39
Raka tahu betul bahwa suami Sasa itu tidak menyukainya. Kelihatan banget pria itu menatapnya tajam beberapa kali. Iya sih, mereka kan pengantin baru tapi Raka sudah membawa kabur Sasa begini, tapi ini kan urusan pekerjaan.
"Maaf sudah lama nunggu?" tanya Edwin.
"Nggak kita juga baru sampai," jawab Sasa. "Kita lagi diskusi tentang Eye Fairy. Apa kamu kira-kira punya petunjuk?"
Edwin menghela napas ketika melihat foto ibunya di atas meja. Wanita yang dulu menjadi orang paling berarti itu meninggalkannya dengan cara yang mengerikan.
"Aku sudah mengatakan ini pada polisi ketika dulu tapi sepertinya polisi tidak mendengarkan pendapatku karena waktu itu aku terlalu kecil. Sekitar beberapa hari sebelum meninggal, ibuku bertengkar dengan seseorang di telepon. Ibuku bilang dengan marah bahwa dia tidak mau menikah lagi."
Raka tercengang mendengar perkataan Edwin itu. "Tidak pernah ada catatan seperti itu pada file kasus ini. Padahal itu kesaksian yang cukup penting bagaimana mungkin polisi melewatkannya," kata Raka.
"Apakah kira-kira kita bisa memeriksa catatan telepon dari dua puluh tahun yang lalu?" tanya Sasa.
"Akan aku coba tanyakan pada Pak Abu," jawab Raka. Pak Abu adalah timnya di bidang IT.
Sasa mengamati berkas-berkas file di hadapannya lagi. "Dua korban dinyatakan menghilang dua hari sebelum akhirnya ditemukan di tempat pembuangan sampah. Hanya ibumu saja yang jenazahnya di letakkan langsung di depan rumah. Kenapa begitu?" tanya Sasa.
"Aku juga memikirkan hal itu. Sepertinya si pembunuh ini kenal baik dengan korban ketiga. Makanya dia sengaja mengantarkan jenazah ke rumahnya."
"Dia membunuh orang yang dia kenal bahkan memutilasinya menjadi potongan kecil-kecil? Orang ini pasti sakit jiwa," decak Sasa. "Apa selain itu kamu tidak punya informasi lainnya?" tanya Sasa.
Edwin menggeleng. "Kecuali polisi pengusut kasus yang menyebalkan aku tidak ingat apa-apa. Waktu itu memang aku masih terlalu kecil."
Sasa mengingat sosok Pak Yanto tadi yang ramah dan sopan padanya. Kelihatan orang itu biasa saja. "Polisinya menyebalkan?" tanya Edwin.
"Iya, karena dia tidak mau mendengarkan kesaksianku sama sekali. Kalau mengingat orang itu rasanya pengen kutojos," geram Edwin.
"Sepertinya aku akan mengusut ulang kasus dua puluh tahun lalu ini. Aku akan menemui orang-orang yang mengenal para korban," kata Raka.
"Kalau begitu aku akan membantumu menyelidiki kasus yang baru. Karena identitasnya belum terungkap, aku akan mencoba berhubungan dengan klinik gigi di sekitar kota Malang. Aku yakin pasti menemukan odontogramnya. Aku juga akan menanyakan pada Pak Yanto mengenai pemeriksaan catatan telepon itu.
"Terima kasih, Sasa. Aku berangkat dulu ya. Mari, Kak." Raka tersenyum pada Edwin. Namun pria itu hanya membalas seadanya saja.
Kenapa dia memanggilnya kakak? Padahal polisi itu memanggil Sasa hanya dengan nama. Kenapa sih semua polisi itu menyebalkan? Begitu pikir Edwin. Namun Edwin merasa senang karena Raka segera menghilang.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Sasa.
"Ah, iya. Sudah hampir selesai. Lusa seperti cabang baru kami sudah siap lauching," jawab Edwin. Yah, dia tidak mengakui bahwa alasannya ikut Sasa ke Malang ini sebenarnya bukan karena mengurus cabang baru itu. Tanpa dia perlu datang pun cabang itu sebenarnya sudah siap launching.
"Kamu belum makan, kan? Bagaimana kalau kamu pesan dulu sebelum pergi?" tawar Sasa.
Edwin memandangi mille feuille milik Sasa dan mengangguk. Sepertinya dia butuh asupan gula.
***
Up! Makasih buat vote dan komennya.
Kuy daftar ya gaes. Ada voucher gratis baca di Karyakarsa senilai 20k. Dan doorprize 1 buku karyaku bagi yang beruntung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top