(9) Jebakan Bara part 2
Hai, masi ingat gue? Yup, gue Tika. Maaf kalau beberapa hari ini gue ngilang. Bukannya sombong, tapi gue memang lagi sibuk memperdalam ilmu kanuragan ... eh ... maksud gue ilmu permasakan ke emak gue. Meski gue ditunjuk dengan semena-mena oleh teman-teman sekelas gue buat mewakili jadi peserta lomba masak, gue akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan hati Bang Zein, ups, maksud gue memenangkan lomba. Tapi, kalau dapat bonus memenangkan hati Bang Zein gue juga kagak nolak sih.
Sebagai orang yang telah menjerumuskan gue ke dalam lomba tersebut, gue merasa perlu meminta pertanggungjawaban dari Bara. Jadi, di sinilah gue sekarang, di dapur berduaan bersama cowok paling ganteng nomor 3 di sekolah yang sengaja gue rekrut jadi kelinci percobaan.
Gue enggak mau pas hari H nanti Bang Zein sakit perut gara-gara makan masakan gue, atau eneg ketika ngelihat tampilan masakan gue. Biarlah wajah gue dikata kurang rupawan sama orang-orang, yang penting makanan yang bakal gue sajiin ke Bang Zein besok terlihat cantik dan menawan. Karena itulah, hari ini gue sengaja gladi resik dulu bareng Bara. Biar pas lomba besok gue sudah siap beraksi dalam kompetisi.
"Silakan dicoba masakan saya, shrimp and ten vegetables stir fry in oyster sauce by Chef Tika," kata gue sambil menirukan gaya chef-chef di kompetisi masak yang lagi booming di televisi. Beberapa kali, Bara nyuruh gue buat daftar di salah satu kompetisi itu, tapi gue belum pede, takut semakin banyak orang yang ngejek tampang gue yang nggak ada sedap-sedapnya buat ditonton. Gue dan kamera nggak pernah akur dari dulu. Entah kenapa, setiap kali difoto atau direkam, wajah gue jadi kelihatan dua kali lebih lebar.
"Ya elah, Tik. Bilang capcay goreng aja belibet banget!" sindir Bara sambil mengunyah.
Muka Bara yang jarang senyum sudah cocok menjadi Chef Juna KW Super. Gue cuma berharap dia enggak ikut berkata-kata kasar seperti Chef Juna. Gue cuma takut cerita ini dilaporin ke admin terus gue diblokir dan enggak bisa curhat-curhatan lagi bareng kalian.
Gue menyangga kepala dengan tangan sambil mengamati Bara yang menyendok makanan. Dia makannya pelan banget kayak Putri Solo. Ngomong-ngomong tentang Putri Solo, entah kenapa gue jadi pingin makan sosis solo.
Eh, fokus, Tika! Fokus! Bukan saatnya bayangin sosis solo.
"Tik. Jangan lihatin gitu. Tar gue enggak konsen nilai rasa masakan lo," protes Bara.
Matanya menyipit menatap gue, sampai-sampai kedua alisnya bertaut. Gue jadi sedikit tersinggung. Ekspresi Bara sekarang mirip banget dengan ekspresi Bang Zaki yang lagi nyiapin amunisi buat nge-bully gue.
"Alah. Jujur aja, lo mau bilang takut rasa makanannya jadi pahit kalau sambil lihat muka gue kan? Nggak ada bedanya sama Bang Zaki ah." Gue membuang muka. Daripada kena bully Bara, mending gue nge-bully diri sendiri dulu. Gue lalu segera menyingkir ke tempat cuci piring buat membereskan kekacauan yang sudah gue lakukan di dapur. Emak bisa ngamuk kalau lihat dapurnya porak-poranda gara-gara habis jadiin tempat eksperimen.
"Padahal gue mau bilang gue grogi kalau makan sambil lo liatin," celetuk Bara.
Gue refleks noleh ke Bara sambil ngorek kuping pakai kelingking. Gue salah denger kan? Bara grogi karena gue lihatin? Demi apa coba?
"Apa kata lo, Bar?" Gue bertanya untuk memastikan.
"Enggak. Gue cuma bilang ini capcay kayaknya lebih mantul kalau dimakan sama nasi. Minta nasi sekalian dong, Tik!"
"Hadeh. Bilang aja lo laper." Sambil ngedumel gue centongin nasi buat Bara sekaligus buat gue. Ngelihat Bara makan gue juga ikutan laper.
"Enak enggak capcaynya, Bar?" tanya gue sambil nyodorin sepiring nasi hangat dengan uap yang masih mengepul. Aroma pandan begitu terasa menggugah selera. Belum lagi tingkat kepulenannya pun sungguh sempurna karena waktu masak gue sudah ngukur takaran airnya pakai ruas jari.
"Enggak. Ini capcay lo keasinan. Sengaja lo bikin asin buat ngekode Bang Zein apa gimana? Biar doi tahu kalau lo naksir dan cepat nembak."
"Ish. Apaan sih Bar. Gue tuh enggak naksir Bang Zein kok! Dari kemarin lo ngungkit-ngungkit masalah itu terus. Sudah gue bilang kan, cewek kayak gue ini enggak berhak naksir siapa-siapa. Entar malah bikin merinding orang yang ditaksir."
"Siapa? Tika lagi naksir siapa?"
Ampun, dah. Kenapa di saat seperti ini Bang Zaki tiba-tiba datang sih? Bisa makin malang nasib gue kalau abang gue yang hobi bikin hidup gue menderita itu tahu gue naksir sahabatnya.
"Enggak, Bang. Ini lagi ngomongin teman sekelas yang lagi naksir Bara." Gue segera ngalihin pembicaraan sambil komat-kami berdoa dalam hati semoga Bang Zaki nggak tanya-tanya lagi.
Bara sudah siap-siap protes, tapi enggak jadi waktu lihat mata gue yang melotot. Seenggaknya di saat-saat seperti ini, tampang seram gue berguna juga. Bahkan cowok se-cool Bara enggak berani bantah waktu gue pelototin.
"Lah kirain. Kalau cewek naksir Bara mah berita biasa. Kalau ada cowok naksir lo tuh, Tik, baru luar biasa."
Kalau aja enggak ada Bang Zein di belakangnya, sudah gue bales tuh kejulidan abang gue dengan lemparan centong nasi.
"Lagi masak apa, Tik?"
Kekesalan gue pada Bang Zaki langsung luntur kena siram sejuknya senyum Bang Zein. Dari sekian banyak penderitaan yang gue alami karena punya abang kayak Bang Zaki, salah satu yang bisa gue syukuri adalah bisa sering-sering ketemu Bang Zein. Harus gue akui, kalau bukan karena Bang Zaki, mana mungkin gue kenal Bang Zein, apalagi sampai bebas ngobrol-ngobrol begini.
Gue jadi inget waktu pertama kali Bang Zein main ke rumah. Waktu itu gue masih kelas 3 SMP dan abang gue kelas 2 SMA. Di usia menginjak remaja, gue sudah bisa bedain cowok cakep dan enggak. Tapi, karena waktu itu cowok cakep yang sering interaksi sama gue cuma Bang Zaki, gue selalu beranggapan bahwa cowok cakep itu semuanya jahat. Mereka sombong dan suka mem-bully kaum kasta wajah pas-pasan kayak gue ini.
Semua itu berubah ketika Bang Zein tersenyum ramah pada gue yang waktu itu lagi ngemilin misis hampir kadaluarsa sambil nonton tivi.
"Eh. Adeknya Zaki ya? Cantika bukan namanya?"
Gue yang baru pertama kali itu disapa cowok ganteng dengan ramah dan lemah lembut langsung bengong kayak orang sawan.
"Bentar lagi mau masuk SMA ya? Mau masuk SMA X juga?"
Kepala gue cuma bisa manggut-manggut kayak boneka yang biasa ditempel di dashboard mobil. Padahal gue paling ogah satu sekolahan bareng Bang Zaki. Sudah kebayang penderitaan yang akan gue alami kalau kami berdua satu sekolahan.
"Oke. Semoga sukses ya. Gue naik dulu ke kamar Zaki ya."
Rencana itu langsung gue revisi demi bisa satu sekolahan dengan Bang Zein. Gue yang seumur hidup cuma belajar kalau mau ulangan, jadi rajin belajar tiap hari kayak orang kerasukan. Gue yang selama sejarah persekolahan selalu masuk ranking 10 besar terakhir, di kelas 3 jadi lumayan naik jadi 10 besar beneran.
"Woy. Ditanyain tuh, Tik." Tangan Bara melambai-lambai di depan muka gue.
Gue langsung kembali ke dunia nyata. "Masak Capcay goreng, Bang," jawab gue dengan nada kemayu.
Bang Zaki ikutan nimbrung, tentu saja dengan nada ngeledek seperti biasanya. "Tumben masak makanan beneran, Tik? Biasanya masak kue doang."
"Buat latihan lomba masak besok, Bang," jawab Bara mewakili gue.
"Oh. Sukses ya, Tik. Kalau boleh saran, masakannya dibikin agak pedes. Soalnya Pak Anwar yang jadi juri suka yang pedes-pedes," saran Bang Zein.
"Oh. Abang jadi juri bareng Pak Anwar?" Gue kira jurinya cuma Bang Zein doang.
Bang Zein terlihat kaget mendengar pertanyaan gue. "Ha? Enggak. Juri lomba kan guru semua, Tik. Kalau siswa ikut jadi juri tar malah subjektif ngasih nilai tinggi ke kelasnya. Gue cuma bantu-bantu nyiapin perlengkapan acara aja."
Begitu kedua cowok ganteng itu naik ke lantai atas, gue langsung menginterogasi Bara yang masih aja pasang tampang cool walau dah ketahuan bohong.
"Kata lo, Bang Zein jadi jurinya," omel gue ke Bara.
Masih dengan tampang sok cool-nya, Bara jawab tanpa rasa bersalah, "Ya kan gue bilangnya cuma dengar-dengar. Belum tentu bener, kan?"
Pingin gue tabok si cowok nomor ganteng nomor tiga ini, tapi gue takut diserang sama penggemarnya kalau dia sampai terluka.
Gue langsung bawa piring gue ke magic com buat nambah nasi. Kalau sebel begini, selera makan gue biasanya langsung bertambah.
Bara bisik-bisik ke telinga gue, "Jadi bener kan kecurigaan gue, lo naksir Bang Zein? Lo mau ikut lomba karena mau caper ke dia kan."
"Awas lo ya. Kalau rahasia ini sampek bocor, gue suguhin donat tabur sianida kalau lo lagi main ke sini," ancam gue sambil nambah nasi satu piring lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top