26
Edwin masih duduk di Kafe sendirian. Si emak belatung sudah pamit dari lima menit yang lalu. Edwin nggak habis pikir dengan kelakuan Sasa. Bagaimana cewek itu tadi tiba-tiba mencium dia.
"Aku udah gila. Tapi kenapa rasanya enak sih?" keluh Edwin jengkel.
"Apanya yang enak?"
Edwin terkejut mendengar suara itu. Tiba-tiba aja Siska muncul. Wanita itu menggeret kursi dan langsung duduk begitu saja di depan Edwin.
"A-anu ... ini smoothies nya enak banget!"
Edwin berdalih dengan meminum smoothies yang tadi dia pesen.
"Seenak itu sampai kamu pesen minum di kafe ini sendirian? Aku kira kamu nggak suka yang manis-manis," tanya Siska.
Edwin tertawa kering. Tadinya dia nggak sendirian tapi bareng sama Sasa. Dan sebenarnya Edwin suka banget sama yang manis-manis. Cuman dia merasa jadi cowok yang kurang gentle aja kalau ketahuan suka makanan manis. Yah, cuman di depan Sasa aja sih, Edwin nggak perlu jaga image. Karena the mother of maggots itu sudah tahu segala aibnya sejak zaman kuliah.
"Ng, tadi aku bareng investor, tapi beliaunya sudah pulang duluan," kata Edwin. Entah mengapa dia merasa Siska tidak akan senang kalau dia jujur barusan berduaan di Kafe ini dengan Sasa.
***
Sasa pamit balik ke kantor karena dia udah terlalu lama magabut. Niatnya cuman mau pipis sebentar aja sebelum balik, eh tapi begitu mau keluar dari toilet dia malah melihat pemandangan yang mencengangkan. Edwin belum pergi, malah dia ditemani Siska yang entah datang dari mana.
Sasa mengintai dari balik tembok, melihat dua sejoli yang sedang duduk berdua di sudut restoran sambil berpegangan tangan. Nggak tahu malu banget sih mereka selingkuh di depan umum begitu? Sasa bener-bener nggak habis pikir.
"Apa kamu bener-bener harus nikah sama dia?" Siska bertanya dengan raut gamang. Sasa akui cewek itu emang cantik. Selera fashionnya juga oke. Dandannya full make up gitu. Dulu katanya dia model sebelum menikah. Jauhlah jika dibandingkan dengan Sasa yang tiap paling cuman pake BB cream, loose powder dan lipstik aja. Apa dia harus dandan cetar begitu kalau mau menarik perhatian Edwin ya? Apa seleranya Edwin emang cewek yang kayak begitu?
"Sepertinya begitu, karena Sasa suka sama aku. Aku nggak bisa menolak perjodohan ini," ucap Edwin.
Dih! Kepedean banget! Sasa mengumpat dalam hati. Edwin nggak tahu aja kalau niat Sasa menikah adalah untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi ya udahlah, suka-suka dia mau mikir apa. Sasa sudah lelah memberikan penjelasan sama cowok bucin macam Edwin.
"Kemarin kita sudah membicarakan ini, kan? Kamu juga yang mendorongku untuk menerima tawaran Sasa. Karena seperti yang kamu bilang, aku nggak punya pilihan lain."
Siska menghela napas. "Aku tahu aku yang menyarankan ini sama kamu, tapi sekarang aku jadi takut. Kamu nggak akan tinggalin aku begitu aja, kan? " tanya wanita itu.
"Hanya setahun, Siska. Setelah setahun kami akan bercerai. Kamu bisa kan menunggu?"
Netra Siska berkaca-kaca. Dia kemudian memeluk Edwin dengan erat. "Oke, aku percaya sama kamu, tapi kamu harus tepatin janji."
Dih! Artis papan atas banget. Sasa jengah melihat Siska yang menutupi wajahnya dengan topeng wanita lemah itu. Kenapa pula si bego Edwin itu gampang banget tertipu.
Edwin mencium kening Siska dengan lembut dan balas merengkuhnya. "Aku janji," ucapnya.
Uh! Roman picisan ini membuat Sasa muak. Dia ingin segera pergi, tapi posisinya sekarang ini tidak mungkin dia bisa keluar tanpa ketahuan dua orang itu. Sasa nggak mau aja dikira sengaja ngintipin mereka.
Ponsel Edwin bergetar. Cowok itu merogoh sakunya lalu mengambil benda itu. "Sepertinya aku harus kembali ke kantor," katanya. "Kamu nggak apa kan sendiri aku nggak bisa nganter."
Siska mengangguk. "Aku bisa naik taksi," jawabnya.
Edwin mengecup kening Siska sekalu lagi sebelum dia pergi dan mengucap "I love you."
Dasar bucin sejati! Sumpah Sasa kesel banget ngelihatnya. Setelah selingkuhannya itu menghilang, tanpa diduga Siska melangkah menuju toilet wanita, tempat Sasa lagi sembunyi. Sasa panik dong. Dia langsung aja kabur ke bilik gitu. Biar nggak ketahuan sama itu nenek lampir. Sasa melihat kaki Siska dengan sepatu high less cantiknya yang kira-kira berhak sepuluh senti meter dari celah pintu bilik kamar mandi. Apa nggak sakit sih pakai sepatu kayak begitu? Sasa dari dulu nyaman pakai flatshoes aja. Fantofel aja yang haknya cuman lima senti bikin tungkainya nyeri. Sasa cuman pake itu pas dia apel pagi aja.
"Dokter Sasa di dalam situ, kan?" tegur Siska.
Sasa mendesis. Sial! Jadi dia sudah ketahuan. Percuma dong dari tadi sembunyi!
"Dokter dengar sendiri, kan, apa kata Edwin tadi? Edwin itu cinta sama saya. Jadi sebaiknya Dokter nyerah aja. Dia nggak akan pernah bales perasaan Dokter."
Ini cewek emang kampret! Baru pertama kali dalam hidupnya Sasa merasa terhina begini. Tidak! Dia tidak boleh kalah. Sasa memutuskan untuk membuka pintu bilik dan keluar. Menghadapi wanita jalang itu secara langsung. Dengan senyuman mengejek Sasa bersedekap dan mengangkat dagunya. Pasalnya Siska itu jangkung dan pake heels juga. Sasa jadi kelihatan jadi merasa seperti makhluk kecil tak berdaya gitu kan karena selisih tinggi badan mereka yang menjulang.
"Kita lihat aja nanti. Cinta itu adalah hal yang mudah berubah," tantang Sasa penuh percaya diri.
"Apa Dokter butuh cinta Edwin juga? Bukannya Dokter cuman butuh spermanya aja?" tanya Siska dengan senyuman manis penuh racun.
Sasa melotot. Dia nggak nyangka si Edwin mulutnya kayak ember bocor! Masa dia ngasih tahu tentang itu juga ke Siska sih! Yah, sperma itu cuman alasan yang dia karang aja biar. Mana mungkin Sasa bilang dari mulutnya sendiri kalau dia naksir Edwin. Bisa keras kepala itu anak.
"Kamu juga nggak butuh cinta Edwin, kan? Kamu cuman butuh duitnya aja," ketus Sasa.
Siska tersenyum kecil. "Yah, kita ini sama-sama oportunis yang memanfaatkan Edwin dengan tujuan berbeda, kan?"
Sialan! Jangan samaain aku sama kamu! Sasa pengen teriak begitu, tapi kalimatnya tertahan di tenggorokan aja. Sasa mengigit bibirnya jengkel.
"Kamu nggak coba bikin laporan KDRT lagi? Kalau kasusnya kamu lanjutkan aku bisa kasih kamu unit baru di hotel prodeo," tantang Sasa.
"Ah, Dokter jahat sekali menuduh saya berbohong. Padahal suami saya memang lelaki yang kurang bertanggungjawab. Bukankah wajar jika saya ingin berpisah?"
Sasa jengkel sekali. Ingin rasanya dia menjambak rambut wanita yang seperti ular ini. Tapi dia yang akan rugi kalau Siska melaporkannya pada Edwin.
"Karena saya ini baik, jadi saya akan pinjamkan Edwin setahun saja. Setelah itu akan saya ambil lagi beserta bunganya, 2,5% saham P-Farma. Sampai jumpa lagi, Dokter," ucap Siska sambil melangkah keluar dari bilik toilet.
Sasa menghela napas sembari bersedekap. Bagaimana caranya dia bisa menang dari siluman ular betina itu?
***
votes dan komen ya guys.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top