29
"Kamu kelihatannya akrab banget sama temenmu yang namanya Raka tadi," kata Edwin
Setelah selesai resepsi, Sasa dan Edwin diantar oleh sopir kakek mereka ke salah satu hotel bintang lima. Mereka cuman di antar sampai lobi saja terus langsung ditinggal. Sekarang ini mereka berdua sedang menaiki lift menuju kamar yang sudah dibooking untuk mereka. Sasa masih mengenakan gaun pengantinnya yang paling anti mainstream karena warnanya hitam. Selama resepsi tadi Sasa berganti pakaian sebanyak lima kali dan semuanya warna hitam.
"Hm... iya, masak?" tanya Sasa tanpa minat. Wajah wanita itu terlihat sendu. Edwin tadi berpikir Sasa mungkin sedih karena dr. Alvin terlalu cepat pergi. Namun kini dia berpikiran lain. Jangan-jangan Sasa menyesal nikah sama dia? Karena Sasa jadi tambah gundah gulana setelah temennya yang bernama lengkap Inspektur Satu Raka Sanjaya tadi pergi.
"Dia manggil nama kamu pake nama doang, nggak pake gelar," kata Edwin.
Sasa tersenyum kecil. "Iya, dia itu emang nggak punya sopan santu sama yang lebih tua."
Edwin memicingkan mata. Sasa barusan senyum ya? Dia senyum karena ngomongin si Raka tadi?
"Harusnya kamu nikah sama dia aja," gerutu Edwin lirih
"Apa? Kamu ngomong apa barusan?" tanya Sasa yang terperanjat.
"Nggak ngomong apa-apa," elak Edwin.
"Nggak barusan kamu bilang harusnya aku nikah sama dia aja? Dia siapa? Raka?" kejar Sasa.
Sialan! Kok denger sih! Edwin mengumpat dalam hati, mengeluhkan ketajaman indera pendengaran Sasa.
"Kamu kelihatan akrab sama dia. Lebih baik kamu nikah sama dia, kan. Kenapa kamu malah maksa aku buat nika," ketus Edwin
Melihat Ekspres jengkel Edwin, Sasa malah ketawa. "Kamu cemburu?" tanyanya.
"Nggaklah!" tolak Edwin sepenuh hati.
Sasa malah ketawa makin ngakak. "Ya ampun, Sayangku. Kamu nggak usah cemburu begitu."
"Sudah kubilang aku nggak cemburu!" tegas Edwin jengkel. "Cuman kamu kelihatan sedih dari tadi jadi kupikir kamu kepikiran cowok yang namanya Raka itu."
Sasa mengerjap-ngerjap sebentar. Emang dia kelihatan sedih? Padahal selama ini kalau dia lagi sedih, tidak ada seorang pun yang sadar, karena kepiawaian Sasa dalam menyembunyikan perasaannya. Ternyata Edwin cukup peka. Bibir Sasa melengkung. Dia kemudian melingkarkan tangannya pada lengan Edwin tanpa permisi sehingga bikin Edwin rada kelabakan.
"Ya ampun, Sayang. Aku nggak kepikiran soal dia kok. Aku cuman mikirin nasib Kakakku aja. Aku lagi mikir gimana caranya mendamaikan Kak Alvin sama Ayah. Umur Kevin sudah lima tahun. Kasihan kalau dia tumbuh di lingkungan yang keluarga yang tidak bisa menerima kehadirannya."
Edwin terdiam. Ternyata dugaannya yang awal benar. "Oh gitu, tapi nggak usah pegang-pegang gini dong," ucap Edwin yang merasa risih dengan lengan Sasa yang melingkar lengannya. Yah kalau lengan aja sih nggak apa. Masalahnya dia merasakan menyentuh sesuatu yang empuk-empuk gitu. Mau nggak mau Edwin kan jadi tegang.
"Heh, kita ini kan udah nikah. Kita harus menjalani kehidupan pernikahan yang sempurna sampai anak kita lahir tahu. Lagian malam ini kan kita bakal skidipapap juga," ucap Sasa.
"Skidi... Apa?" tanya Edwin dengan wajah yang memerah. Manis banget sampai Sasa ingin mencubit pipinya.
"Skidipapap. Masak kamu nggak tahu?" kekeh Sasa.
"Nga-ngapain kita skidipapap segala?" Edwin tergagap.
"Kamu pikir anak lahir dari pohon? Gimana bisa punya anak kalau nggak skidipapap?" Sasa balas bertanya.
"Kan bisa inseminasi buatan atau bayi tabung!"
Perasaan Edwin tidak enak ketika melihat senyuman Sasa terkembang dengan manis.
"Aku lebih suka cara yang tradisional."
***
Votes dan komen ya Guys...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top