#2 - Nenek Aneh dan Buku Tuanya
"Tunggu!" ucap Nenek itu sayup-sayup—bahkan mungkin hampir tidak terdengar—disertai dengan desiran kecil angin yang entah dari mana datangnya. Bukannya lari, Beno malah seperti beku di tempat. Beno tak mampu menggerakkan kakinya, seperti ada yang mengunci. Dengan takut-takut Beno menatap wajah nenek itu. Wajah nenek itu tampak memelas. "Bagaimana bisa wajah yang tadi menyengir sekarang memelas? Apakah dia Benar-benar gila?" Beno berkata dalam hati.
"Ada apa, Nek?" Beno terkejut. Ia tak menyangka suara itu keluar dari mulutnya sendiri. Cowok itu bahkan tidak memiliki keinginan untuk terlibat lebih jauh dengan nenek itu.
"Nenek kelaparan, Cu. Sudah dua hari belum makan. Bolehkan Nenek minta sedikit makananmu?" Keluh nenek itu sambil mendekat ke arah Beno hingga tersisa jarak sekitar 2 meter. Setelah melihat dengan jarak sedekat itu, bukan rasa takut lagi yang hinggap di hati Beno. Rasa takut itu kini sudah digantikan dengan rasa kasihan. Kaki kanan Nenek itu tampak pincang dengan sedikit luka di sana. Sepertinya Nenek itu habis terjatuh atau terjepit sesuatu. Kasihan sekali nenek ini. bahkan untuk makan saja tak bisa.
"Bagaimana mungkin untuk mengobati lukanya? Makan saja tak bisa." gumam Beno pelan.
"Ben tidak punya makanan, Nek," jawab Beno pelan. Tampak sedikit kekecewaan di wajah nenek itu. Beno tak tega melihat ekspresi Sang Nenek. Ia teringat bahwa masih memiliki sisa uang sakunya. Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu rupiah.
"Tapi Ben punya sedikit uang saku sisa, Nek. Mungkin ini bisa membantu nenek membeli makanan dan plester untuk menutupi luka nenek itu." Beno menyodorkan uang tersebut pada Sang Nenek. Tampak binar kebahagiaan di wajah Sang Nenek. Dengan sedikit gemetar Sang Nenek menyambut uluran uang dari Beno.
"Terima kasih, Cu." Nenek itu lalu menyodorkan benda berbentuk segi empat yang digenggam di tangan kirinya sedari tadi, "Ini kamu bawa saja buku tua nenek. Mungkin suatu saat akan berguna untuk kamu. Anggap aja ini hadiah dari Nenek sebagai balasan uang kamu."
Beno mengamati buku tua yang disodorkan Sang Nenek. Buku itu memang tampak sudah sangat tua, dengan sampul berwarna kecokelatan seperti kulit kayu yang menambah kesan tuanya. Sampul buku itu juga memiliki corak ukiran menyerupai bentuk sulur. Sebuah persegi berwarna keemasan tampak membingkai buku itu. Perpaduan yang unik jika disandingkan dengan warna coklat kayu pada warna dasar sampulnya. Di sampul itu juga terdapat sebuah lingkaran dan huruf "A" di tengahnya. Tebal buku itu sekitar lima sentimeter. Ditambah dengan warna kertasnya yang kekuningan dimakan usia. Sedangkan di bagian samping buku itu terdapat tulisan berwarna hitam dengan cetakan timbul. Tulisan itu sudah mulai pudar, namun masih dapat terbaca jika mengamatinya dengan saksama.
Beno membaca tulisan itu perlahan, "Cel Ales". Ada sedikit rasa ketertarikan di hati Beno saat melihat buku tua itu. Namun ia buru-buru mengembalikan buku tua itu kepada Sang Nenek. "Ah, nggak, Nek. Ben ikhlas nolong Nenek. Buku ini nenek aja yang simpan." Beno menolak buku tua dari Nenek itu dengan sopan. Ia tak mau menerima buku tua yang tampak seperti harta satu-satunya bagi nenek itu.
Tapi Sang Nenek terus memaksa, "Sudah, ambil saja. Anggap saja Nenek jual ini ke kamu dengan bayaran uang tadi. Nenek merasa suatu saat kamu akan membutuhkan buku tua ini." Nenek itu terus menyodorkan buku tua-nya pada Beno. Karena merasa tak enak jika terus menolak, Beno kemudian menyambut buku tua itu dari tangan Sang Nenek. Hitung-hitung buat pajangan di kamar, pikir Beno. Sang Nenek tersenyum melihat Beno mau mengambil buku tua pemberiannya.
"Mungkin buku ini bisa menjadi penuntun sang penyelamat nantinya." Nenek itu berucap samar, namun masih terdengar jelas di telinga Beno.
Beno mengerutkan kening tak mengerti ucapan nenek itu. "Maksudnya, Nek?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Semoga kamu selamat sampai tujuan ya, Cu. Sampai jumpa lagi." Nenek itu melambaikan tangannya kepada Beno.
Beno sebenarnya masih ingin bertanya tentang ucapan aneh nenek itu tentang "Sang penyelamat" yang dikatakan nenek itu sebelumnya. Walau samar, namun Beno mendengarkan dengan jelas. Namun Beno mengurungkan niatnya mengingat ia harus belajar untuk simulasi UN besok. Setelah berpamitan, Beno kembali melanjutkan perjalanannya sambil berusaha melupakan pertanyaan yang membuatnya penasaran.
***
"Ben, kamu ganti baju dulu ya! Mama masih siapkan makan malam," teriak mama Beno dari ruang makan.
"Iya, Ma." Beno meletakkan tas di atas meja di dalam kamarnya. Sambil merebahkan tubuhnya di atas kasur, Beno memejamkan mata perlahan. Ia melepaskan penatnya setelah berkutat dengan soal simulasi UN yang cukup membuat otaknya panas. Sambil mengisi tenaga untuk belajar malam nanti. Tiba-tiba ia teringat buku tua pemberian Nenek berjubah hitam tadi. Entah kenapa rasa penasaran yang kuat hinggap begitu saja dihatinya. Ia merasa ada sesuatu yang seolah menarik dirinya untuk segera membaca isi buku tua itu.
Beno mengambil buku tua itu dari dalam tasnya. Mengamati sampul buku tua—hal pertama yang membuatnya sangat tertarik. "Buku ini pasti sangat langka di pasar, lihat saja sampulnya yang unik," gumam Beno.
Tiba-tiba seberkas sinar biru terang muncul dari salah satu halaman buku tua itu. Beno sedikit terkejut. Namun rasa penasaran di dalam dirinya semakin menguat. Dengan perlahan Beno membuka halaman yang memancarkan sinar biru itu. Hanya sebuah kata yang tampak di halaman itu. Beno mengerutkan keningnya heran. Ia lalu membaca perlahan kata yang tertulis di halaman itu.
"Magpatuloy."
Sunyi. Waktu bagai berhenti sejenak. Beno merasa seperti di ruang hampa. Cowok itu lalu mengerjapkan matanya. Memastikan hal aneh yang baru saja dirasakannya. Ia lalu mengedarkan pandangan ke seluruh isi kamarnya. Menelaah dengan saksama jika ada sesuatu yang berubah atau bergeser barang sedikitpun. Tak ada yang berbeda. Tak ada yang berubah. Semua masih tetap sama. Beno menatap buku ditangannya yang kini sudah tidak lagi memancarkan sinar biru terang.
Sebuah suara ketukan lembut terdengar di pintunya. Disusul dengan suara mamanya yang memberitahukan bahwa waktu makan malam telah tiba. Beno bergegas menutup buku tua itu dan meletakkannya asal di atas meja. Cowok itu lalu meraih gagang pintu dan memutarnya, seperti yang biasa ia lakukan. Namun Beno merasa ada hal asing yang hidup di balik pintu kamarnya. Pintu terbuka. Sebuah sinar yang menyilaukan menerobos masuk dengan paksa ke mata Beno. Sesaat Beno tak dapat melihat apa-apa selain sinar putih menyilaukan itu. Tubuh Beno bagai melayang di ruang hampa. Ia kini seperti tak lagi memijak tanah. Entah beberapa detik waktu yang Beno lalui selama mengalami hal itu. Ia tak dapat berpikir untuk menghitungnya.
Sampai akhirnya Beno merasakan kakinya memijak tanah kembali. Aroma pepohonan yang menyegarkan menyeruak hidungnya. Suara kicauan burung yang merdu menghampiri telinganya. Serta semilir angin menerpa wajahnya. Beno membuka mata perlahan sambil berusaha menyesuaikan sinar yang masuk. Namun detik berikutnya Beno tercekat. Bukan ruang keluarga rumahnya yang dilihat. Tetapi sebuah tempat yang asing. Sangat asing dan penuh dengan makhluk aneh yang sedang menatapnya tajam. Makhluk-makhluk itu belum pernah dilihatnya di dunia selama ini. Beno merasa seperti berada di dunia dalam film fantasi. "Apa ini mimpi?" Gumam Beno.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top