(11) Lost Chicken

Hei. Gue Tika, dan sekarang gue lagi bingung. 

Akhirnya setelah mengeluarkan semua bawaan gue dari rumah, gue ingat apa yang ketinggalan. Ayam. 

Kemarin gue sampe bujuk-bujuk emak supaya mau nemenin gue ke pasar. Selain sudah hapal mana pedagang yang suka ngasih diskon dan mana yang suka curangin timbangan, emak gue juga bisa bedain mana ayam potong yang semasa hidupnya bahagia dan mana yang enggak. 

Jangan tanya gue gimana cara bedainnya, karena ilmu itu belum diturunkan emak ke gue. Tapi yang jelas, kalau emak gue masak ayam, rasanya emang enak dan bikin nagih. Karena kalau kata emak gue, ayam yang dirawat dengan penuh kasih sayang dan hidup bahagia akan menghasilkan daging yang lebih berkualitas. Kurang lebih seperti petani yang membesarkan Malika—si kedelai hitam berkualitas—dengan sepenuh hati, seperti anak sendiri

Kalian masih enggak percaya? Coba aja googling gimana sapi wagyu diperlakukan sepanjang hidupnya. Si peternak merawat mereka dengan penuh cinta supaya sapi-sapi gendut itu enggak stres hidupnya. Bahkan, yang gue baca, itu sapi sehari-hari dengerin musik klasik dan dapat fasilitas pijet refleksi. Kayaknya hidup sapi-sapi itu lebih bahagia dari gue yang tiap harinya mesti denger omelan emak dan disuruh 'mijetin' adonan.

Eh, bentar-bentar kenapa kita jadi ngomongin sapi wagyu sih? Kan kita lagi bahas ayam gue. Gimana ini? Ayam potong yang gue beli masih ketinggalan di freezer. Pas di sebelah stok es krim yang sengaja gue sembunyiin dari Bang Zaki. Titipan salah satu penggemarnya, cuma enggak gue kasih, salah sendiri jahat sama gue.

Duh, di saat darurat seperti ini, otak gue yang kapasitasnya emang enggak seberapa ini malah makin ngehang. Bukannya nyari selotip ... eh ... solusi, malah sibuk muter video klip BTS yang semalam gue tonton sambil plank. Mungkin gue harus berguru dulu sama Bu Tejo supaya bisa jadi generasi yang solutip.

"Yak, para Chef dadakan SMA X! Sudah siap semua ya?" tanya Pak Anwar, guru sejarah, dengan suaranya yang menggelegar kayak halilintar. 

Gue memperhatikan sekeliling. Peserta lain sudah mulai pemanasan. Ada yang sekadar peregangan biasa, ada yang lompat-lompat kayak kangguru, bahkan ada yang teriak-teriak niruin gaya bruce lee kalau mau berantem. Eh sorry, yang terakhir memang mau berantem beneran ding, gara-gara ceweknya nempel-nempel sama cowok lain.

Cuma gue yang bengong kebingungan gara-gara ayam gue ketinggalan. Duh, gimana ini? Masalahnya... 

"Oke. Sesuai yang diumumkan kemarin, tema lomba masak kali ini adalah chicken, alias ayam. Silakan berkreasi, hasilkan masakan yang terbaik. Ingat enggak boleh gangguin lawan. Tiap peserta harus pake bahan-bahan yang sudah dibawa. Enggak usah modus pinjam talenan atau minta garam. Fokus sama masakan masing-masing!"

Yak, kalian denger sendiri kan barusan? Masalahnya tema lomba kali ini adalah ayam. Gimana caranya gue masak ayam kalau ayamnya ketinggalan di rumah? Mana Pak Anwar tegasin tiap peserta harus modal sendiri. Padahal tadi gue sudah rencana minta daging ayam ke anak XI IPS 1 yang mejanya di sebelah. Seingat gue, dia salah satu fans Bang Zaki, siapa tahu ayamnya bisa gue tuker pake foto eksklusif abang gue.

Apa pas Pak Anwar lagi enggak perhatiin, gue minta daging ayam ke peserta lain ya? Tapi... selain suaranya yang ngagetin, Pak Anwar ini terkenal punya mata batin. Kalau pas Pak Anwar yang jadi pengawas ujian, jangan ngarep bisa nyontek. Bahkan, sebelum kita beraksi, Pak Anwar sudah bisa tahu. Guru sejarah yang satu itu kayaknya bisa mencium segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau kecurangan, bahkan ketika baru berupa niat yang melintas di kepala.

Buktinya sekarang nih. Baru aja gue mikirin rencana buat minta daging ayam ke peserta lain, Pak Anwar sudah menatap gue dengan penuh curiga. Gue langsung pura-pura sibuk ngupas bawang sambil mikir jawaban dari pemasalahan gue yang rumit ini. Bagaimana caranya gue masak ayam tanpa ayam?

Duh, kok Pak Anwar jalan ke meja gue? Jangan-jangan beliau tahu kalau gue tadi sempat berencana melanggar peraturan lomba.

“Tika. Kamu ngapain?” tanya Pak Anwar pas sampai di meja gue.

“I-ikut lomba masak, Pak,” jawab gue gugup. Duh, gimana ini kalau gue didiskualifikasi waktu lomba baru mulai? Mana yang nonton rame banget pula.

“Iya saya tahu.” Tatapan tajam Pak Anwar bikin gue keder. Sebagai guru killer, beliau memang sudah menjadi legenda di seantero sekolah.

“Tapi kenapa kamu ngupas bawang, yang kamu kumpulin kulitnya, bawangnya malah kamu lempar ke tempat sampah?”

“Astagfirullah! Iya pak, maklum grogi,” jawab gue sok-sok kalem, siapa tahu nanti gue dapat nilai plus sebagai peserta paling berakhlak mulia.

Untungnya Pak Anwar enggak lama nungguin gue. Sungguh, ngupas bawang dengan diawasin Pak Anwar itu nyeremin banget. Untung aja gue masih bisa bedain mana bawang dan mana jari gue.

 Walau sempat bikin jantungan, gue berterima kasih pada guru legendaris itu. Kalau enggak  beliau ingetin, bisa aja gue bukan cuma enggak punya ayam buat masak, tapi juga enggak punya bawang buat bumbuin masakan.

Gue mulai lirik ke kanan dan kiri. Di sebelah kanan gue, cewek XI IPS I tadi lagi asyik marut kelapa, kayaknya doi mau bikin kari ayam. Meski gue heran sih, kenapa dia enggak pakai santan instan aja, pake repot marut dan meres kelapa segala. 

Di sebelah kiri ada cowok seangkatan gue—tapi gue lupa kelas berapa—lagi ngiris bawang dengan kecepatan super. Gayanya sudah mirip kayak chef-chef yang videonya sering dishare emak di akun pesbuk.

Anak-anak kelas gue mulai teriak-teriak kayak orang kesurupan. Kayaknya mereka ngincer banget pingin jadi penonton terheboh biar dapat hadiah. Bara berdiri di tengah sambil ngacungin poster tinggi-tinggi. Entah kenapa dia malah pasang foto gue waktu SMP, pas lagi pamer nasi goreng buatan gue yang pertama, pakai dia tambahin topi chef pula di atas kepala gue.

Kayaknya tuh anak perlu dikasih pengarahan deh tentang memilih foto yang tidak mengumbar aib orang. Memang sih milih foto gue yang kelihatan cantik itu bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami, kecuali fotonya sudah dikasih berlapis-lapis filter sampai wajah asli gue susah dikenali. Tapi kan, seenggaknya Bara bisa pilih foto yang anglenya pas, supaya hidung gue enggak kelihatan mekar banget kayak di poster yang dia pegang sekarang.

Gue kembali melihat sekeliling. Anak kelas tiga yang tadi pakai acara debus dan nyembelih ayam dulu sekarang sudah selesai nyabutin bulu ayam. Kayaknya di antara seluruh peserta, cuma gue aja yang enggak ada progres apa-apa. 

Apa gue menyerah aja ya? Toh gue enggak bisa masak sesuai tema karena ....

Eh bentar, Pak Anwar kan bilang tema ya, bukan bahan utamanya harus daging ayam. Gue perhatiin lagi poster gede yang di pegang bara. Telur mata sapi di piring seolah melotot ke gue. Kalau gue masak telur, masih sesuai tema kan? Bukankah ayam itu berasal dari telur, dan telur itu berasal dari ayam? Jadi mana duluan, ayam apa telur? Lah, kok malah main tebak-tebakan sih?

Oke, kembali ke kompor.

Kebetulan gue memang bawa telur yang niatnya mau gue dadar dan jadiin garnish masakan gue. Ada wortel, kol, dan kacang polong yang awalnya juga gue niatkan jadi garnish. Sepertinya gue harus ganti rencana ini. Bahan-bahan yang awalnya hanya berperan jadi figuran tampaknya perlu gue promosiin jadi pemeran utama. 

Oke. Meski gue enggak pernah masak fuyunghai sebelumnya, gue pernah lihat videonya di youtube. Bahan gue memang enggak lengkap-lengkap banget, tapi kayaknya bisa gue modifikasi supaya enggak terlalu absurd rasanya. Anggaplah gue lagi masak fuyunghai versi KW super.

Pertama-tama, gue iris tipis itu wortel dan kol. Sebenarnya pingin gue ukur tiap irisan biar rapi dan presisi, tapi sayang waktu yang gue punya enggak banyak. Jadi biarin aja lah hasil irisannnya agak abstrak. Berhubung Bang Zein kemarin bilang Pak Anwar doyan pedes, gue tambahin irisan cabe biar ada pedes-pedesnya. Selanjutnya, kocok telur sampai puyeng. Untung aja lengan gue ini sudah terlatih setiap hari, jadi urusan begini mah gampang. 

Setelah mencampur seluruh bahan, gue tuang separuhnya ke teflon. Untuk kali ini gue boleh lah memuji diri sendiri yang berhasil mengatasi situasi. Walau masakannya lebih simpel dari peserta lain, seenggaknya gue enggak walk out dari arena.

“Tika! Semangat ya!”

Gue terkesima. Suara itu sudah gue hapal di luar kepala. Siapa lagi kalau bukan Bang Zein pujaan hati gue.

Bang Zein berdiri di depan kelasnya. Tetap ganteng kayak biasanya. Eh bentar, itu cewek ketua paskib kenapa mepet-mepet sama Bang Zein? Lah kok Bang Zein malah ngobrol sama tuh cewek sambil senyum-senyum sih?

Tas!

Bawang bombay yang gue genggam tiba-tiba pecah.

“Tika. Lihat wajan!” Bara yang dari tadi diem-diem aja kini ikutan teriak.

Ya Tuhan. Fuyunghai yang lagi gue goreng sudah berubah warna, jadi item kayak gue. Buru-buru gue matiin kompor. Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba suara musik chicken dance menggema di udara.

“Jangan lupa. Ini lomba masak sambil joget. Semua peserta ayok goyang. Enggak ada yang boleh pegang alat masak. Yang melanggar langsung didiskualifikasi.”

Suara Pak Anwar mengalahkan suara berisik pengeras suara.

“Yak, kamu! Didiskualifikasi!”

Semua mata mengikuti arah telunjuk Pak Anwar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top