22

"Bagaimana kalau kamu terima saja tawaran Sasa?"

Ucapan Siska itu membuat Edwin tercengang. "Apa?" ulangnya tidak mengerti.

"Kamu nggak punya pilihan lagi. Kalau hanya setahun mungkin aku bisa menunggu."

"Ta-tapi Siska-"

"Pikirikan dulu, Edwin," potong Siska. "Kamu bisa membuka perusahaan sendiri saat ini dan nanti resign dari P-Farma jika kondisinya sudah stabil. Jika kamu keluar sekarang itu terlalu berisiko."

Edwin terdiam. Ucapan Siska benar. Mendirikan perusahaan sendiri dengan sistem yang masih baru dan karyawan baru sangat berbeda dengan memimpin perusahaan yang sudah berjalan. Meskipun dia sudah punya pengalaman tetap saja risikonya besar. Tapi masa dia harus menikah dengan Sasa?

Sebenernya yang Edwin takutkan bukanlah kegilaan Sasa. Dia justru takut jika nanti dia malah jatuh hati beneran pada emak belatung itu. Bagaimanapun juga Sasa itu wanita yang cantik dan menarik. Dulu dia juga pernah menyukainya. Apalagi jika akhirnya mereka memiliki anak nanti. Akan sulit bagi Edwin untuk berpisah dengan dia.

"Tapi meskipun kamu menikah dengan dia, aku mohon kamu tidak meninggal aku sendiri Edwin. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan tanpa kamu," lirih Siska.

"Itu sudah pasti. Aku nggak akan ninggalin kamu, Siska," balas Edwin. "Tapi aku nggak bisa menikahi Sasa."

"Pikiran dulu baik-baik. Apa pun keputusanmu nanti, aku tetap akan mendukungmu."

Edwin menghela napas panjang. "Oke, akan aku pikirkan dulu. Aku tutup dulu teleponnya ya. Aku lagi nyetir."

"Iya, hati-hati."

Panggilan Edwin pun berakhir. Siska berbaring kembali dan membetulkan masker timunnya yang tadi berjatuhan. Dia berharap semoga saja Edwin tidan mengambil tindakan yang gegabah. Kalau tidak Edwin akan menjadi pion yang tidak bisa dia gunakan lagi.

Ketika sedang bersantai ponselnya berdering. Siska berdecak ketika melihat nama yang tertera pada layar smartphone-nya itu. Telepon dari Brian.

"Ya, halo," jawab Siska malas-malasan.

"Halo, Siska. Aku... Baru saja mengirimkan uang lima ratus ribu ke rekeningmu, " ucap pria itu.

"Hanya segitu? Bagaimana aku bisa membayar biaya sewa kontrakan, listrik dan air? Itu hanya cukup untuk biaya makan seminggu saja," ketus Siska.

"Aku tahu, Siska. Aku sudah berusaha tapi baru dapat segitu. Aku mohon kamu bersabar dulu. Nanti aku pasti akan cari kekurangannya," pinta Brian memelas.

"Brian. Aku nggak ngerti jalan pikiranmu. Untuk apa kamu bekerja sekeras itu. Kalau emang kamu tidak bisa membiayai aku lagi bukankah lebih baik kamu menceraikan aku saja? Lalu cari istri yang sesuai dengan standarmu."

"Jangan bicara begitu, Siska. Aku mencintaimu. Bagaimana bisa aku hidup tanpa kamu. Tolonglah bersabar sedikit lagi. Pasti ada jalan keluar dari semua ini."

Makan itu cinta! Siska mengumpat di dalam hati. Dasar Brian brengsek. Kenapa sih dia tidak juga menceraikan dirinya padahal Siska sudah bersikap ekstrem seperti ini. Dia tidak mungkin menunggu Brian semakin bangkrut. Dia harus mencari cara untuk berpisah dengan laki-laki ini.

***

Edwin belum menyalakan mesin mobilnya pikirannya masih ruwet jadi dia bersandar pada jok dan menutup mata sejenak dan menikmati keheningan. Dering ponsel menganggu meditasinya. Edwin terkesiap melihat nama Prof Sumarto tertera di sana.

"Ya, halo, Kek," jawab Edwin.

"Edwin. Besok kamu pergilah ke butik dengan Sasa untuk mengepas ukuran baju pengantin kalian sekalian foto prewedding juga bagus," ucap pria tua itu ceria.

Edwin melongo. Seingatnya, dia belum mengiyakan perjodohannya dengan Sasa. Bisa-bisanya dia sudah disuruh mengukur baju bahkan foto prewedding

"Ah, maaf, Kek. Besok saja agak sibuk," tolak Edwin.

"Ah, sesibuk apa? Mengepas baju dan foto paling setengah jam juga sudah selesai. Kamu tidak perlu menyiapkan apa-apa, Edwin. Aku sudah bicara dengan cucuku, Moreno. Dia yang akan mengurus acara pernikahan kalian. Kamu dan Sasa cukup datang dan duduk lalu pulang."

Apa! Apa! Pernikahan mereka sudah disiapkan! Tidak! Ini gila!

"Ka-Kakek, saya belum menyiapkan hati saya. Kenapa secepat ini?"

"Kalau menunggu kamu siap, jangan-jangan aku sudah membusuk. Aku mohon, Edwin. Aku ingin melihat putri bungsuku menikah sebelum aku mati."

Ucapan Prof Sumarto yang penuh harap itu meluluhkan hati Edwin. Dia teringat bahwa pria tua itulah yang dulu selalu membantunya ketika dia terpuruk. Bahkan memberikan kepercayaan padanya untuk menjadi CEO. Padahal banyak orang yang lebih berpengalaman untuk menempati jabatan itu. Prof Sumarto bukan hanya sekadar atasan bagi Edwin. Dia tulus menganggap pria itu seperti kakeknya sendiri.

Edwin teringat ucapan Siska tadi. "Kalau hanya setahun mungkin aku bisa menunggu."

Setahun ... itu bisa menjadi waktu yang sangat sebentar. Sasa juga bilang dia hanya meminta spermanya saja. Mungkin Edwin bisa melalukan ini.

"Kakek jangan bicara begitu. Kakek pasti bisa hidup panjang dan melihat anak saya dan Sasa nanti," ucap Edwin akhirnya."

***





Prajabatan cinta di Karyakarsa udah tamat. Yang kepo bisa langsung ke sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top