46
"Apa kamu pernah jatuh cinta?"
Sasa tercengung. Ya, tentu saja dia pernah jatuh cinta. Tapi Sasa enggan mengakui kalau lelaki yang pernah dan masih dia sukai itu adalah Edwin.
"Enggak," dustanya.
"Kalau gitu kamu nggak akan pernah tahu perasaan aku," ucap Edwin diplomatis. Dia mengambil papan catur dan menyusun bidak-bidaknya supaya mereka bisa memulai permainan.
Edwin jadi teringat kenangan masa lalu. Hal yang membuat dia dan Sasa cukup dekat salah satunya adalah permainan catur ini. Dulu kalau bosan menunggu praktikum biasanya dia dan Sasa menghabiskan waktu di kantin sambil main catur. Wajah Sasa yang serius memandangi papan catur itu dulu terlihat cantik bagi Edwin. Itulah salah satu dari sekian alasannya yang membuat dulu jatuh hati pada wanita itu.
Sasa mengernyit sedikit lalu buang muka. "Kalau jatuh cinta itu bikin orang jadi bego kayak kamu mendingan aku nggak usah jatuh cinta selamanya," ejek Sasa.
"Kamu bisa ngomong begitu karena belum tahu rasanya!" sengit Edwin. "Orang kayak kamu nggak mungkin bisa jatuh cinta. Kamu hanya mencintai dirimu sendiri saja!"
Sejak zaman kuliah dulu, tidak hanya sekali dua kali Edwin ingin menyatakan perasaannya pada Sasa. Namun tindakan cewek itu membuat Edwin sadar bahwa Sasa tak pernah menganggap Edwin lebih dari sekadar teman. Sasa itu cukup populer dan banyak lelaki yang lebih kaya dan tampan PDKT padanya. Edwin akhirnya kehilangan kepercayaan diri dan memilih menyimpan perasaan itu dalam hati saja. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Siska. Wanita yang baik dan mau menerimanya sebagai pacar.
"Oh ya, tapi dari apa yang aku dengar. Orang nggak akan bisa jatuh cinta jika tidak mencintai dirinya sendiri lebih dulu," kekeh Sasa.
"Coba kamu pikir baik-baik apa Siska itu bener mencintaimu atau hanya ingin hartamu? Jangan-jangan setelah kamu jatuh miskin dia pergi."
Edwin mengigit bibirnya jengkel. "Jangan ngomong sembarangan tentang Siska! Kamu nggak tahu apa-apa."
"Aku jelas tahu lebih banyak dari kamu," elak Sasa. "Apa kamu nggak tahu kalau intuisi cewek itu bagus? Coba deh kamu pikir dalam hubunganmu selama ini, siapa yang lebih banyak berkorban? Cinta itu adalah tentang memberi dan menerima. Kalau kamu lebih banyak memberi, apakah itu masih bisa disebut cinta?"
Edwin terdiam sejenak. Memang selama ini dirinya lebih banyak berkorban daripada Siska, tapi Edwin tak mau mengakuinya.
"Itu karena aku memang punya lebih banyak hal untuk dikorbankan. Sedangkan Siska sudah banyak menderita," dalihnya.
Sasa diam saja. Percuma saja rasanya dia mendebat makhluk bucin ini. Dia tidak akan sadar sampai kapan pun. Ponsel Sasa berdering. Sasa melihat nama kontak yang tertera di layar adalah nama Raka.
"Iya, halo, Rak."
Edwin meremas tangannya. Si Raka ini nggak tahu jam kerja ya menelepon malam-malam begini. Namun Edwin tidak bisa memprotes walaupun dia tidak senang.
"Aku nggak menganggu malam pertama pengantin baru yang tidak terpisahkan, kan?" tanya Raka yang ternyata cukup peka.
"Nggak, ada apa? Apa sudah ada perkembangan penyelidikan?" tanya Sasa.
"Hm, iya... Aku baru menemukan sesuatu yang seru. Kamu tahu nggak ternyata Bu Laila—mertuamu itu—dan Pak Yanto itu teman satu angkatan di SMA."
Sasa terperanjat mendengar ucapan Raka itu. Dia jadi teringat akan ekspresi wajah Pak Yanto yang terlihat resah saat mereka tadi membahas tentang kesaksian Edwin tentang catatan telepon rumahnya yang tidak dimasukkan Pak Yanto ke dalam berkas pemeriksaan. Apa kira-kira orang itu menyembunyikan sesuatu?
***
Vote dan komen ya Guys.
Numpang promo dulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top