31
Jantung Edwin berdebar kencang sekali. Keringatnya bercucuran. Badannya rasanya capek sampai tidak bisa digerakkan lagi. Namun ada perasaan luar biasa yang memenuhi tubuh dan pikirannya.
Jadi begini rasanya skidipapap itu. Pantas saja orang-orang rela keluar uang buat ini. Edwin menampar pipinya sendiri karena kesal. Sialan! Kenapa rasanya enak banget!
Edwin menarik selimut dan membungkus dirinya sehingga mirip dengan kepompong besar. Sasa yang terbaring di sampingnya tertawa kecil melihat tingkah laku suaminya yang imut itu.
"Hei, kenapa ditutupi gitu. Nanti kamu nggak bisa napas," tegur Sasa.
"Bi-biasanya aku kalau tidur emang begini!" dalih Edwin. Dia tidak bisa melihat Sasa lagi. Kalau dia melihat cewek itu rasanya dia yang bakal menyerang duluan untuk ronde keempat.
Suara tawa Sasa yang renyah itu membuat Edwin makin jengkel. Dia merasakan elusan lembut dari luar selimut.
"Kamu imut banget sih, Win. Pengen gigit deh."
Sialan! Harga diri Edwin terluka karena dibilang imut.
"Kamu lihai banget ya, Sa. Kayaknya kamu udah sering ya beginian?" tuduh Edwin.
"Kamu nggak lihat tadi aku keluar darah?" Sasa malah balas bertanya.
Edwin mengerutkan kening. Bener juga. Waktu ronde pertama tadi Sasa berdarah dan rasanya emang sempit banget. Sempit tapi hangat. Seperti itu bukti bahwa Sasa juga baru pertama kali. Tapi kenapa dia sepandai itu sih?
Plak! Edwin menampar pipinya lagi untuk mengusir pikiran-pikiran kotor dari otaknya. Kalau mengingat bagaimana teknik Sasa tadi rasanya libidonya jadi naik lagi.
"Dalam hal apa pun itu, aku ini sudah pintar sejak awal," sumbar Sasa sombong.
Meskipun merasa jengkel, Edwin tidak bisa mengelak. Sasa itu emang cerdas. Zaman kuliah dulu, praktikum sesulit apa pun bisa dilakukan Sasa dalam sekali coba. Nilai-nilainya pada pelajaran teoritis juga selalu mendapat A biarpun anak itu jarang belajar.
Tiga orang profesor sampai memperebutkan Sasa untuk jadi asisten mereka. Pada akhirnya Sasa malah bisa membagi waktu untuk menjadi asisten tiga orang itu sekaligus dan masih bisa menjadi lulusan terbaik. Orang-orang sampai menjulukinya jenius yang hanya lahir seratus tahun sekali. Begitu lulus, Sasa mendapatkan banyak tawaran beasiswa untuk lanjut spesialis, tapi Sasa malah memilih jurusan forensik yang kurang populer. Yah, Edwin jadi bisa ngerti sih bagaimana perasaannya Prof Sumarto. Sasa pasti lebih sukses seandainya dia ambil jurusan bedah.
"Kalau gitu jadwal ena-ena berikut tiga hari lagi ya, " kata Sasa.
"A-apa! Bukannya sebulan sekali?" Edwin yang terkejut terpaksa mengeluarkan kepalanya agar bisa ngomong, dan dia langsung menyesal karena jadi melihat Sasa yang masih memakai lingerie-nya yang tadi.
Sasa ketawa aja. "Kamu ternyata mau nikah sama aku selamanya ya? Kapan dedek bayinya jadi kalau kita jarang skidipapap?"
"Ka-kalau gitu dua minggu sekali," tawar Edwin.
"Tiga hari," tegas Sasa.
Edwin tidak bisa berkomentar lagi dia kembali memasukkan kepala dalam selimut. Sepertinya jantungnya makin nggak karuan karena melihat penampilan Sasa dalam balutan kain yang minim bahan itu.
"Ya udah, tapi pakai baju yang bener dulu dong! Nanti kamu masuk angin!" protesnya.
Sasa tergelak namun dia mengambil jubah tidurnya kemudian memakainya. Yah, AC-nya mulai terasa dingin sih. Tadi dia tidak merasakannya karena terlalu sibuk olahraga kasur.
Dering ponsel, membuat perhatian Sasa teralihkan. Wanita itu mengambil benda itu dari atas nakas dan menekan tombol answer.
"Ya, Rak, ada apa?"
Edwin yang mendengar nama Raka disebut mengeluarkan kepalanya lagi. Ngapain polisi itu telepon malem-malem begini ke pengantin baru ha? Dasar nggak tahu adat!
"Oh gitu, hm... Ya udah. Besok kita berangkat ya? Nggak kok, aku nggak ambil cuti. Nggak ada honeymoon. Iya, bye."
"Siapa itu si Raka?" tanya Edwin yang tahu-tahu sudah keluar dari kepompong.
"Hm, iya. Besok aku dinas luar ya. Ke RS Lovelette. Mungkin dua atau tiga hari baru pulang," jelas Sasa.
"RS Lovelette? Berarti ke Malang? Bareng si Raka itu?" kejar Edwin.
RS Lovelette adalah rumah sakit kelas B yang ada di kota Malang. Padahal baru sehari setelah pernikahan mereka. Masak Sasa langsung pergi dinas luar 3 hari gitu aja bareng cowok lain pula! Edwin nggak terima, tapi dia nggak bisa protes juga. Itu memang sudah tugas Sasa sebagai abdi negara. Kapan pun dibutuhkan harus siap sedia.
"Iya, ada jenazah yang susah diautopsi jadi aku disuruh ke sana," terang Sasa.
"Kenapa jenazahnya susah diautopsi? Emangnya di RS Lovelette nggak ada dokter forensiknya?" sarkas Edwin.
"Kasus mutilasi."
Deg! Jantung Edwin serasa berhenti berdetak mendengar jawaban Sasa itu.
***
Up! Maaf ya gaes, aku skip adegan ena-enanya. Karena follower aku tuh kebanyakan bocil jadi aku nggak bisa nulis adegan yang detail. Kalian bayangin sendiri ajalah ya. Hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top