35

"Kamu beneran nggak apa?" tanya Sasa. Dia sungguh cemas melihat kondisi Edwin yang sepertinya semakin lemas.

"Sudah nggak apa kok. Kalau aku tidur sebentar juga udah baikan, " sahut Edwin sembari memejamkan mata.

Sasa mengembuskan napas dan kembali fokus pada lalu lintas di depannya. Karena masih pagi buta jadi kendaraan cukup lenggang.

"Ed," panggil Sasa. "Dulu setiap kali lihat darah kamu juga selalu over begini. Tapi reaksimu ini tadi sedikit parah. Aku nggak akan maksa kamu buat cerita. Tapi kadang-kadang sekadar curhat itu bisa meringankan stres."

Sasa melirik suaminya itu lagi. Napas Edwin tampaknya sudah lebih teratur. "Aku belum pernah menceritakan ini sama orang lain," lirih Edwin.

"Dua puluh tahun lalu, aku masih SD kelas tiga. Pulang sekolah aku melihat ada kardus mesin cuci di depan rumah. Aku kira ibuku beli mesin cuci baru. Aku seneng banget dan langsung buka kardus itu. Tapi ternyata isinya bukan mesin cuci melainkan mayat. Ada kepala dan tiga belas tulang lalu irisan daging yang dipotong kecil-kecil seperti fillet. Walaupun wajahnya rusak dan matanya sudah dicongkel, entah bagaimana aku bisa mengenalinya. Itu adalah jenazah ibuku."

Netra Sasa terbeliak. Sesekali dia mengalihkan perhatiannya untuk mengamati ekspresi wajah Edwin. Sasa tidak bisa melihatnya, karena Edwin. Menutupi wajah dengan punggung tangan kanan.

"Sejak saat itu aku punya hemophobia yang parah. Itulah yang membuat aku tidak bisa menjadi dokter."

Sasa terdiam. Dia tidak pernah menyangka Edwin punya kisah masa lalu seperti itu. Edwin dan Sasa dulu adalah sama-sama penerima beasiswa di kampus. Edwin memang anak yatim piatu. Keluarga dia satu-satunya adalah neneknya yang mengalami demensia. Saat tingkat dua, nenek Edwin itu meninggal.

Meskipun mereka cukup dekat, Edwin dan Sasa jarang bercerita tentang orang tua mereka. Sasa hanya pernah bilang bahwa dia kabur dari rumah karena bertengkar dengan ayahnya. Sementara Edwin, tak pernah membicarakan orang tuanya sama sekali. Itulah mengapa Edwin tidak pernah tahu bahwa Sasa adalah putri dari keluarga konglomerat Prawirohardjo. Sementara Sasa juga tidak tahu kisah pilu di balik kematian orang tua Edwin.

Sasa menggigit bibir bahwanya. Dia mengingat bagaimana dirinya dulu mengejek dan menertawakan Edwin karena takut pada darah. Sudah pasti Edwin akan mengalami trauma jika mengalami hal semacam itu. Kini Sasa merasa amat bersalah.

"Maaf," ucap Sasa. "Selama ini aku sering ngejekin kamu."

Edwin tersenyum saja. "Kamu kan nggak tahu apa-apa. Aku emang nggak pernah berani cerita ini ke siapa-siapa. Aku nggak tahu kenapa ibuku bisa jadi korban. Karakteristik korban yang dipilih oleh Eye Fairy kebanyakan adalah pekerja seks komersial atau kupu-kupu malam. Kenapa ibuku yang perawat biasa bisa jadi korban? Aku takut. Mungkin saja ibuku yang sebenarnya menyembunyikan sisi kelamnya. Tapi aku juga tidak bisa bertanya karena beliau sudah tiada. Aku tidak ingin orang-orang mengenang ibuku sebagai korban dari kasus pembunuhan berantai."

Edwin dan Sasa hening sejenak. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Edwin kembali bersuara.

"Kasus kali ini, apa mungkin pelakunya sama?" tanyanya.

"Aku nggak tahu," aku Sasa. "Ada beberapa kejanggalan. Pertama kalau pelakunya sama berarti usia si pelaku sekarang ini sekitar enam puluh tahun? Apa itu mungkin? Lalu kenapa jarak antar kasus mencapai dua puluh tahun lamanya? Apa yang dilakukan Eye Fairy selama dua puluh tahun itu? Kenapa dia tidak membunuh orang di sela waktu itu? Ada begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa kami jawab. Semoga setelah autopsi nanti aku bisa menemukan petunjuk."

***

Votes dan komen ya guys...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top