60
Sasa dan Edwin berjalan kaki menuju tempat diadakannya acara Malang Tempoe dulu yaitu di Jalan Ijen. Jalan yang menjadi ikon kota Malang karena jalannya luas dan bersih. Sebelum masih ternyata mereka diwajibkan untuk mengenakan pakaian tradisional. Untungnya ada stan yang menyewakan baju untuk para pengunjung. Sasa memilih kebaya rancongan warna merah beserta jarik. Edwin memakai baju pesa'an, baju adat Jawa Timur dengan motif merah putih horizontal yang dibungkus dengan jas hitam polos dan celana komprang. Sewanya cukup murah 5.000 per jam.
Setelah selesai berganti baju di kamar pas ala kadarnya, Sasa dam Edwin pun memasuki area festival. Stan-stan berjajar di sepanjang jalan. Mereka menjajakan apa saja. Ada yang jualan baju, makanan, suvenir. Semuanya bertema jadul. Sasa melihat ada es gandul yang menarik mata. Itu hanyalah es serut biasa dikepal lalu di siram dengan sirup. Yang unik adalah es itu ikat dengan tali merang, batang pagi yang sudah kering sehingga cara makannya adalah dihisap dari bawah.
"Belikan itu," tunjuk Sasa.
Edwin mengangguk saja. Mereka menuju stan itu dan memesan dua. Setelahnya mereka berjalan-jalan berkeliling sembari menghisap es yang sudah eksis sejak zaman penjajahan itu. Sasa mengamati Edwin yang tampak tajub dengan festival rutin tahunan Kota Malang ini.
"Kamu belum pernah ke sini?" tegur Sasa. Padahal Edwin kan pernah tinggal di Malang cukup lama.
"Nggak. Waktu aku masih kecil belum ada festival macam ini. Aku hanya tinggal di Malang sampai usia 11 tahun aja. Setelah ibuku meninggal aku di asuh nenek. Setelah itu aku nggak pernah ke sini lagi. Ini adalah pertama kali aku ke sini setelah 20 tahun," aku Edwin.
"Kenapa?" tanya Sasa. "Kenapa kamu nggak pernah ke Malang lagi?" Sasa penasaran apakah ada trauma dibalik alasan Edwin tidak pernah pulang ke kota kelahirannya ini.
"Karena nggak ada alasan untuk ke sini. Orang tuaku sudah meninggal. Nenek juga memutuskan menjual rumah dan mobil ayah untuk biaya pendidikanku," jelas Edwin.
"Katamu kamu sering rapat di Villa Prawirohardjo yang kita tempati sekarang?"
"Iya, tapi secara administratif vila itu ada di Wilayah Kota Batu. Kalau aku sehari dua kali untuk lewat saja pernah. Tapi kalau datang khusus untuk melihat festival ini belum pernah."
Sasa dan Edwin kebetulan melewati panggung. Di atas sana dia melihat ada Dito yang ternyata sedang memberikan sambutan. "Eh, itu dari P-Farma ya?" tanya Sasa karena melihat logo huruf P yang dililit ular.
"Iya, ini acara promosi yang aku usulkan kemarin ternyata hari ini ya pembukaannya," kara Edwin. Dia mengamati manajernya di atas panggung yang cukup luas memberikan informasi mengenai basic life support. Tak lama kemudian muncullah para penari dengan baju kebaya yang menari dengan gerakan ala Resusitasi Jantung Paru dengan diiringi musik Korea lagu berjudul "Solo" yang dipopulerkan oleh Jennie Blackpink.
"Wow, konsepnya unik juga," komentar Sasa. "Kenapa kamu nggak ikut membuka acaranya? Bukannya kamu CEO?"
"Aku hanya menyusun konsepnya saja. Semuanya sudah diselesaikan oleh Manajarku," sahut Edwin.
"Berarti sebenarnya kamu nggak harus datang ke Malang juga, ya?"
Pertanyaan Sasa itu menusuk sanubari Edwin. Benar. Dia emang nggak harus ke sini. Dia ke sini kan karena ingin membuntuti Sasa. Tapi tentu saja Edwin tidak mau mengakuinya. Saat Edwin bingung harus memberikan jawaban apa syukurlah ada yang memanggil nama Sasa dan membuat perhatian istrinya itu teralihkan. Itu adalah Pak Yanto yang sedang menggandeng seorang anak perempuan kecil.
***
Up gaes! Terima kasih untuk votes dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top