(1) Derita Punya Abang Ganteng
Halo, perkenalkan. Nama Gue Tika. Panjangnya Tikaaaaaa. Eh enggak ding. Aslinya nama itu berasal dari CAN-TI-KA. Cuma gue ogah dipanggil Cantika. Kenapa? Soalnya tiap gue perkenalkan diri sebagai Cantika, orang-orang bakal kaget. Matanya membelalak dengan mulut menganga lebar. Kalau hidup gue sinetron Indonesia, mungkin sudah ada adegan zoom in zoom out ke muka orang itu.
Ya. Mereka biasanya kaget karena nama gue enggak ada cocok-cocoknya sama tampang gue yang enggak ada cantik-cantiknya.
Bukannya gue enggak bersyukur dengan pemberian Tuhan. Alhamdulillah mata gue dua, hidung satu, mulut satu, telinga dua. Semua berfungsi sempurna sesuai peruntukannya. Hanya saja rasa syukur itu langsung luntur seketika saat melihat wajah abang gue.
Abang gue lebih tua dua tahun dari gue. Jadi kalau sekarang gue lagi unyu-unyunya sebagai anak kelas 1 SMA, abang gue lagi belagu-belagunya sebagai anak kelas 3 yang berada di kasta tertinggi sekolah gue.
Teman-teman gue enggak percaya kalau Bang Zaki itu abang gue. Secara, muka kami berdua memang enggak ada mirip-miripnya.
Kemiripan kami itu cuma ada di postur tubuh yang tinggi dan badan lumayan kekar. Yang mana enggak menguntungkan buat gue sebagai cewek remaja yang lagi insecure-insecurenya. Sudah susah cari baju unyu dan cute, cowok-cowok juga memandang dengan sebelah mata. Soalnya zaman now, cewek-cewek kurus dan mungil itu lebih disukai, kayak idola-idola Korea yang sering nongol di iklan yutub itu.
Postur tubuh gue dan Bang Zaki adalah warisan almarhum Bokap. Beliau memang disegani semasa hidupnya. Preman pasar aja takut sama bokap gue. Kalau ketemu di jalan, bukannya dipalak, malah mereka pada ngasih duit sama bokap.
Selain postur tubuh kekar ini, enggak ada lagi kemiripan antara gue dan Bang Zaki. Bokap enggak cuma mewariskan postur tubuh ala binaraga ke gue, tapi juga hidung bercuping lebar, mulut berbibir tebal, dan mata angker yang bisa bikin anak bayi nangis kalau lihat gue.
Sementara itu, Bang Zaki dapat warisan bagus-bagus dari nyokap. Kulit putih bersih kayak habis diamplas tiap hari. Hidung mancung alami, bukan hasil oplasan. Bibir merah merekah yang bisa bikin cewek-cewek gagal fokus kalau dia lagi bicara. Juga mata belo berbulu lentik yang kata teman-teman gue menghanyutkan.
Kalau Bang Zaki dijilbabin, yakin deh, cowok-cowok juga jadi jatuh cinta sama abang gue itu. Saking rupawannya itu wajah, sampai-sampai kadang gue heran, kok ada cowok yang lebih cantik dari cewek asli gitu lho.
Sementara kalau gue. Tiap kali coba dandan dan pakai baju yang kecewek-cewekan, gue pasti diketawain. Dibilang mau ngelenong. Orang-orang bilang enggak pantes cewek bertubuh kekar kayak gue pakai rok mini dan baju you can see.
Muka gue memang cenderung maskulin. Makanya meski gerah, gue niat panjangin rambut biar enggak dikira cowok beneran.
Pernah waktu SMP, rambut gue dipotong pendek gara-gara pernah nyangkut ke kipas angin. Orang-orang pada nyangka gue ini cowok. Masih mending kalau dipanggilnya Mas, ini orang-orang pada manggil Pak dengan nada sopan manjah. Hancur sudah harga diri gue. Sejak saat itu enggak mau lagi gue potong rambut jadi pendek.
Teman-teman gue sempat bilang iri sama gue. Katanya gue beruntung tiap hari bisa ketemu dengan cowok bertampang malaikat, maksud mereka ya si Bang Zaki. Tapi apa mereka enggak nyadar ya, Bang Zaki kan abang kandung gue. Apa gunanya kalau ketemu cowok cakep tapi enggak bisa digebet. Ya kan, enggak mungkin gue naksir abang sendiri. Sudah tampang enggak cakep, penuh dosa pula. Mau jadi apa gue nantinya?
Jadi mau seganteng apapun Bang Zaki, dan semanis apapun senyumnya, tetap aja enggak ngaruh sama hidup gue. Apalagi sebenarnya sikap Bang Zaki ke gue itu sungguh enggak ada manis-manisnya.
Dalam bayangan teman-teman gue, mereka kira Bang Zaki kalau bangunin gue itu pakai gaya usap-usap rambut, tepuk-tepuk lembut, dan nyebut nama gue dengan penuh kasih sayang. Persis kayak oppa-oppa idaman di drama korea. Padahal biasanya dia bakal ngelempar bantal ke muka gue sambil teriak kencang-kencang ke telinga.
"TIKA!!!!! BANGUN!!!! DISURUH BANTUIN DI DAPUR SAMA EMAAAAK!!!!"
Enggak ada manis-manisnya kan?
Sikap barbarnya itu memang hanya ditunjukin ke gue. Kalau di hadapan khalayak ramai, dia bakal sok cool ala pangeran. Jaga image total biar para penggemarnya enggak pada kabur. Maklum, berkat tampangnya itu, abang gue sering dapat endorse-an obat perontok bulu hidung dan krim peluntur daki. Tambahan uang jajannya tergantung jumlah follower yang dipunya.
Punya abang ganteng itu, enggak ada asik-asiknya. Yang ada hidup gue menderita. Derita pertama yang gue rasain sejak masih bayi adalah: SELALU DIBANDING-BANDINGKAN sama abang gue.
Tiap kali bokap dan nyokap memperkenalkan kami berdua. Orang-orang bakal memandang takjub pada abang gue yang imut menggemaskan. Mereka bakal berebut pingin peluk cium dan jadiin abang gue sebagai kandidat calon mantu sejak usia belia, bahkan ketika mereka enggak punya anak cewek.
Sementara gue, hanya dilirik sekilas lalu diabaikan. Enggak ditanya-tanya, enggak ditawarin permen, enggak disuruh praktekin gerakan mata cantik, karena meski gue sudah kedip-kedip gemas seperti yang diajarin emak, muka gue enggak ada cantik-cantiknya.
Makin bertambah usia, gue makin kebal sama omongan orang. Jadi ketika teman-teman gue becandain,
"Tik. Kayaknya gen bagus-bagus udah diborong semua sama abang lo, jadi lo dapat afkirannya doang."
Gue cuma ketawa-tawa aja.
Atau ketika Om dan Tante becandain emak gue.
"Kamu yakin Tika itu anak kamu? Jangan-jangan dulu pernah ketuker waktu bayi."
Gue berusaha enggak peduli walau hati rasanya ditusuk-tusuk pakai paku.
Tapi ketika emak gue yang ngomong.
"Ya ampun, Tika. Anak gadis coba perhatikan penampilan dong. Masak iya kamu mau keluar rumah pakai baju kucel dan celana training yang bolong di lutut itu. Abang kamu aja selalu rapi meski cuma mau ke warung beliin emak gula."
Gue sakit hati.
Kalau enggak inget dosa, rasanya pingin bantah. "Bang Zaki mah mau pakai baju kucel dan celana robek-robek enggak masalah, tetap kelihatan kece karena Emak nurunin semua gen bagus ke dia."
Gue enggak bohong. Berhubung postur kami berdua sebelas dua belas. Kadang Bang Zaki suka pakai kaos gue. Kaos yang kata emak kucel ini, pernah dipakai Bang Zaki kemarin. Tapi kalau dia yang pakai, malah kelihatan modis. Orang-orang malah ngiranya memang lagi ngetren pakai kaos belel dengan sablonan setengah lepas.
Itu baru derita pertama. Derita berikutnya ada lagi.
Derita kedua nih ........
Ah, besok-besok aja deh gue lanjutinnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top