34

Edwin memperhatikan Sasa yang sibuk memainkan ponselnya. Suara notif tak henti-henti berbunyi. Kayaknya dari tadi dia whatsappan terus. Sama siapa? Apa sama si Raka itu? Cih! Padahal dia sudah susah payah minta semua jadwalnya ditunda cuman buat nganterin Sasa. Eh, kok dia malah jadi kayak sopir yang dicuekin macam ini.

"Kamu whatsappan sama Raka?" tebak Edwin.

"Hm... iya," balas Sasa tanpa menoleh.

"Bahas apa kayaknya seru banget?"

"Lagi diskusi tentang kasus."

Keringat dingin seketika mengucur si dahi Edwin. "Kasus mutilasi tadi itu?"

"Iya modusnya katanya sama dengan kasus dua puluh tahun yang lalu yang juga pernah terjadi di Malang."

Edwin terdiam. Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Sama dengan kasus dua puluh tahun yang lalu? Jangan-jangan kasus yang itu? Tidak banyak kasus mutilasi yang terjadi di Malang, kita kelahiran Edwin. Detak jantungnya ketika meningkat.

"Kamu pernah dengar kasus Eye Fairy?" tanya Sasa.

Dokpol itu tertegun ketika dia menoleh pada Edwin. Wajah suaminya itu pias sekali. Tangannya yang gemetaran mencengkram setir dengan kuat.

"Kamu nggak apa, Ed?" tanya Sasa khawatir. Apa Si Edwin masih kelelahan gara-gara olahraga kasur semalam?

"Nggak. Aku nggak apa. Iya lanjutkan. Kenapa dengan kasus itu?"

"Hm... Itu kasus yang terjadi dua puluh tahun lalu. Korbannya adalah wanita berusia 20-30 tahunan. Modusnya hampir sama dengan kasus Setiabudi 13 sehingga awalnya banyak yang mengira pembunuhnya adalah orang yang sama. Masalahnya kasus ini terjadi tahun 2001, atau 20 tahun setelah kasus Setiabudi 13 yang dulu terjadi di Jakarta tahun 1981. Tubuh korban dimutilasi dengan memisahkan tulang dengan dagingnya. Tulang-tulang berjumlah tiga belas sementara dagingnya dipotong kecil-kecil menjadi 180 potong. Lalu yang membedakannya dengan kasus Setiabudi 13 adalah mata korban yang dicongkel, karena itulah pembunuhnya disebut Eye Fairy. Korbannya juga lebih banyak dari kasus Setiabudi 13. Kira-kira ditemukan 3 mayat yang dibunuh dengan modus yang sama di tahun itu."

Sasa berhenti sejenak dan mengamati Edwin lagi. Wajah cowok itu benar-benar pucat. Sampai rasanya kalau ada yang bilang Edwin nggak punya darah, Sasa bakal percaya.

"Edwin kamu nggak apa? Kamu kayaknya sakit! Berhenti dulu. Biar aku aja yang nyetir," ucap Sasa.

Edwin menuruti usulan Sasa itu. Dia menepikan mobil sebentar. Sasa memperhatikan napas suaminya itu yang ngos-ngosan. Dokpol itu mengusap dahi Edwin yang berkeringat dengan sapu tangannya.

"Kamu nggak apa?" tanya Sasa.

Kondisi Edwin benar-benar aneh. Napasnya cepat sekali dia seperti mengalami hiperventilasi. Sasa melihat ada kantong keresek di jok belakang untuk membungkus bunga-bunga yang menghiasi mobil mereka tadi. Sasa meraih benda itu dan memberikannya pada Edwin. Lelaki itu menerimanya laku bernapas dengan memasukkan hidung dan mulutnya ke dalam kantong plastik hitam itu. Sasa menepuk-nepuk punggung Edwin untuk menenangkannya. Dia jadi teringat pada kejadian beberapa tahun silam pada masa preklinik. Edwin pingsan ketika dia praktikum forensik. Kini cowok ini sampai panik begini hanya karena mendengar ceritanya saja. Gejala Edwin seperti PTSD.

"Maaf," ucap Edwin setelah napasnya kembali normal.

"Kamu pindah duduk di sini aja. Biar aku yang nyetir," kata Sasa.

Dia membuka pintu dan berputar ke kursi kemudi. Edwin menurut dan berpindah ke tempat duduk Sasa tadi. Yah, kondisinya emang nggak bagus buat mengendarai mobil. Yang ada nanti mereka bisa kecelakaan.

Sasa duduk kursi kemudi dan memperhatikan Edwin sekali lagi. Kondisi cowok itu sama sekali tidak biasa. Sekarang dia tampak lemas sekali.

"Kamu nggak apa? Apa kita ke rumah sakit aja?" tawar Sasa.

Edwin menggeleng. "Aku sudah nggak apa. Kita lanjut aja, kalau siang sedikit jalanan sudah macet," katanya.

Meskipun Sasa masih khawatir, dia menyalakan mesin mobil dan kembali menyusuri jalan menuju kota malang.

***

PTSD = Post Traumatic Stress Disorder, gangguan kecemasan yang membuat penderita teringat pada kejadian traumatis.

***

Votes dan komen ya guys...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top