#6 - Harapan di Ujung Pedang
"Heh, bangun!" Sebuah suara memekakkan telinga Beno. Memaksanya untuk tersadar dari tidur. Beno membuka matanya sambil menahan sakit kepala akibat terkejut bangun. Perlahan Beno duduk bersandar pada dinding lembab di biliknya. Sambil memicingkan matanya Beno menatap ke arah pintu bilik.
"Bangun, pengacau!" Suara menggelegar itu terdengar lagi, kali ini disertai dengan sebuah suara debuman kayu yang ditendang. Sepertinya kayu itu sangat kokoh, dilihat dari kerasnya suara tendangan namun tak mampu membuatnya bergeser barang satu sentipun.
Beno menatap sumber suara menggelegar itu. Tubuhnya yang tak jauh berbeda dengan Beno tampak cocok memakai baju prajurit itu. Ditambah dengan wajah putihnya dan alis hitam yang tebal-sangat tak sesuai dengan suaranya yang menggelegar. Beno mengingat-ingat sosok itu. Jika tak salah namanya Baron-salah satu pasukan si gadis berambut merah-yang kemarin menggiringnya hingga keluar dari hutan aneh itu. Beno sempat memperhatikan wajah lelaki muda itu sebelum matanya ditutupi kain.
"Bisakah kamu memperlakukanku sedikit lebih lembut? Aku punya jantung yang lemah," bohong Beno dengan wajah memelas. Ia berusaha membuat-buat alasan agar mereka mau meringankan hukumannya. Baron hanya melengos. Tampaknya ia tak termakan kebohongan Beno. Dasar! Wajah saja yang polos dan baik, tapi sikapnya sangat dingin. Gerutu Beno dalam hati.
Suara kekehan di bilik sebelah membuat Beno mengerutkan kening. Beno melirik ke arah bilik itu, begitu juga dengan si Baron. "Cih! Kau berbohong agar mendapat keringanan hukuman." Gadis kelelawar di sebelah biliknya menyeletuk dengan nada mengejek. Rupanya gadis itu mengetahui kebohongan Beno.
Beno mengerlingkan matanya. Ia malas jika harus berurusan dengan gadis kelelawar ketus itu. Beno tak sudi jika dikatai bodoh oleh gadis menyebalkan dan sok tahu itu.
"Gadis itu adalah tawanan dari kerajaan Vordeen. Ia merupakan seorang penyihir yang bisa membaca pikiran seseorang," terang bocah berambut hitam yang entah datang dari mana. Bocah itu tersenyum ke arah Beno sambil memamerkan deretan gigi putihnya. Mata hitamnya menyipit, menandakan ketulusan saat tersenyum kepada Beno.
Beno mengamati bocah ramah itu. Tingginya hanya sekitar pinggang Beno, mungkin usianya sekitar sembilan tahun. Wajahnya bulat mirip seperti Baron. Ah! Beno yakin bocah ini adalah adik Baron.
"Bran! Sedang apa kau di sini? Kau tidak seharusnya masuk ke penjara ini!" bentak Baron pada bocah itu. Sepertinya Baron sedikit terkejut dengan kehadiran bocah itu.
"Adikmu? Wah, ternyata dia lebih ramah daripada kamu." Beno terkekeh.
"Bukan urusanmu!" Baron menjawab ketus sambil menatap sinis ke arah Beno.
Bocah yang dipanggil Bran itu hanya melengos, lalu menatap ke arah Beno sambil tersenyum. "Dia abangku. Memang galak, tapi hatinya baik. Btw kau ngapain di sini?" Bocah itu bertanya pada Beno dengan santainya.
Belum sempat Beno menjawab pertanyaan Bran, namun Baron menarik tangan bocah itu lebih dulu. Baron lalu memerintahkan salah satu dari dua penjaga yang berdiri tak jauh darinya untuk menggiring Beno. Sambil menodongkan tombaknya, mereka menyuruh Beno untuk berjalan keluar dari ruang penjara bawah tanah itu. Beno terpaksa mengikuti mereka sambil terus memutar otak mencari celah untuk kabur.
"Maaf, Tuan Penjaga," pancing Beno pada penjaga yang mengawalnya. Sementara Baron sudah lebih dulu keluar dari penjara sambil membawa bocah kecil bernama Bran.
"Apa lagi?" Penjaga itu tak melonggarkan penjagaannya sedikitpun.
"Aku mau dibawa kemana ya?" Beno mencoba memasang wajah polosnya. Padahal ia sudah tahu bahwa akan diadili, seperti yang dikatakan oleh gadis kelelawar semalam.
"Lihat saja nanti. Kau akan tahu sendiri," jawab Sang penjaga sambil terus mendorong tubuh Beno untuk maju tanpa menurunkan tombaknya sedikitpun.
***
Saat ini Beno berdiri di atas panggung menatap tali yang tergantung di depan wajahnya. Tali itu seukuran ibu jari, tergantung pada sepasang kayu yang berbentuk seperti sebuah gerbang dengan warna cokelat tua. Tak jauh di depan sana, beribu pasang mata menatap aneh ke arahnya. Laki-laki dan perempuan, makhluk aneh dan manusia, tua dan muda berkumpul di sana. Tatapan mereka tertuju pada satu titik, yaitu dirinya. Sebagian menatap kasihan dan sebagian lagi menatap sinis. Beno tahu apa yang mereka pikirkan. Tak bukan mereka pasti menganggap Beno pengacau dan mata-mata. Sepertinya si rambut merah memang orang yang paling berpengaruh di tempat ini.
Beno menahan napasnya saat tubuhnya didekatkan secara paksa pada tali gantungan itu. Matanya ke sana kemari mencari celah untuk kabur. Namun ia tetap tak menemukan jalan untuk melarikan diri. Seketika sekelebat bayangan mamanya melintas di otaknya. Makan malam yang sudah disiapkan mamanya belum disentuh. Juga persiapan UN yang selama ini dilakukannya menjadi sia-sia. Semua ini karena buku terkutuk itu! Rutuk Beno.
Beno berontak. Para penjaga yang memegang tangannya terlempar. Ikatan di tangannya terbuka. Cowok itu sedikit terkejut dengan kekuatan yang keluar dari tubuhnya. "Lagi? Dari mana datangnya kekuatan ini?" gumam Beno sedikit heran.
Beno mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun dengan secepat kilat sebuah pedang menempel di leher Beno. Rupanya gadis berambut merah itu lebih sigap. Ia memanfaatkan sedikit kelengahan Beno yang terheran dengan kekuatan ajaibnya. Beno merasa sedikit perih di lehernya. Mungkin pedang itu menggores lehernya.
Suasana di alun-alun menegang. Nyawa Beno berada di ujung pedang. Gadis itu hanya tinggal menarik pedangnya dari leher Beno. Sebuah sabetan di sana mampu melepaskan nyawa Beno dari tubuhnya. Beno benar-benar mati kutu. Hingga sebuah suara penuh wibawa hadir bak penyelamat hidupnya yang di ujung pedang. Suara itu seperti mampu menghentikan waktu yang berjalan.
Semua kegiatan terhenti. Pasukan yang mengawal Beno menuju tiang gantungan pun menghentikan langkahnya dan menundukkan tubuh penuh hormat pada sosok yang baru muncul itu.
Beno mendongakkan wajahnya, menatap sosok penyelamatnya kali ini. Wajah tampan dan tegas, dipadukan dengan sorot mata yang tajam serta rambut merah menyala senada dengan matanya itu menambah karisma. Tubuhnya yang tegap dibalut dengan baju bak kesatria pedang dan dipadukan jubah merah dengan pinggiran bersulam emas. Di bagian bahunya terdapat pelindung yang tampak seperti besi. Juga sebuah emblem di dadanya bersimbolkan huruf "A". Sekilas Beno melihat kemiripan di wajah lelaki itu dan gadis berambut merah.
"Lepaskan dia!" perintah lelaki itu tegas.
Para pasukan yang mengawal Beno melepaskan cengkeramannya dan melangkah mundur. Gadis berambut merah yang masih mengarahkan pedangnya ke leher Beno tampak terkejut dan melontarkan protes, "Tapi, Van, dia adalah pengacau. Dan dia juga seorang mata-mata!"
"Tidak. Aku tidak melihat hal yang menguatkan tuduhanmu sebagai mata-mata. Dan sepertinya semua hanya kesalahpahaman." Lelaki itu mendekat ke arah Beno. Ia lalu melepaskan ikatan di tangan Beno. Gadis berambut merah menatap kesal sekaligus heran ke arah lelaki itu. Begitupun dengan pasukan dan semua orang yang hadir di alun-alun itu. "Aku yakin, bocah ini memiliki hubungan dengan kembalinya Duyuta," sambung lelaki penyelamat itu.
"Apa maksudmu? Apa kau berpikir dia adalah Cel Ales?" Gadis berambut merah menatap aneh pada lelaki penyelamat itu.
#####
Si Tuan Penyelamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top