2

😁😁 langsung baca ya.

###

"Bang Damar, mau ke mana?” Bita menghampiri anak dari pekerja rumah tangga neneknya. Pria ini juga yang mengelola ladang dan sawah milik kakeknya.

“Mau ke pasar. Kenapa?” tanya pria yang usianya terpaut lima tahun dengan Bita.

“Boleh ikut? Pengin beli jajan pasar,” pintanya dengan sedikit bermanja. Damar mengangguk. “Yeay! Bita ganti baju dulu ya sama pamit ke nenek.”

Bita bersorak seperti anak kecil mendapatkan es krim, sama sekali tidak terlihat selayak wanita 27 tahun. Ia dipaksa dewasa sebelum waktunya karena kematian orang tuanya, dan sangat menjaga sikap di hadapan Abi sehingga menutup serapat mungkin sifat kekanak-kanakannya tapi dengan Damar dan keluarganya di sini ia bisa bersikap apa adanya.

Damar mengangguk. Bita langsung masuk. Tidak berapa lama ia keluar lagi memakai celana panjang dan kaus gombrong. Rambutnya ia kuncir satu di tengah, wajahnya segar tanpa make up. “Ayo, Bang.”

“Seger banget udaranya.” Ia merentangkan tangan menghirup dalam-dalam udara yang menerpanya. Ia kemudian mengambil ponselnya di saku celana. Ia mengambil video pendek selama perjalanan ke pasar lalu meng-upload-nya di story Instragram.

Bita juga memberi caption pada videonya ‘Sejuk. Bikin hati adem.’
Bita juga mengambil potretnya dengan Damar. Mengunggahnya juga di Instagram. ‘Abang ganteng’ begitu bunyinya disertai emoticon berkedip. Setelahnya ia kembali menyimpan benda pipih itu ke saku celana dan mengikuti Damar masuk ke pasar.

Jika Bita tengah bersemangat mengikuti Damar, Abi tampak kesal setelah mendapat pesan dari temannya untuk melihat unggah Instagram Bita. Jadi ini alasan perempuan itu tak membalas pesannya? Sialan! Senyumnya lebar terlihat sangat bahagia dan Abi tak menyukai kenyataan itu. Ia tak suka melihat Bita tersenyum karena orang lain.

Abi segera menekan nomor Bita. Ia harus mendapatkan alasan yang sebenarnya mengapa perempuan itu tiba-tiba menarik diri dari dirinya. Bukan Abi tak tahu jika Bita menyimpan rasa untuknya tapi sudah ia beri peringatan dari awal bahwa tak bisa memberinya cinta. Bita menyetujui hal itu dan terus maju.

Selama dua tahu ini mereka dekat, sebatas sahabat, ya bisa juga dibilang hubungan tanpa status. Bagi Abi itu tak masalah toh Bita bisa dekat dengannya. Namun, perubahan signifikan yang perempuan itu lakukan belakangan ini, terkesan menghindarinya, menimbulkan perasaan tak nyaman untuk Abi. Ada sesuatu yang hilang tapi ia tak yakin itu apa.

“Sialan!” umpatnya saat teleponnya ditolak Bita. Ia pun mencoba lagi tapi lagi-lagi ditolak. “Ck!”

Me:
Kamu di rumah nenekmu?
Telp aku.
Bita! Balas pesanku.
Ta. Sebenarnya ada apa?
Jangan begini. Bicaralah.
Apa aku berbuat salah padamu?
Bita. Please.

Apa perlu ia menyusul Bita ke rumah neneknya? Tidak. Tidak. Itu akan membuatnya besar kepala. Lagipula apa pedulinya? Bukankah mereka hanya berteman? Sialan! Tapi Bita berhasil menguras emosi dan perhatiannya. Ingin rasanya ia menghampiri wanita itu, menggoyangkan kepalanya agar kembali waras dan menyadari akan tingkah bodohnya tapi ... astaga! Kepala Abi rasanya mau pecah memikirkan Bita.

###

Bita mengerutkan alis membaca pesan Abi yang bertumpuk-tumpuk. Ia bukan tidak tahu tapi sengaja tidak membalasnya, menolak panggilannya meskipun rindu mendengar suara serak dan berat Abi. Namun, ia harus mematuhi janjinya untuk pelan-pelan melepas cintanya. Ia ingin sembuh dari kecanduannya pada Abi. Berat dan sangat menyiksa tapi harus agar tak lagi hidup dalam khayalan cintanya.

“Bit. Ayok makan dulu.”

Ia meletakkan ponselnya begitu saja di kasur saat panggilan neneknya terdengar. Langkahnya terdengar ringan mendatangi Neni. “Huwaaa. Cumi asam manis.” Bita segera menarik kursi untuknya. Mengisi piringnya dengan nasi, cumi asam manis, empal goreng, dan tumis buncis dan tahu. “Enyaknya,” ujarnya tak jelas.

“Ditelan dulu baru ngomong,” tegur Neni lembut. Ia menggeleng melihat betapa lahapnya Bita makan.
“Enak banget, Nek. Yang masak Nenek apa ibu?” tanyanya.

“Ibu. Nenek tadi ngobrol sama Damar soal panenan cabe.”

Bita mengangguk-angguk. Ia suka masakan Ibu—ibunya Damar yang sudah bekerja di sini mulai ia bayi—dan neneknya. “Nek, bulan depan rumah mama kosong. Penyewanya pindah tugas ke Medan. Kalo Bita tempati boleh? Bita kangen Mama sama Papa.” Riak wajah Bita berubah muram.

Untuk kali ini benar-benar merindukan orang tuanya. Ia begitu lelah dan ingin mencurahkan isi hati kepada mereka. Ingin merasakan pelukan hangat dari mamanya dan dukungan untuk bangkit dari keterpurukan ini. Cintanya pada Abi sungguh racun bagi Bita yang terus-menerus menggerogoti hati dan tubuhnya hingga ia mati.

Air matanya berkumpul, menetes di sudut matanya. Ia ingin bertemu mamanya dan memeluk beliau sampai puas. Ingin mendengar suara lembut menenangkan dirinya. Oh Tuhan, mengapa begitu cepat mereka Engkau panggil? “Bita kangen Mama sama Papa,” ujarnya terbata-bata karena tangisnya.

Neni mendatangi Bita, memeluk erat. Mengusap rambut sebahu cucunya dengan sayang. “Nenek juga kangen mereka.” Neni mengeratkan pelukannya tapi otaknya berpikir keras. Bita yang ia kenal begitu tegar meskipun kesedihan menghantamnya, bahkan waktu pemakaman orang tuanya ia tidak menangis di hadapan pelayat.

Namun, sekarang ini dia terlihat rapuh, lemah tak berdaya. Ceria yang ditunjukkan hanyalah topeng untuk mengelabuhi orang-orang tapi tidak dengan Neni. Ia tahu cucunya nelangsa. Apa yang sedang terjadi pada cucunya? Mengapa tangisan terdengar pilu? Walau begitu Neni tidak bertanya. Belum saatnya. Ia akan menunggu Bita tenang lebih dulu.

“Sudah. Kita boleh rindu tapi jangan sampai berlarut-larut sedihnya. Lebih baik kita kirimkan doa untuk mereka.”

“Besok Bita mau ke makam Mama sama Papa. Bolehkan Nek?” paparnya seraya mendongak menunggu jawaban neneknya.

“Diantar Damar ya.” Bita mengangguk. “Sekarang dihabiskan makannya ya.”

Selesai mencuci piring kotor dan mengeringkannya, Bita ke belakang. Duduk di gazebo menikmati embusan angin sore. Ia memejamkan mata, menarik udara dalam-dalam sampai rongga dadanya penuh. Begitu tenang dan damai. Ini yang ia cari di tengah keputusasaan Bita.

Bita membuka matanya ketika mendengar gerakan di sisinya. Ia menoleh ke samping dan tersenyum pada orang itu. Sejak dulu ia selalu suka dengan Damar, Bita seperti mempunyai kakak yang selalu menjaganya.

“Kamu baik-baik saja?” Damar menoleh pada Bita yang menatapnya dengan tersenyum.

Bibir Bita mencebik tak bisa membohongi Damar. “Ketahuan ya?” ujarnya lesu.

Damar tersenyum kemudian mengangguk kecil. Meskipun mereka tidak sering bersama sekarang ini tapi ia tahu cucu dari majikan ini selalu merenung di gazebo ini bila sedang bersedih.

Perempuan di samping menghela napas keras. Ia menunduk memainkan kuku-kuku jarinya. “Capek, Bang.” Ia mengembuskan udara kuat-kuat tatkala dadanya penuh sesak. “Nggak enak banget berjuang terus tanpa dapat hasilnya. Kayaknya pepatah usaha nggak khianati hasil itu nggak berlaku buatku. Nyatanya dua tahun di samping dia nggak bikin dia tertarik,” keluhnya. Rasanya nelangsa menyadari hal itu. “Ya emang dari awal udah dibilang sih sama dia jadi ya bukan salah Abi juga. Namanya usaha kali aja berubah kan tapi ... Bita nyerah kayak saran Namira.”

Damar tak mengatakan apa pun. Ia hanya mengusap kepala Bita ringan, memberitahunya bahwa ia selalu ada di sisi Bita dalam keadaan apa pun.
“Dua tahun. Membuang waktu banget. Bodoh kan Bita, Bang?” tanya Bita yang kini berurai air matanya. Ia mengusap kasar air mata dari matanya. “Jelas-jelas dia nggak suka Bita malah mepet terus. Udah tahu bakalan sakit tetep aja main api terus. Bego banget.”

Kali sungguh terasa nyeri di ulu hatinya. Terasa sekali tikaman sakit yang ia rasakan di dadanya, bahkan mampu mengoyaknya tanpa sisa. Dan entah apakah ia bisa pulih seperti semula atau tidak sebab tak ada lagi kegembiraan yang bisa ia rasakan. Hidupnya seperti kosong tanpa kehidupan.

Damar mendekat, merangkul bahu Bita untuk bersandar padanya. Dia membiarkan wanita itu menangis sejadi-jadinya, membiarkan Bita meluapkan semua emosinya, dan membiarkannya mengotori kemejanya asal Bita tenang. Seandainya wanita ini sedikit saja memiliki perasaan untuknya, dia rela menjadi tempat bersandar dan berjanji akan menyembuhkan luka hati Bita. Sayangnya bukan dia yang diharapkan oleh Bita.

Tobaco.

Ada yang aku ganti panggilannya ya. Lainnya kgk.

Oh ya mo spill dulu kover dadakan punya si Om 🤣 series terakhir dari Rasyidin bersaudara (seri pertama: misunderstood Love)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top