4
"Edwin!" Sasa memanggil lelaki yang berjalan beberapa meter si hadapannya. Pemuda berambut keriting yang acak-acakan itu menoleh sembari membetulkan letak kacamatanya yang melorot.
"Hei," sapa pemuda itu lesu.
"Kenapa kamu lemes begitu? Belum makan?" tegur Sasa.
Edwin mengamati Sasa yang kelewat ceria. "Kamu sendiri kelihatan kok seneng banget?" Bukannya menjawab, lelaki itu malah balik bertanya.
"Iya dong. Hari ini kan kita mau melihat prosedur pembedahan mayat secara langsung. Inilah tujuanku menjadi dokter," kekeh Sasa.
Edwin mengernyit. Tampaknya dia tidak mengerti dengan jalan pikiran Sasa yang tak pernah sama dengan orang normal.
"Segitunya kamu pengen jadi spesialis forensik?" tanya Edwin. "Biasanya orang-orang tuh ingin jadi dokter karena ingin menyembuhkan orang sakit. Kamu malah jadi dokter karena ingin membedah mayat."
"Aku kan bukan orang biasa. Aku ini Sasa Ayuwandira," kata Sasa pongah.
"Oh ya, kamu mau aku kasih lihat hewan peliharaanku nggak? Aku bawa karena nanti mau aku kasih lihat ke Profesor." Sasa mengangkat goodie bag yang dia bawa.
Kening Edwin mengerut lagi. "He? Kamu punya hewan peliharaan? Kamu pelihara apa? Hamster? Buat apa dikasih lihat Professor segala?" tanya cowok itu.
"Hamster itu kanibal. Nggak imut. Ini hewan yang aku pelihara buat skripsi nanti. Cute banget deh pokoknya. Lihat deh."
Edwin tidak pernah tahu kalau Sasa itu pecinta binatang. Sasa itu sukanya dengan hal-hal yang ghotic dan seram. Edwin jadi penasaran. Dia menerima godie bag itu dari tangan Sasa. Entah kenapa hewan peliharaan Sasa ini baunya saja sudah bikin mual banget.
"Bau banget sih, Sa! Kayak bau mulutmu!" olok Edwin.
Sasa tergelak aja. "Ya ampun. Ternyata selama ini kamu suka cium-cium bau mulutku ya.
Edwin tidak lanjut berdebat. Dia mengintip saja ke dalam goodie karena penasaran. Betapa terkejutnya Edwin ketika melihat potongan daging di dalam botol air mineral yang dilubangi kecil-kecil. Di dalamnya ada banyak sekali makhluk kecil-kecil berwarna putih yang menggeliat-geliat penuh semangat seperti sedang menonton konser dangdut.
"Uwaaaa!" Spontan Edwin melemparkan godie bag itu menjauh.
"Hei! Kenapa kamu lempar!" teriak Sasa panik. Dia segera mengambil godie bagnya tadi dan memeluknya dengan penuh kasih. "Cup cup sayang. Kalian nggak apa-apa, kan?" ucapnya khawatir. Sasa menoleh pada Edwin dengan emosi. "Jahat banget sih kamu! Mereka ini masih bayi tahu. Mereka sensitif terhadap goncangan!" amuk Sasa.
"Gi-gila! Kamu pelihara belatung!" Edwin tergagap karena saking kagetnya melihat hewan peliharaan Sasa yang terlalu ekstrem. Dia lebih syok lagi melihat bagaimana Sasa memperlakukan makhluk itu dengan penuh kasih sayang. "Jijik banget sih!"
"Ssst! Nggak boleh ngata-ngatain hal jahat begitu pada bayi!" Si aneh Sasa malah menegur Edwin.
Edwin geleng-geleng kepala aja. "Aku yang bego karena berharap kamu punya hewan peliharaan yang normal.
"Kenapa kamu lebay banget sih," ketus Sasa.
"Pada akhirnya semua yang hidup akan mati. Begitu pun manusia. Akan membusuk dan jadi makanan belatung. Masa depanmu nanti juga bakal seperti ini."
Edwin menghela napas saja. Ucapan Sasa tidak salah tapi tetap saja baginya memelihara belatung itu tidak masuk akal.
"Ya udahlah, buruan ke lab forensik aja. Nanti kita telat." Lelaki itu mempercepat langkah menuju laboratorium forensik untuk mengikuti mata kuliah preklinik mereka hari ini. Sasa mengekornya dari belakang.
"Jaga jarak dua meter dari aku! Kamu dan hewan peliharaanmu itu bau!" omel Edwin.
Sasa mencibir saja. Dia mundur beberapa langkah sembari menggerutu. Sasa dan Edwin akhirnya sampai di depan lab forensik. Para mahasiswa sudah berkerumun di sana. Tak lama profesor mereka muncul juga. Bapak tua itu menyapa mereka sembari memerintah pada asistennya untuk membuka kunci laboratorium forensik.
Sasa menyapa sang profesor dengan ceria dan menunjukkan hewan peliharaannya. Mahasiswa yang lain tentu saja bergidik jijik. Namun sang profesor malah tampak tertarik dengan bayi-bayi kesayangan Sasa itu.
"Wah, ini berapa hari umurnya?" tanya sang profesor.
"Tiga hari, Prof. Panjang mereka 9-11 mm," jawab Sasa ceria.
"Wah menarik. Kamu mau ambil judul ini buat skripsi ya?"
"Ya, Prof."
"Bagus, semoga lancar ya." Profesor itu menepuk-nepuk pundak Sasa dengan rasa bangga.
Setelah itu, mereka pun dipersilakan masuk ke dalam ruang kelas. Bau formalin yang pekat segera menguasai indera Edwin. Tubuh pemuda itu rasanya gemetar. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya.
"Kamu nggak apa, Ed?" tegur Sasa melihat kondisi temannya itu yang tampak tidak baik.
"Nggak apa," geleng Edwin.
Ketika mereka melangkah ke dalam laboratorium. Sebuah jenazah telah diletakkan di sana. Seorang wanita dengan mata terpejam yang terbaring dengan tenang di atas brankar.
"Sebelum melakukan prosedur otopsi. Kita melakukan inspeksi terlebih dahulu untuk mengamati luka-luka luar pada tubuh korban," jelas Profesor sembari mengenangkan gown dan masker.
"Setelah itu kita akan membedahnya pada bagian thorax dengan sayatan membentuk huruf Y."
Edwin tidak kuasa ketika melihat Profesor mengambil scapel dan mulai membedah tubuh jenazah itu. Tubuh pemuda itu limbung dan jatuh bersandar pada pundak Sasa. Sasa terkejut karena melihat temannya itu yang begitu pucat.
"Edwin! Edwin!"
***
Votes dan komen ya guys...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top