3
Sasa merenggangkan tubuh yang terasa penat. Prosedur otopsi yang panjang akhirnya selesai juga. Kini dia tengah bersantai sambil makan coklat menunggu asistennya, Tiara menyelesaikan laporan saja.
"Dokter," panggil Tiara. Ibu satu anak itu menyalakan printer yang seketika berbunyi dan memuntahkan kertas berkas laporannya.
"Hm?" tanya Sasa tanpa menoleh. Dia sibuk banget mengunyah coklat.
"Dari dulu saya penasaran deh. Nama belakang Doktet tuh huruf P singkatannya apa sih? Kok saya nggak pernah lihat di mana-mana?"
Sasa tersenyum kecut. P itu adalah singkatan dari nama belakang yang ingin dia lupakan. Sejak sepuluh tahun lalu ketika dia kabur dari rumah dan tak pernah kembali. Dia benci karena tak bisa menghapus huruf P itu dari namanya. Nama keluarga besar yang memuakkan.
Masih teringat jelas dalam ingatan Sasa kejadian ketika dia bicara dengan ayahnya dua belas tahun lalu sebelum minggat. Ayahnya itu meremehkan cita-cita Sasa untuk menjadi dokter forensik. Pria tua itu bilang Sasa kebanyakan nonton film detektif dan menertawakannya. Harga diri Sasa yang amat tinggi terluka saat itu. Dia akhirnya memutuskan pergi dari rumah dan membuktikan bahwa dia bisa meraih impiannya itu. Dia pernah pulang dua tahun karena bujuk rayu dari kakaknya, Alvin, tapi malah bersilat lidah lagi dengan sang ayah yang ingin Sasa melanjutkan ke spesialis bedah sehingga membuatnya memutuskan untuk benar-benar pergi dari rumah dan tak pernah kembali lagi.
Tak terasa sama sekali sepuluh tahun sudah berlalu begitu saja. Ayahnya yang sombong itu selama bertahun-tahun tak pernah mencarinya. Namun akhir-akhir ini, sekitar dua tahun kayak tertuanya yang masih hidup Prof Sarwono, jadi sering menghubunginya dan membujuknya untuk pulang. Bagi Sasa, sudah sangat terlambat kalau ayahnya itu baru mencarinya sekarang. Terlebih dia juga meminta bantuan kakak dan tidak menemuinya sendiri.
Sasa tersenyum bangga mengetahui bahwa pilihannya keluar dari rumah dulu tidak salah. Walaupun sempat luntang-lantung di jalanan, Sasa bisa kuliah dengan beasiswa siswa berprestasi dan lulus denga predikat cumlaude. Bahkan orang-orang menyebutnya sebagai jenius yang hanya lahir seratus tahun sekali. Untung juga ada Kakaknya, Alvin yang selalu memberikan bantuan dana selama masa studinya sehingga Sasa tidak hidup terlalu menderita.
"Dok!" teguran Tiara membuyarkan lamunan Sasa. "Kok diem aja sig ditangain?"
Sasa menyeringai saja. "Coba tebak menurutmu apa?"
Tiara tampak tidak senang. Atasannya itu bukannya jawab malah ngajakin main tebak-tebakan. Tapi bukan Sasa namanya klo nggak aneh begini, kan?
"Pembunuh? Pelakor?" tebak Tiara dengan raut serius.
Sasa senyum aja. Namun dia menyent dahi Tiara dengan keras, hingga perawat itu kepala terpental belakang.
"Orang gila mana yang ngasih nama anaknya kayak gitu!" ketus Sasa. "Kamu nggak bisa nebak nama yang normal apa? Putri kek, Paramita kek."
"Orang nggak normal kayak Dokter nggak mungkin punya nama belakang yang mainstream kayak begitu," dalih Tiara sembari memegangi jidatnya yang memerah dengan jengkel.
Sasa terdiam. Tumben nih Tiara pinter juga. Nama Prawirohardjo memang bukan nama biasa. Nama keluarga konglomerat 7 turunan yang sebagian besar berprofesi sebagai dokter. Itu adalah nama yang sedikit menjadi beban bahkan bagi Sasa yang cuek. Makanya Sasa memutuskan menyingkat namanya saja. Saya mengambil laporan visumnya yang sudah keluar dari printer kemudian menandatanginya.
"Udahlah, aku mau ke Ditreskrimum dulu nyerahin laporan ini," pamit Sasa. Sebelum Tiara melanjutkan interogasi tentang nama belakangnya lagi, lebih baik dia segera kabur saja.
Dokter itu memasukkan berkas forensik itu ke dalam map kemudian membawanya keluar dari laboratorium forensik. Sasa menyusuri lorong sembari bersiul-siul. Ketika ponselnya berdering, sejenak Sasa berhenti dan meraih benda itu dari dalam saku.
Di dunia ini hanya ada empat orang yang sering menghubunginya. Tiara asistennya, Brigjen Adam atasannya, Kakaknya, Sarwono dan yang terakhir rekan kerjanya, Raka. Ternyata yang menghubungi adalah Raka. Ya, bisa ditebak inspektur polisi satu itu pasti mau menanyakan hasik otopsi jenazah yang baru selesai diperiksa Sasa. Tadi saja dia sudah menelpon sebelum otopsi. Sasa nggak ngerti kenapa polisi yang satu itu hidupnya nggak bisa santuy sedikit.
"Ya, hallo, Rak,"
"Hasil otopsinya sudah keluar?" tanya Raka tanpa basa-basi.
"Ya, penyebab kematiannya sumbatan jalan napas. Ada bekas tali vertikal pada lehernya," jawab Sasa sembari berbelok.
Karena dia sedang menelepon, wanita itu tidak memperhatikan jalan dan menambrak seseorang yang berpapasan jalan dengannya. Badan orang itu cukup keras hingga membuat Sasa terpental.
"Kampret!" Otomatis makian keluar dari bibir Sasa. Namun sebelum dia lanjut mengeluarkan sumpah serapah, matanya tercengang melihat sosok indah yang berada di hadapannya. Seorang lelaki tinggi dengan jas hitam yang menawan. Kayak ceo-ceo yang biasa ada film Korea gitu deh.
"Eh, maaf." Duh, suara cowok itu terdengar macho banget. Mau nggak mau Sasa terpesona. Bahkan ketika dia mengerutkan kening seperti sekarang pun dia masih terlihat sangat amat ganteng.
"Kamu, Sasa, kan?" tanya cowok itu.
Sasa terdiam. Dari mana cowok ganteng itu tahu namanya?
***
Votes dan komen ga Guys...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top