Anggie#1

Hei hooo! Akhirnya si Mbak Ang nongol juga 🤣 happy reading yak. J

&&&

"Mbak Ang."

Anggie melirik ke arah Rena yang wajahnya merengut. "Si bocah, pagi-pagi muka udah kusut kayak gombal amoh aja. Kenapa lagi, sih?" tanyanya dengan ketus, untungnya Rena sudah paham akan sifat dan sikap Anggie, jadi tidak akan jengkel mendengar nada bicaranya. "Berantem lagi sama Ardo?" Rena mengangguk cepat, bibirnya kini iku mencebik. "Ini nih kalo bocah pacaran sama yang dewasa, ngambek muluk. Lama-lama aku ambil juga itu si Ardo, lumayan ATM berjalan, nggak boleh sampai lepas."

"Mbak, ih!" Wajah Rena semakin masam karena ucapan Anggie, tapi wanita itu malah tertawa melihatnya.

"Ya makanya, Nenggg! Nggak usah dikit-dikit ngambek, marah nggak jelas, berantem nggak jelas." Ia mencubit gemas pipi chubby Rena. "Mbak udah hapal banget kamu kek mana. Palingan kamu juga yang mulai. Iya kan?" Anggi menekan telunjuknya di hidung Rena. Perempuan itu mengangguk terus menggeleng.

"Dah sana meweknya di pojokan aja, nggak usah di sini. Mbak belum beres ngerekapnya, bentar lagi kudu setor data barang. Hus hus!" Anggi kembali menghadap komputernya untuk merekap semua barang yang keluar masuk dari beberapa tempat salon dan spa milik bos-nya.

"Tapi kan ...."

"Ekhem!"

Dua wanita itu sama-sama terbelalak mendengar suara yang mereka hafal. Mereka serentak berdiri menghadap atasannya itu. "Pagi, Pak," ucap Rena dan Anggie barengan.

"Ini waktunya kerja, bukan ngobrol. Ngie, laporannya aku tunggu."

Rena mengembuskan napas lega begitu atasannya itu meninggalkan mereka. Mengelus dadanya yang deg-degan. "Hih! Ngeri banget sama tatapan dia, Mbak. Aura itu bikin orang merinding," cetus Rena. "Apalagi pas lihat Mbak Anggie, kek pengin nelan bulat-bulat gitu," ujar Rena dengan binar mata berapi-api.

Anggie melirik tajam Rena sebelum mendudukkan dirinya di kursinya. "Emang aku tahu bulat digoreng dadakan sampai dia pengin nelan aku gitu."

"Ih, beneran, Mbak." Ia duduk di kursinya seraya menyalakan komputer. "Ngelihatnya ke Mbak Ang kayak gimana gitu. Kayak di matanya ada lope-lope gitu. Pokoknya bikin melting dah."

Bocah edan, pikirnya. "Iku namae Joko Sembung numpak becak, ngawur Mbak. Ngawur. Dah ah kerja. Kerja. Ojok rumpik ae (jangan ngomong aja)."

Rena yang masih didera penasaran mendekatkan kursinya ke meja Anggie. "Btw, Mbak, cerita kalian dulu kayak gimana, sih? Kok bisa jadi musuhan gini?" tanya Rena dengan senyum lebar, matanya berkedip-kedip seperti anak kucing minta makan.

Gerakan jari Anggie di atas keyboard seketika berhenti. Terdiam sejenak sebelum menoleh dengan senyum lebar. Ia mendekat ke telinga Rena lalu berkata, "Rahasia!" Wajahnya berubah jadi garang. "Balik. Balik. Tak kabyuk engkok lek kepo ae(aku pukul nanti kalo kepo aja)."

Rena berdecak keras. Ia menatap tajam Anggie tapi sepertinya tidak ada efeknya sama sekali. Rena jadi jengkel sama teman kantornya ini. Anggie termasuk pelit bercerita untuk hal-hal pribadinya, terutama soal cinta, tapi entah kenapa dia merupakan tempat favorit anak-anak kantor untuk bercerita masalah percintaan, sudah seperti pakarnya saja. "Tidak ramah bintang satu."

"Bodoh amat."

Setelah Rena kembali ke mejanya dengan bersungut-sungut, Anggie menghela napas dalam-dalam. Dadanya tiba-tiba saja ampek mengingat bagaimana cerita cintanya bersama Yuda. Dia yang terlalu naif begitu percaya pada pria itu tapi yang ia dapat malah omong kosong. Berengsek.

&&&

"Duh ya pake hujan segala, nggak bawa mantel juga." Mau tidak mau Anggie menunggu di lobi—sebenarnya tidak tepat juga bila disebut lobi karena tidak mencerminkan definisi tersebut. Ruko dua lantai—sampai hujan sedikit reda. "Apa beli aja yo di Indomaret situ? Gitu aja wes." Anggie mengambil dompet serta handphonenya dari tas. "Mas Fikri nitip tas ya. Aku mau ke Indomaret bentar. Mau nitip nggak?" tawarnya seraya meletakkan tas di meja resepsionis.

"Nggak."

Anggie membuka pintu ruko tepat saat Yuda akan masuk, alhasil pintu kaca tebal tersebut mengenai wajah pria itu sedikit keras, cukuplah untuk membuat hidung berdarah. "Maaf. Maaf. Aku nggak sengaja." Ia cepat-cepat menghela Yuda duduk di kursi tunggu. Wanita itu segera ke dapur mengambil kapas untuk ia basahi. "Sakit, ya?" Ia menekan-nekan kapas basah itu dibagian wajah Yuda yang terkena pintu. "Besok pasti memar ini. Aku tanya Mbak Yanies mungkin ada salep yang cocok buat ngurangi sakitnya."

Pria itu tersenyum kecil melihat kebingungan Anggie. Meskipun dahi dan hidungnya sakit, tapi hatinya berbunga-bunga, sebab  wanita ini seakan lupa pada hubungan mereka yang bermusuhan. Sebenarnya bukan dari pihaknya tapi dari Anggie. Yuda tak pernah dan tak ingin bermusuhan dengan dia, karena sampai detik ini perasaannya untuk Anggie tak pernah pudar.

"Lebih sakit kamu benci, Bee," ungkap Yuda dengan tatapan sendu.

Tangan Anggie seketika berhenti menekankan kapas dingin di dahi Yuda. Ia membalas tatapan pria itu dengan perasaan tak keruan. Dan entah kenapa Anggie seperti terseret di dalam kelamnya mata Yuda hingga tak mampu memalingkan wajahnya.

"Maaf udah buat kamu pergi. Tapi sampai sekarang perasaanku nggak pernah berubah, Bee." Yuda menyentuh pipi Anggie dengan rasa rindu tak terbendung. Ia begitu rindu pada wanita ini. "Aku masih cinta dan sayang kamu."

Anggie cepat-cepat menjauh dari Yuda. Melangkah dengan cepat mengambil tasnya di meja resepsionis. Ia harus segera pergi agar pertahanannya tidak jebol karena ucapan Yuda. Anggie tak mau lagi jadi wanita bodoh yang mudah dipermainkan oleh pria itu. Sudah cukup sekarang tidak lagi.

"Kamu terlalu cepat mendesaknya, Yud." Fikri mengangsurkan kain berisi es yang ia ambil dari lemari es belakang.

"Aku nggak mau dia pergi lagi dariku, Fik. Sudah cukup dua tahun dia lepas dariku, sekarang aku harus meraihnya lagi."

"Beri dia waktu. Semua ini terlalu tiba-tiba buatnya," sahut Fikri yang tahu kisah Yuda dan Anggie—teman kuliah Yuda tapi Anggie tidak tahu itu.

Begitukah? Apa dirinya terlalu cepat ingin meraih Anggie? Bukankah lebih cepat lebih baik? Sial. Yuda takut kalau Anggie dimiliki pria lain. Tidak boleh. Wanita itu hanya miliknya.

&&&

Selamg dua hari dari malam itu, Anggie datang sedikit terlambat. Kepalanya pusing gara-gara nekat pulang di tengah hujan lebat, tapi lebih baik begitu daripada ia harus bersama Yuda. Batuk kecil mulai menyerangnya, begitu pula hidungnya juga mulai mampet. Kacau. Semoga saja tak lebih parah dari ini.

"Duh kenapa barengan gini, sih. Mbok ya satu-satu gitu kalo mo dateng, biar nggak bikin ampek," gerutunya dengan memijit kepalanya. Ia kini tengah berada di dapur—istirahat siang—menunggu air putihnya sedikit hangat.

"Lho ... kirain Mbak cari makan sama Mbak Laras, ternyata di sini to. Ngapain?" Rena duduk di sisi Anggie. Wanita itu membuka kotak bekal yang dipersiapkan ibunya. "Mbak sakit? Bawa obatnya nggak?" Rena cepat-cepat meletakkan sendok yang ia pegang usai mendengar batuk Anggie. Wanita itu menggeleng pelan.  "Duh kok ceroboh banget sih Mbak. Tunggu sini ya aku beliin obat," ujar Rena panik. Saking paniknya ia sampai menyenggol sendok sampai jatuh ke lantai.

Yuda berjalan ke dapur setelah mendengar suara benda jatuh. Rena tampak menarik blus Anggie dari lipatan rok. Wanita itu menyusupkan tangannya ke punggung Anggie. "Ada apa ini?" tanyanya penasaran.

"Ini, Pak, Mbak Anggie sesak napas. Saya cuma mau melonggarkan dalamannya sedikit biar lega," tuturnya jujur daripada dikira aneh-aneh.

Paras Yuda mendadak pucat. Ia pun segera mendekat setelah sebelumnya mengambil minyak kayu putih di kotak P3K. Menghela Anggie duduk di kursi panjang yang lebih nyaman. Refleks ia membuka kancing atas blus Anggie, menuang minyak kayu putih ke telapak tangan, dan mengusapkan ke dada Anggie. "Obat kamu mana?"

"Mbak Anggie nggak bawa Pak," sahut Rena yang memperhatikan perlakuan Yuda pada temannya itu. Jelas pria ini hafal apa yang harus dilakukan dalam kondisi Anggie sekarang ini.

"Astaga. Bisa tolong belikan obat? Kamu tahu obatnya kan?" Yuda menoleh sebentar ke arah Rena. Ia kemudian mendorong Anggie yang lemas untuk memunggunginya, lalu menggosok punggung Anggie serta melepas kaitan bra wanita itu.

Rena sendiri tidak perlu diperintah dua kali langsung bergegas ke apotik tidak jauh dari kantornya.

"Kenapa nggak izin aja kalo kamu sakit, Bee?"

Tbc.

Hahahaha kalo sakit di rumah nggak bikin Bapak panik dong 😌kalo gini kan panik. Seneng jadinya aku tuh 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top