi dokumen dalam ponsel tersebut sampai satu potret dirinya tertawa saat makan cilok didekat tempat kerjanya. Ini kan .... "Kamu kok punya foto ini?" Ia menunjukkan foto tersebut.
Yuda menoleh sebentar. "Punya lah. Fikri yang ambil."
"Mas Fikri? Dia siapamu?" Sudah lama ia penasaran bagaimana Mas Fikri tahu hubungannya dengan Yuda.
"Temen kuliah."
Ah sekarang ia mengerti dari mana pria itu mengetahui hubungannya dengan Yuda. "Lho lho ini mau ke mana?" tanya Anggie kala menyadari rute yang mereka lalui berbeda dari biasanya. "Mau ke mana? Jangan bikin aku takut."
Pria berperawakan tinggi itu take jawab Anggie. Dia terus melajukan mobilnya ke daerah Ijen. Ia mematikan mesin mobil usai memarkirnya di depan hotel bintang empat. "Aya turun, Bee."
"Mau apa ke sini?" Anggie diam di kursinya. Ia takut bila Yuda melakukan hal aneh-aneh padanya.
"Turun dulu. Aku nggak bakal apa-apain kamu."
Usai meyakinkan Anggie, mereka masuk ke kamar VIP yang sudah Yuda pesan. Mereka masuk dan ia tersenyum melihat Anggie memeluk kedua orang tuanya. Yuda membiarkan mereka melepas rindu sebelum mengungkapkan tujuannya mendatangkan orang tua Anggie. Duduk di hadapan ayah dan ibu wanita itu, ia mengatakan ingin menikahi Anggie secepat mungkin.
Tentu saja Anggie kaget sebab hubungan mereka baru saja membaik dan belum menyepakati apa-apa. Namun, melihat kesungguhan Yuda, ia rasa sudah waktunya menerima pria itu dalam hidupnya.
Tamat.
Kelar juga akhirnya 😆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top