Bonus 1 - Bed Talk

⚠️

Tidurku terusik karena sentuhan-sentuhan menggelikan di sekitar leher dan bahuku. Sesuatu yang lunak dan hangat, sesekali basah, menyusuri garis leher dan bahuku. Dari bawah rahang sampai belokan ke lengan, kemudian kembali lagi ke rahang. Aku bergidik beberapa kali, berusaha menutupi leher dengan sebelah tangan, tetapi tangan lain berhasil menangkap tanganku dan memerangkapnya dalam kehangatan. Kalau sudah seperti ini, bagaimana lagi caraku menghentikannya selain berbalik dan mendorongnya pergi. Itu pun kalau aku masih punya tenaga tersisa, mengingat waktu tidurku yang aku yakin baru sebentar tidak cukup untuk mengembalikan energiku yang terbuang semalam. Mataku masih enggan membelalak, masih ingin tetap tidur rasanya. Namun, tidak seperti ini caranya.

Akhirnya aku menyerah, mengerjapkan mata untuk membiasakan cahaya dan berbalik untuk menerima ucapan selamat pagi di bibirku. Itu bahkan masih terasa bengkak karena si pelaku terus menghisapnya tanpa henti demi mengalihkan rasa sakit di bibir yang lain semalam. Ugh, bagaimana mungkin dia masih terlihat segar ketika wajahku sangat kacau? Jangan lupakan sakit pinggang yang membuatku meringis.

"Selamat pagi, Sayang." Wajahnya begitu cerah, secerah sinar matahari yang menyeruak masuk di sela-sela tirai jendela. Ngomong-ngomong, sudah jam berapa sekarang? Seharusnya kami panik jika ini merupakan hari kerja, tetapi tidak. Ini akhir pekan, Killian tidak pergi bekerja dan aku tidak harus buru-buru pergi ke Macy's. Ah, satu bulan lagi sebelum kami harus memindahkannya ke gedung.

Aku menutup wajah dengan sebelah tangan, merasa malu karena tidak bisa menyambut pagi dengan wajah sebagus miliknya. "Aku masih lelah dan mengantuk. Apa tidak bisa membiarkan istrimu tidur lebih lama?"

Killian tertawa, sama sekali tidak ada rasa bersalah telah menggodaku dengan kecupan-kecupan yang tiada henti. Sebelah tanganku yang lain memukul wajahnya dan berhasil meski aku tidak melihat. Namun, setelahnya dia meraih tanganku dan menciuminya dengan lembut seakan-akan itu benda yang rapuh.

"Ini sudah pagi, kau harus sarapan." Dia bicara seperti itu seakan-akan dia sudah membersihkan diri dan berpakaian rapi. Kondisinya sama denganku, hanya ada selimut yang menjadi pelindung tubuh kami yang telanjang.

Semuanya berantakan kalau dilihat-lihat. Dari empat bantal yang biasa berada di kasurnya kini hanya tersisa satu untuk meletakkan kepala kami. Jarak ini terlalu dekat, tetapi tidak sebanding dengan seberapa dekat tubuh kami semalam. Wajah dan telingaku terasa panas begitu mengingatnya. Kami melakukannya lagi setelah berkonsultasi ke dokter kandungan sekali lagi. Killian tidak membiarkanku tidur sampai dia merasa puas. Sungguh, sebanyak apa pun aku mengenal dirinya, tetapi tidak bisa tidak terkejut oleh seberapa besar stamina yang dimilikinya. Aku tidak akan terkejut kalau seandainya hamil lagi setelah ini.

"Kau duluan saja, aku tidak begitu lapar, hanya perlu tidur lebih banyak."

Aku menarik tanganku dan kembali membelakanginya. Ini masih pagi, bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Akan tetapi, Killian tidak membiarkanku melakukan yang kumau. Dadanya menempel pada punggungku, mempertemukan kulit kami yang masih terasa agak lengket. Debar jantungnya terasa lembut hingga aku berpikir dia juga ingin ikut tidur lagi sambil memelukku. Sayangnya, satu telapak tangannya yang lebar itu justru menangkup dadaku.

Sial, sial, sial. Aku mengerang karena tangan itu tidak sekadar diam saja di sana. Dia tidak berpikir ingin melakukannya lagi pagi ini, bukan? Aku tidak akan ragu menyebutnya pria mesum kalau itu sampai terjadi.

"Killian, kumohon berhentilah." Aku menangkap tangannya, berharap bisa menghentikannya, tetapi Killian justru bermain-main seperti sedang meremas balon berisi air.

"Tidak apa-apa, kau bisa melanjutkan tidurmu."

"Menurutmu aku bisa tidur lagi kalau kau menyentuhku sembarangan?" Tubuhku menggeliat, karena perbuatannya menciptakan rangsangan tersendiri di perutku.

"Sembarangan? Aku sedang menyentuh istriku, bukan orang sembarangan."

Akhirnya dia berhenti. Tangannya bergerak turun untuk menarik pinggangku hingga tubuh kami menempel lebih dekat lagi, kemudian disusul wajahnya di belakang leherku, mengendus di sana seperti anak anjing. Aku sampai merinding dibuatnya.

"Apa yang kau inginkan?" Aku berbalik setelah menanyakan itu. Aku benar-benar menyerah sekarang dan akan mencari waktu lain untuk melanjutkan tidur nanti. Mungkin aku bisa membuat Killian pergi mandi dan sarapan lebih dulu lalu aku akan tidur lagi.

"Aku pernah memimpikan ini, kita bangun di pagi hari lalu membicarakan masa depan bersama di kasur."

Aku sudah bosan memuji ketampanannya, tetapi aku justru terpesona lagi hanya dengan melihatnya tersenyum sekarang. Apa Killian benar-benar merasa bahagia? Hanya dengan bersamaku? Karena, ya, matanya tidak berbohong soal itu.

"Jadi, kau ingin kita mengobrol seperti ini?" Rambutnya yang berantakan karena kuacak-acak semalam, tetap terasa lembut ketika aku merapikannya. Dia berpejam seakan-akan sentuhan itu membuatnya merasakan kenikmatan.

"Iya. Aku mulai memikirkan rencana bulan madu. Kita belum pernah melakukannya dengan benar." Killian mungkin berpikir tentang liburan kami ke Napa. Saat itu memang terasa seperti berbulan madu, tetapi untuk bagian bercinta terjadi tanpa disengaja.

"Daftar destinasi liburan kita, kupikir bisa dijadikan sebagai destinasi bulan madu," katanya lagi dengan tatapan yang penuh semangat.

Aku tertawa kecil melihat reaksinya yang seperti itu. Antusias yang seperti itu membuatnya terlihat seperti anak kecil. Ah, aku jadi membayangkan putra kecil kami yang akan sangat mirip dengannya. Aku jadi refleks menyentuh telinganya dan itu jadi merah padam sekarang. Dia buru-buru menangkap tanganku.

"Kau tahu apa yang terjadi kalau kau menyentuh telingaku, bukan?" Seperti tidak pernah merasa puas, Killian kembali menciumi tanganku. Tangan yang belum dicuci lebih tepatnya, mungkin ada sisa keringat kami yang mengering di sana. Entah dia memang tidak mempermasalahkan itu dan tidak merasa jijik, atau dia tidak menyadari apa saja yang sudah tangan itu raih semalam.

"Aku percaya kau tidak akan menyakitiku lagi."

Kata-kata itu membuat Killian menatapku dan tersenyum begitu manis. Aku sangat beruntung, ya, menyaksikan wajah tampan itu setiap pagi dan menerima perlakuan yang manis.

"Pinggang dan pinggulku masih sakit. Di paha juga." Dan aku bisa mengeluhkan hal sememalukan ini tanpa canggung.

"Mau kupijat?"

Tawaran itu menggiurkan, tetapi tidak akan kuterima karena tatapan Killian dengan jelas menunjukkan arti lain dari kata pijat itu sendiri. Seringainya juga menyebalkan sekali.

"Tidak, tidak. Ayo mengobrol saja, seperti katamu tadi." Aku bangun, kemudian bergerak mundur dengan susah payah hingga punggungku bertemu empuknya kepala ranjangku. Selimut ikut kutarik untuk menutupi tubuhku dan menjepitnya di bawah ketiak. Aku tidak akan bisa tenang jika mengobrol bersama Killian yang matanya akan terus tertuju ke dadaku. Dia masih berbaring.

Dia tertawa dan memeluk kakiku. Lengannya melingkari pahaku. "Jadi, bagaimana? Bulan madu?"

"Entahlah, kita tidak bisa melakukannya kalau aku hamil, 'kan?"

Wajahnya mengerucut, kedua alisnya bertaut menunjukkan kebingungan. "Kau hamil?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya. Kata-kataku sebelumnya mungkin terdengar ambigu sampai dia menyimpulkan seperti itu. Memangnya dengan siapa lagi aku melakukannya selain Killian? Yang tadi malam bahkan kali kedua kami, selama proses pemulihan pasca keguguran, dr. Shemira tidak menyarankan kami melakukan hubungan badan lagi.

"Bukan begitu, maksudku, setelah kita melakukannya semalam, besar kemungkinannya kalau aku akan hamil lagi. Kau dengar kata dr. Shemira waktu itu, kan, kantung janinnya sudah terbentuk, hanya tinggal diisi." Entah kenapa wajahku terasa panas ketika aku mengatakannya.

"Wajahmu merah." Dia menyentuh wajahku. "Kalau begitu, kita bisa menunggu hasilnya nanti, kalau berhasil lagi, kita bisa tunggu dia lahir dan kita bawa pergi. Oh, atau kita titipkan ke kakek dan neneknya. Mereka pasti senang."

Aku menggeleng. Killian bahkan sudah berpikiran sejauh itu. "Bukankah ada yang lebih penting untuk dibicarakan selain bulan madu?"

Dahinya berkerut, kebingungan lagi. Situasi ini sungguh menunjukkan bahwa kami terlalu amatir untuk dua orang yang hampir satu tahun berumah tangga. Hari ini mungkin kami bisa saling mengatakan bahwa kami bahagia bersama, tetapi tidak tahu apa yang akan dihadapi ke depannya. Apakah kaki kami masih mampu berjalan bersama sampai ke sana?

"Kita belum pernah membicarakan tentang anak. Bagaimana mengurusnya, pendidikannya, kita berdua sama-sama sibuk dan aku cukup egois karena tidak bisa melepaskan karierku. Aku masih ingin menjadi desainer."

Killian tersenyum sangat lembut. "Aku tahu kau sangat mencintai kariermu sekarang. Aku tahu itu keinginan terbesarmu dan kau juga tahu aku tidak akan menghentikanmu. Kita bisa cari solusi lain, membayar pengasuh misalnya. Lagi pula, kau tidak sendirian, aku juga akan mengerjakan bagianku untuk mengurus anak kita kelak, jadi jangan khawatir."

Itu hal termanis yang kudengar pagi ini. Saking bahagianya, air mataku sampai mengalir tanpa disadari. Aku masih mengkhawatirkan hal-hal yang tidak berarti sampai lupa kalau aku masih bisa bergantung pada Killian, sahabat sekaligus suamiku. Mana yang lebih baik? Aku masih belum bisa menanggalkan predikatnya sebagai sahabat terbaik yang pernah kumiliki.

"Aku berusaha untuk tidak membuatmu menangis lagi, tapi apa ini?" Jempolnya menyeka air mata di pipi kananku.

"Kau mengatakan sesuatu semanis itu, aku jadi terharu."

Dia tersenyum lagi. "Aku akan mencari sekolah-sekolah yang bagus, kau tinggal pilih saja nanti. Jadi, aku melakukannya dengan benar semalam? Kita akan punya anak?"

Sebenarnya aku pun masih ragu, tetapi jika mengingat pengalaman sebelumnya, kami mendapatkannya di kali pertama, meski aku tidak yakin tembakan ke berapa sampai berhasil membuahi. Namun, yang semalam, Killian jauh lebih bersemangat dari yang pertama kali. Peluang jika itu berhasil membuahi lagi jauh lebih besar.

"Aku hanya mengira-ngira. Kita harus menunggu setidaknya dua bulan lagi, aku akan kedatangan tamu bulanan atau tidak."

Seakan-akan di perutku sudah ada isinya, Killian mengangkat sedikit badannya dan memeluk perutku. "Aku jadi tidak sabar." Suaranya teredam oleh selimut yang menutupi perutku.

"Menjadi ayah?"

Dia mengangguk dengan mantap.

"Bagaimana kalau ternyata gagal?"

"Kita akan berusaha lagi dan lagi sampai punya satu yang secantik dirimu. Dan kita juga akan melakukannya di destinasi liburan kita. Bagaimana?"

Melakukannya ... lagi? Wajahku panas meski baru memikirkannya. Apa Killian sangat menyukainya sampai begitu bersemangat untuk melakukannya terus? Tunggu, apa laki-laki memang tidak akan merasakan kesakitan yang sama denganku setelah berhubungan? Ah, makin aku memikirkannya, makin tidak adil rasanya.

"Kau merengut, apa kau tidak menyukainya?" Killian menyadari perubahan ekspresi wajahku.

Aku ingin bertanya apakah dia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan setelah melakukan itu, tetapi kuurungkan karena wajah segar itu sama sekali tidak terlihat seperti sedang menahan rasa sakit atau sejenisnya. Aku tidak sedang berusaha menyingkirkan itu dari aktivitas sebagai sepasang suami istri, tetapi bagaimana mungkin aku tidak merasa keberatan jika setelahnya harus merasakan sakit seperti ini?

Aku menarik selimut sampai menutupi wajahku, merasa malu pada apa yang akan kuucapkan setelah ini. "Jangan sering-sering. Aku tidak mau pinggangku sakit terus."

Lihat, Killian tertawa keras setelah mendengarnya. Satu tanganku keluar dari selimut untuk menarik telinganya dengan kuat, hingga yang dia rasakan bukan lagi rangsangan, melainkan kesakitan.

"Astaga, Ana, kau akan membuat yang di bawah sana tegang lagi."

Sial. Aku langsung menarik tanganku dan sesuatu mulai mengganggu pikiranku.

Aku menurunkan selimut perlahan-lahan sampai hanya sebatas dagu. "Kalau orang lain yang menyentuh telingamu, apa kau juga akan terangsang?"

Wajah Killian yang memerah tampak memberengut, tetapi tidak lama karena bibir itu kemudian menyeringai. "Apa istriku ini cemburu?"

"Menurutmu?" Yang seperti itu kurasa tidak perlu disembunyikan. Killian perlu tahu kalau aku akan cemburu jika dia berdekatan dengan wanita lain. Dengan begitu, dia tidak akan macam-macam.

"Ah, menggemaskan sekali istriku yang sedang cemburu."

Aku menepis tangannya ketika mencolek-colek daguku. "Jawab saja pertanyaanku."

"Entahlah, belum ada yang mencoba menyentuhnya. Jaden pernah menariknya sepertimu tadi, tapi tidak berarti apa-apa." Jeda sebentar karena dia berusaha mengingat-ingat sesuatu lagi. "Gabby ... dan mantan kekasihku yang lain pernah hampir menyentuhnya, tapi aku selalu menepis tangan mereka."

Aku manggut-manggut. "Lalu kenapa aku dibiarkan menyentuhnya? Kau tidak berusaha mencegahku padahal tahu itu merupakan titik sensitifmu."

"Bagaimana menjelaskannya? Aku suka saat kau menyentuhnya."

Pengakuannya membuatku malu. Akan tetapi, aku tidak menampik jika momentum seperti ini rasanya menyenangkan. Mari abaikan fakta bahwa kami masih telanjang saat ini.

"Killian." Aku memanggilnya, sama sekali tidak terdengar romantis. Dia berkali-kali memintaku memanggilnya dengan nama nama panggilan khusus, seperti dia yang sering kali menyebutku 'Sayang'. Namun, aku tidak bisa melakukannya karena lidahku rasanya jadi gatal.

Dan dia mengabaikanku dengan berpura-pura tidur. "Killian sayang." Aku memanggilnya dengan benar kali ini.

"Ya?" Baru dia menghiraukanku.

"Aku lapar. Kau mau mandi dulu, atau aku yang lebih dulu? Oh, aku akan mandi di kamar mandi lain kalau kau mau di sini."

Aku menunggu jawabannya, tetapi yang dia lakukan hanya mengernyit. Ada yang salah dengan pertanyaanku?

"Mandi bersama saja lebih cepat."


•••

Entah dapat wangsit dari mana tetiba kepikiran ide ini buat jadi bonus :)

Lots of Love, Tuteyoo
11 Desember 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top