7
Cuaca hari ini cerah namun berawan sehingga tidak terlalu panas. Profesor Sumarto duduk di tepi waduk Selorejo sembari memegang alat pancing. Kepala keluarga Prawirohardjo itu tengah melalukan reuni bersama dengan teman-teman fakultas kedokteran angkatan tahun 1963. Lama-lama dia bosan juga karena sudah setengah jam menunggu umpannya tidak juga disambar ikan.
"Bagaimana kabar anak ragilmu?" tanya Profesor Sabdo Adi yang duduk di sebelahnya. Berbanding terbalik dengan Prof Sumanto ember milik pria itu sudah terisi lima ekor ikan.
Prof Sumarto mengerutkan alisnya. Ada apa kok tiba-tiba orang ini membahas putri bungsunya. Sudah jadi rahasia umum bahwa putri itu kabur dari rumah sepuluh tahun lalu dan belum pulang ke rumah sampai hari ini. Tidak ada orang yang pernah berani mengungkit tentang hal itu padanya kecuali ingin mati. Sayangnya saingan beratnya sejak masa kuliah dulu si Sabdo Adi ini tak pernah gentar menghadapinya.
"Baik-baik saja, dia sehat," ucap Prof Sumarto sembari mengumpat di dalam hati.
Prof Sabdo Adi tertawa kecil. Benar-benar menyebalkan sekali orang ini. "Yang aku dengar dari gosipnya, tidak terlalu baik."
Prof Sumarto mengenggam pancingnya erat-erat. Ingin rasanya dia lemparkan benda itu pada Si Sabdo Adi, tapi dia masih menahan diri. Yah, sebenarnya dia juga penasaran dengan gosip macam apa yang beredar tentang putrinya.
"Bukankah dia sudah kepala tiga, tapi dia belum juga menikah ya. Malah hobinya memelihara belatung," lanjut Prof Sabdo Adi.
Prof Sumarto terdiam. Astaga! Jadi gosip semacam itu yang menyebar tentang Putrinya. Yah, itu fakta sih bukan gosip.
"Umurnya belum tiga puluh masih dua sembilan. Bukankah zaman sekarang ini usia pernikahan yang matang di negara kita ini sudah bergeser." Prof Sumarto berusaha untuk tersenyum. "Lalu dia juga bukannya suka memelihara belatung. Itu hanyalah eksperimen karena hewan itu bermanfaat untuk menentukan waktu kematian korban."
"Benarkah jadi seperti itu ya? Orang-orang memang suka melebih-lebihkan cerita. Tapi tetap saja aku khawatir dengan putrimu itu. Sebaiknya dia segera mencari pasangan untuk menghindari gosip, kan? Ngomong-ngomong aku punya seorang cucu yang baru saja menduda."
Duda? Prof Sumarto bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini. Dia tidak lagi tertarik. Pria tua itu bangun dan merenggangkan ototnya. "Tunggu sebentar ya, aku sepertinya mau ke toilet," dalihnya. Dalam hatinya kepala keluarga Prawirohardjo itu mengumpat-umpat. Seenaknya saja, dia mau menjodohkan putrinya yang masih perawan pada cucunya yang sudah duda!
"Kakek mau ke mana?" tegur Gama dengan senyuman. Dia cucu angkat yang menemaninya hari ini. Berbeda dengan anak dan cucu lainnya yang suka sok sibuk kalah diajak mancing, Gama ini tak pernah menolak. Dokter obgyn ini memang sungguh high quality. Sayang sekali dia sudah menikah.
"Aku mau ke toilet sebentar," kata Prof Sumarto.
"Saya antar, Kek," tawar Gama.
Prof Sumarto mengangguk. Maka dia pun melangkah menuju toilet di temani cucu angkatnya itu. Biar tadi dia pergi karena beralasan. Tahunya sekarang dia kebelet pipis beneran. Maklumlahnya udah tua, jadi kandung kemihnya udah kendor.
"Gama, apa kamu nggak punya temen seumuran yang jomblo?" tanya Prof Sumarto.
Gama tampak berpikir. "Sepertinya tidak ada, Kek. Kebanyakan teman-teman seusia saya sudah menikah. Kalau yang duda ada sih."
"Jangan dudda!" ketus Prof Sumarto langsung. Bertepatan dengan itu, ponselnya bergetar. Pria itu merogohnya. Karana bunyi berbeda, pesan yang masuk pasti dari orang penting. Ternyata yang menghubunginya adalah Edwin Candra. Cucu angkat dia yang lainnya. Anak yang dia pungut delapan tahun lalu dan kini sudah menjadi CEO di perusahaan farmasi milik Prawirohardjo.
"Tolong kamu bacakan, Gama. Kaca mata Kakek ketinggalan." Prof Sumarto menyodorkan ponselnya pada Gama yang menerimanya dengan senang hati.
"Assalamu'alaikum.
Bagaimana kabar Kakek?
Katanya Kakek sedang pergi mancing ya di Selorejo. Maaf menganggu, Kek. Tapi sepertinya saya harus memberikan laporan keuangan bulan ini untuk Kakek. Saya berencana membuka kantor cabang baru di Malang bulan depan. Bagaimana menurut Kakek?" Gama membacakan pesan tersebut.
Ho ... Kantor cabang baru. Sudah pasti Prof Sumarto setuju. Pria tua itu melengkungkan bibir senang. Memang sungguh pilihan tepat menyerahkan bisnisnya pada Edwin ya. Tunggu sebentar! Bukannya Edwin itu jomblo? Seperti dia dan Sasa juga seumuran! Pas banget!
"Tolong ketikan jawabannya ya, Gama. Bilang saja aku setuju dan percaya sepenuhnya dengan keputusannya. Lalu tolong tanyakan juga apa dia masih jomblo," titah Prof Sumarto.
"Baik, Kek," angguk Gama sembari mengetikkan pesan tersebut. Tak beberapa lama balasan dafi Edwin pun masuk kembali.
"Katanya dia sudah punya calon, Kek. Mungkin akan menikah awal tahun depan."
Prof Sumarto menghela napas. Astaga! Dia terlambat sekali. Tapi masih awal tahun depan, kan? Sebelum jalur kuning melengkung bukannya dia masih ada kesempatan.
"Oh ya, coba minta dia kirim foto calonnya. Kakek penasaran."
"Baik, Kek."
Tak beberapa lama ponsel yang dipegang Gama bergetar lagi. Dokter Obgyn itu lantas memperlihatkannya pada Prof Sumarto. "Ini Kek, fotonya."
Prof Sumarto mengerutkan kening memandangi foto yang dikirimkan Edwin. Ya ampun cantik sekali calonnya si Edwin. Kalau begini anak itu nggak bakal tertarik dengan Sasa dong. Meskipun Sasa itu juga cantik tapi anak gadisnya itu terlalu eksentrik.
Tidak! Tidak bisa! Prof Sumarto tidak bisa melepaskan Edwin begitu saja! Bagaimana kalau dia pura-pura pingsan saja nanti? Kalau dia sakit orang-orang pasti akan menuruti apa pun keinginan dia ya kan? Di sinetron sih biasanya begitu.
"Aduh, aku rada pening ya." Prof Sumarto memegangi kepalanya. Aktinya cukup menyakinkan sehingga Gama memeganginya dengan cemas.
"Kakek nggak apa-apa? Gimana kalau duduk dulu?" tawar Gama.
"Uh, ya nggak apa. Aku ke toilet aja dulu," ucap Prof Sumarto karena hasrat ingin pipisnya sudah tidak bisa dipendam lagi. Nanti saja dia lanjutkan aktingnya seusai menuntaskan hajatnya.
***
Vote dan komen ya guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top