Tentang Aroma Keringat
"Bang, ih! Mandi dulu sana. Bau keringat itu!" Ocha spontan mendorong Bima ketika tiba-tiba mendapat pelukan dari sang suami yang baru pulang kerja.
Ocha selalu begitu, tak pernah suka aroma keringat, pun dengan keringatnya sendiri. Bahkan dalam sehari dia bisa mandi sampai 5 kali hanya perkara bau keringat.
"Ya salam, Yang. Biasanya juga kalau malam suka sama keringat abang. Apa bedanya, sih?" gerutu Bima tak habis pikir. Padahal sebelum keluar rumah sakit lelaki 34 tahun itu sudah menyempatkan untuk mandi, terlebih dalam situasi pandemi seperti ini. Namun, tetap saja bagi perempuan 31 tahun itu, sang suami datang dengan bau keringat. Jadi mutlak harus mandi lagi.
"Abang! Ngomong apa, sih? Ada anaknya itu, jangan sembrono."
"Abang cuma tanya, Say ...."
"Mandi, Abang! Bau rumah sakit juga, bukannya segera mandi malah nyebarin bakteri!"
"Ck! Iya, iya. Abang mandi ini."
Bima berjalan ke arah kamar untuk mandi. Salahnya yang tak pernah mampu mengendalikan diri setiap melihat istri mungilnya saat dia pulang kerja.
Lelaki pemilik tahi lalat di bawah mata kiri itu baru saja meraih handuk kecil untuk mengeringkan rambut ketika pintu kamar mandi diketuk dengan tergesa.
"Abang, lama banget mandinya! Buruan napa!"
Ternyata istri mungilnya sudah tidakk sabar untuk memeluknya. Ocha pernah bilang paling suka menghidu aroma sabun mandi pada tubuhnya selepas mandi. Perempuan itu bilang terasa lebih wangi saat Bima yang memakainya, tidak seperti jika dia yang pakai, wangi B saja. Itu sebab tak jarang sang istri minta peluk saat Bima baru selesai mandi.
"Sabar, Yang. Nggak sabar banget pengen cium aroma sabun abang."
"Yeee! Siapa juga yang mau peluk Abang. Orang Ocha mau mandi juga! Week!"
Ocha melenggang melewati Bima usai dibukakan pintu kamar mandi. Bahkan sebelum menutup pintu dia sempat menjulurkan lidah meledek sang suami. Astaga, Bima hanya bisa menggelengkan kepala menghadapi tingkah istri mungilnya.
15 menit berlalu, Ocha selesai dengan aktifitas kamar mandinya. Usai menjemur handuk diapun menghampiri sang suami yang sudah duduk menselonjorkan kaki di ranjang, bersandar pada head bed sambil membaca artikel kesehatan melalui ponsel.
Melihat sang istri yang mulai merangsek ke arahnya, Bima segera meletakkan mematikan ponsel dan meletakkan di meja nakas.
"Tumben jam segini baru mandi?" tanya Bima sambil menyambut pelukan Ocha.
"Udah mandi sore tadi."
"Lah, trus ngapain mandi lagi? Udah malam, loh, ini."
"Bau keringat Abang nempel ...."
"Astaga, Yang. Segitunya kamu alergi bau keringat. Nggak inget paling demen bikin keringet malam-malam sama abanng ...."
"Ish!"
Bima terkekeh mendapatkan cubitan sayang di perut dari sang istri. Sesaat kemudian Ocha mengurai pelukan, bergeser membuka laci nakas dan mengenakan masker.
"Ngapain pakek masker?"
"Rasanya kek mau flu, Abang. Pegel di pangkal hidung," ucap Ocha kalem sambil merangsek kembali ke pelukan Bima.
"Gitu tadi maksain mandi. Besok istirahat dulu, deh, enggak usah masuk kantor. Abang, ntar, yang minta ijin."
"Hmm. Pandemi gini emang kudu waspada 'kan. Abang juga kerjanya harus hati-hati. Protokolnya jangan diabaikan. 6 langkah 5 momentnya jangan ditinggalkan."
"Iyya, Ibu PPI. Ya 'kali suami IPCN RSWK enggak tertib. Malu sama cleaning service yang tertib sama aturan kamu."
Tak terdengar sahutan, Bima pun menunduk. Terkekeh lirih ketika sang istri terlelap dalam pelukannya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam memang. Bima pun merebahkan sang istri, mengatur perempuan bermata biru itu terbaring nyaman untuk kemudian memeluk dan menyusulnya mendekap mimpi.
Tengah malam Ocha terbangun. Perempuan berkulit putih itu merasa meriang dan ngilu-ngilu di sekujur tubuh. Gejalanya memang seperti mau terserang flu. Bersyukur masker istri Bima itu tidak terlepas menutup daerah hidung dan mulut hingga menutup dagu. Bangkit dari kasur, perempuan keturunan Finlandia itu melangkah menuju sofa di depan ranjang. Dia tidak ingin menulari sang suami dengan virus flu yang sepertinya mulai menginvasi. Besok dia akan pindah ke kamar tamu.
Dalam situasi pandemi, keluhan seringan apapun harus diwaspadai karena C-19 punya julukan penyakit seribu wajah. Bisa menghadirkan keluhan beragam, termasuk seperti gejala flu.
"Mama kenapa pakai masker?" Hana, putri kecilnya menyapa di depan pintu kamar.
"Mama flu, Sayang. Nanti sarapan sama Papa ya? Belajar daring sama mbak Rini dulu. Jaga jarak sama Mama. Takut kamu ketular."
Ocha runtut memberi instruksi pada gadis 7 tahun yang yang visual wajahnya sama sekali tidak menurun sedikitpun dari genetiknya. Wajahnya bener-bener copy-an sang suami versi cewek. Dia cuman kebagian drum band saja selama 9 bulan kalau kata mertuanya.
"Cepet sehat ya, Ma. Hana nggak suka kalau Mama sakit gini." Hana menatap sendu sang mama tanpa bisa memeluk. Memiliki orang tua yang keduanya berkecimpung dalam dunia kesehatan, membuat Hana kecil memiliki pemahaman lebih mengenai situasi pandemi dan protokol sederhana di banding anak-anak lain seusianya.
"Aamiin. Doakan mama ya, Sayang. Sementara mama bobok kamar tamu. Hana jangan lupa pakai masker sama sering cuci tangan ya. Belajarnya di gazebo taman aja yang seger udaranya."
Ternyata instruksi sang mama belum berakhir. Bahkan dalam situasi sakit dia masih memikirkan perkara protokol pandemi untuk sang anak.
"Siap, Bosque! Udah, Mama lanjut istirahat saja. Nanti Hana minta Papa buat antar sarapan Mama. Love you, Ma..."
"Love you too, Princess."
Ocha melanjutkan langkah menuju kamar tamu. Rasanya tak sabar untuk merebahkan badan dan kepala nya yang terasa lebih berat sejak bangun waktu Subuh tadi.
"Yang, sarapan dulu terus minum obat." Bima menyentuh pelan bahu sang istri. Tak mau membuat perempuan mungil itu terkejut.
Melenguh pelan, Ocha membuka mata. Mendapati sang suami tersenyum duduk di pinggir ranjang sambil memegang mangkuk bubur.
"Abang kenapa gak pakai masker, sih? Udah taruh mangkuknya terus Abang keluar. Ocha masih bisa maem sendiri."
"Apa sih, Yang. Kok malah ngusir abang? Sakit kamu palingan karna mau jadi adiknya Hana itu. Inget kan waktu hamil Hana gini juga?"
"Adik Hana dari Korea? Abang lupa habis puasa hampir seminggu 3 hari yang lalu?"
"Heung? Masa, sih?" Dengan cuek Bima mencoba menyuapi sang istri yang ternyata malah mendapat penolakan.
"Abang kalau gak mau pakai masker keluar! Ocha masih bisa aktivitas sendiri. Heran, deh, Dokter kok bandel!"
"Iya, iya, abang sekalian pamit kantor habis ini. Ada trepanasi jam 9 pagi," pamit Bima sambil mencoba memberikan kecupan di dahi yang kembali mendapat penolakan sekaligus pelototan sang istri.
Bima terkekeh sembari melangkahkan kaki keluar kamar tamu, tempat sementara istrinya akan hibernasi. Dalam hati mengeluh karna sungguh, meski istrinya freak dengan bau keringat, tapi tidur tanpa memeluk Ocha sangat tidak nyaman. Aroma Ocha layaknya sedatif bagi Bima.
Ocha terlelap setelah menghabiskan semangkuk bubur dan menelan 2 butir obat yang disiapkan Bima saat sarapan. Terbangun saat jam menunjukkan pukul 13.30 WIB dengan pangkal hidung yang terasa semakin nyeri. Dia hampir kehabisan waktu dhuhur.
Prempuan berambut lurus sebahu itu kemudian bangkit menuju kamar mandi sambil mereka-reka sesuatu. Iya, Ocha merasa ada yang janggal pada dirinya. Saat mencuci muka dalam kamar mandi, istri Bima itu tertegun. Menyadari sesuatu yang janggal pada dirinya, perempuan itu belum mandi sejak bangun Subuh tadi. Membuatnya semakin tertegun manakala dia tidak mencium aroma keringatnya sama sekali. Kegelisahan perempuan berbibir tipis itu bertambah ketika ternyata aroma sabun yang biasanya segar terasa pudar meski baru dibuka dari kemasan.
Usai menjalankan ibadah Duhur, Ocha mengirimkan pesan kepada sang suami.
Me:
[Abang, aku belum mandi dari pagi.🥺]
Hana's Dad:
[Tumben? Wah, adeknya Hana beneran soon to be nih 😍]
Me :
[Ish! Bukan, Abang 😣]
[Aku ga bisa cium bau keringatku sendiri masa? 😫]
[Bau sabun baru juga terasa pudar 😭]
Hana's Dad calling...
"Assalamu'alaikum, Ab ...."
"Wa'alaikumsalam, kamu serius, Yang? Apalagi selain itu yang kamu rasain?"
"Bener, Abang. Bahkan kaos yang aku pake tidur semalam aku cium enggak bau sama sekali. Bau sabun sama pasta gigi juga pudar. Minyak kayu putih kalau enggak mepet hidung enggal kecium baunya. Padahal biasanya dipakai Hana dikit aja udah kesebar kan baunya ...."
"Oke, kamu tenang. Jangan panik. Abang konsul Dokter Jingga dan tim C-19 abis ini. Nanti treatment selanjutnya abang telfon lagi. Kamu tenang, jangan putus do'anya, Sayang. Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam," jawab perempuan itu lirih. Seketika Ocha duduk tertegun di pinggir ranjang. Dia sadar posisinya sebagai tenaga kesehatan sangat riskan dalam situasi pandemi saat ini. Tetapi mendapati diri nyaris kehilangan fungsi penciuman sangat di luar perkiraan.
Hana's Dad calling...
"Yang, tenang ya. Jangan panik. Abang sudah konsul dokter Jingga dan tim, kemungkinan kamu mengalami fase awal anosmia. Abang segera pulang bersama petugas lab untuk test swab kamu..."
Masih pada posisi duduk di pinggir ranjang, Ocha tak lagi terfokus pada suara sang suami di telefon. Rasa takut perlahan mulai menghampiri. Bukan, bukan ketakutan untuk dirinya sendiri. Tetapi lebih untuk orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang dicintainya. Hana dengan atopi bawaannya, Bima suaminya, bibik asisten rumah tangganya, mbak Rini pengasuh Hana, dan Yangti yang berusia hampir 80 tahun yang 2 hari lalu baru dikunjunginya setelah terjatuh di kamar mandi. Sungguh jika menyesal bisa memperbaiki keadaan, Ocha akan melangitkan penyesalannya tak menyukai aroma keringat yang saat ini tak mampu dia hidu dengan sempurna.
****
#OchaBima
#anotherversion
#ingatpesanibu
Cerita ini pernah saya unggah di sebuah grup penulisan FB. Saya revisi kemudian saya unggah kembali di sini. 😍
Bumi Proklamator, 20 Oktober 2021
Salam sehat penuh cinta 💙
~ndaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top