18
"Kita nikah setahun aja, setelah itu kita bisa cerai."
Edwin mengerutkan keningnya menatap Sasa yang tersenyum manis.
"Setahun aja? Kenapa?" tanyanya bingung.
"Yah, kalau kamu mau nikah seumur hidup juga nggak apa sih," kekeh Sasa.
"Bukan itu maksudku!" sergah Edwin jengkel.
Sasa ketawa aja. Tawanya yang renyah dan cantik itu ternyata masih sama dengan yang diingat Edwin sepuluh tahun silam. Tawa menyebalkan yang selalu membawa sial. Karena dibaliknya emak belatung itu pasti sedang menyusun rencana yang licik.
"Ayahku itu orangnya keras kepala untuk hal-hal seperti ini. Seandainya perjodohan kita gagal. Ke depannya dia pasti nyari orang lain buat dijodohin sama aku. Kalau aku terus nolak, aku bakal jadi hujatan keluarga besar. Kalau sudah begitu hidupku nggak akan tenang. Daripada aku nikah sama orang yang nggak aku kenal, lebih baik aku nikah sama kamu. Kamu juga nggak mungkin suka sama aku. Ya, kan?"
Sasa melirik Edwin yang tidak langsung menjawab. "Ya, sudah pasti begitu," angguk Edwin.
Sasa sebenarnya rada kesel dan pengen memaki mendengar jawaban Edwin itu. Emangnya apa yang kurang dari dia sampai Edwin bisa seyakin itu nggak bakal naksir sama dia. Dalam hatinya Sasa merapalkan sumpah serapah. Lihat saja, nanti dia pasti bakal membuat cowok ini bucin padanya.
Sementara itu Edwin berusaha menyembunyikan debaran jantungnya yang sedikit meningkat. Sebenarnya bohong kalau dia bilang nggak mungkin suka pada Sasa. Karena dulu sebenarnya Edwin pernah menyimpan rasa pada gadis itu. Dulu sekali pada waktu mereka masih menjadi maba.
"Terus kenapa harus setahun?" tanya Edwin lagi.
"Setahun itu menurutku interval waktu yang paling tepat aja."
Edwin memegangi dagunya. "Kalau kita bercerai nanti hubunganku dengan ayahmu bisa jadi canggung dong? Bagaimana kalau nanti aku dipecat?"
Sasa malah menyeringai. "Emangnya kamu mau terus-terusan hidup jadi kacungnya Ayahku? Harusnya dalam waktu setahun itu kamu bisa bangun perusahaanmu sendiri dong. Aku akan berikan 50% dari kepemilikan sahamku di P-Farma sebagai harta gono-gini kalau nanti kita bercerai. Kita juga akan berpisah baik-baik jadi Ayah tidak akan menyalahkanmu. Kalau kita bilang sifat kita nggak cocok Ayah pasti mengerti."
Netra Edwin melebar. Mendirikan perusahaan sendiri? Yah, tentu saja Edwin pernah memikirkan hal itu. Hanya saja modal yang dia kumpulkan saat ini belum cukup. Lain halnya Kalau dia akan mendapatkan 50% saham atas nama Sasa. Saat ini masing-masing anak Sumarto Prawirohardjo memiliki 5% saham di P-Farma. Kalau setengah itu berarti 2.5%. Itu tawaran yang cukup menggiurkan.
Edwin melirik Sasa yang cengar-cengir. Cewek itu benar-benar tahu cara bernegosiasi. Namun tawaran yang terlalu terlalu baik membuatnya jadi sedikit curiga.
"Ini tawaran yang terlalu bagus sampai susah ditolak. Tapi yang aku lihat lebih banyak keuntungan buat aku, terus kamu dapat apa?" tanya Edwin.
Sasa menyeringai lagi membuat bulu kuduk Edwin merinding. Sungguh firasatnya selalu buruk kalau melihat Sasa melengkungkan bibirnya seperti itu.
"Aku hanya minta satu syarat saja," kata Sasa sembari mengacungkan satu jarinya. Berbeda dengan kuku Siska yang panjang dan selalu dihiasi kuteks, kuku Sasa itu pendek namun rapi. Karena pekerjaannya sebagai dokter, memang tidak mungkin bagi Sasa untuk memanjangkan kuku.
"Apa itu?" tanya Edwin penasaran.
"Anak," senyum Sasa. "Ayo kita bikin anak."
Edwin pun tercengang mendengarnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top