9 - The Celebration

Aku dan Emma baru saja tiba di lantai teratas hotel. Mataku spontan menyipit karena di sana benar-benar terang, sedangkan kami baru saja melewati lorong yang lampunya agak remang. Di langit-langitnya ada banyak lampu gantung kecil, yang dipasang rapi. Belum lagi di setiap meja juga terdapat lampu kecil menyerupai miniatur lampu minyak sebagai dekorasi. Di salah satu sisi dindingnya pun dipasangi lampu neon tempel yang membentuk sebuah kutipan.

Don't wish for it. Work for it.

Warna biru mendominasi, tetapi untuk furniturnya didominasi dengan warna putih. Beberapa pelayan benar-benar sibuk mondar-mandir untuk mengantarkan makanan dan minuman ke meja-meja di sana. Bahkan ada yang hampir kutabrak, tetapi pelayan itu punya refleks yang sangat bagus untuk menghindariku.

Semua orang sudah berkumpul di sini, kurasa. Sebab hampir seluruh kursi sudah ditempati saat aku dan Emma berjalan di antara meja. Kami datang terlambat karena Emma harus merias dirinya dulu, dia merasa tidak cukup pantas bertemu orang-orang dengan wajah yang kacau setelah seharian bekerja keras. Karena disinggung begitu, aku pun membenahi riasanku.

"Ana, Emma! Di sini!"

Teriakan itu membuat kami spontan melirik ke area bar di ujung ruangan. Rebecca makin tampak menjulang ketika mengangkat tangannya untuk melambai. Dia jadi lebih mudah ditemui di antara lautan manusia yang sedang makan ini.

"Congratulations, Darling. Aku tahu kau akan memenangkannya." Rebecca langsung menyambutku dengan sebuah pelukan dan ucapan selamat. Untuk kepribadian seorang model—yang pernah kutemui, kurasa dia sangatlah ramah.

"Terima kasih, Becca. Takkan terjadi tanpa bantuan kalian." Aku juga tersenyum pada dua model lain yang duduk di sebelah Rebecca.

"Boleh jujur? Aku berharap ada lebih banyak desainer sepertimu, yang tidak hanya mengutamakan model dan kesesuaian tren mode, tetapi juga kenyamanan busana saat dikenakan. Bahkan kalau perlu, aku rela dikontrak seumur hidup untuk mengenakan busana-busanamu."

Aku tersenyum pada Jessica, wanita di sebelah Rebecca yang juga seorang model. Aku benar-benar merasa beruntung bertemu mereka. Aku tentu memikirkannya, jika ingin seseorang mengenakan sesuatu darimu, buatlah mereka nyaman. Dosenku pernah berkata seperti itu dan aku terus mengingatnya.

"Aku setuju. Dia sampai tidak bisa menelan makan siangnya hanya karena memikirkan kain." Emma turut menimpali. Namun, dia agak berlebihan sampai aku malu dan meninju pelan lengan kirinya.

"Kalian berlebihan," sahutku dengan suara pelan karena menahan malu.

"Sekali lagi selamat, Ana." Rebecca kembali memelukku dengan erat. "Ayo kita rayakan, Tequila, Ana?"

Aku menggeleng kuat sebagai penolakan. Minuman itu memiliki kadar alkohol cukup tinggi, sedangkan aku tidak ingin merayakan ini dengan mabuk-mabukan. Killian akan memarahiku besok paginya, apalagi kalau harus merepotkannya untuk menjemputku pulang.

"Bir saja." Aku membalas sebelum melayangkan pandangan ke sekeliling. Hingga aku menemukan Allen, bersama beberapa pria dan tertawa bersama di salah satu meja di seberang ruangan.

Aku penasaran apa yang mereka bicarakan sampai membuat Allen tertawa hingga hilang matanya. Makin dilihat, pria itu makin menarik saja.

Aku berpaling lagi ketika Rebecca memberi tahu kalau minumannya sudah siap. Kami bersulang dan meminumnya dengan penuh suka cita.

"Ana, aku penasaran, pria yang biasanya menemanimu di studio itu siapa?" Emma membuka pembicaraan. Namun, aku meringis karena topik yang dia bahas justru tentang Killian.

Sebenarnya takada masalah dengan pertanyaan itu, tetapi yang lain juga mendengarnya. Aku khawatir mereka akan menanyakan yang lain-lain juga. Oh, parahnya lagi, aku bisa saja akan keceplosan mengakui kalau aku sudah menikah. Hal-hal seperti itu sering terjadi ketika aku mendapat pertanyaan bertubi-tubi.

Hanya Emma yang sempat melihat Killian. Sebab wanita itu yang selalu berkenan pulang lebih lambat dibandingkan yang lainnya. Well, bukan berarti yang lainnya tidak ingin membantu, tetapi memang sudah tiba waktunya pulang.

"Dia ... sahabatku dari California. Kami pindah dan tinggal serumah di sini."

"Hanya sahabat? Kau melewatkan kesempatan besar, Ana. Bisa-bisanya pria setampan itu tidak kaukencani." Emma mengeluh tentang itu dan aku hanya bisa tersenyum ketika menenggak bir.

"Setampan apa dia?"

Kan, seperti yang kuduga, akan muncul rasa ingin tahu yang lainnya. Sedangkan aku tidak bisa memamerkan foto Killian kepada mereka. Takada alasan khusus, sih, tetapi untuk saat ini foto Killian yang ada di ponselku hanya saat kami menikah. Selebihnya sudah kupindahkan ke Macbook.

"Lebih tampan dari si pria EO itu." Emma yang membalas. Sebutan EO langsung mengingatkanku pada Allen.

"Serius? Allen kalah? Wah, padahal dia yang terbaik di sini." Rebecca mengedarkan pandangan, hingga berhenti di belakangku. Meja Allen dan teman-temannya berada di sana. "Lihatlah wajahnya yang manis itu. Menggemaskan."

Aku mengernyit dan tertawa kecil saat mendapati model itu memandang Allen dengan tatapan terpesona.

"Aku tidak bohong." Lalu Emma menepuk lenganku. "Di mana dia sekarang? Tidak diundang untuk datang ke acara makan malam ini?"

"Memangnya orang lain boleh datang?" Aku mengerjap beberapa kali, tidak ingat pernah diberi tahu kalau kami bebas mengundang kerabat.

"Coba lihat yang di sana, itu suaminya. Yang itu juga, datang bersama istri bahkan balitanya." Emma memberi tahu sambil menunjuk siapa saja yang dimaksudnya. Aku bahkan tidak tahu itu benar atau tidak karena tidak mengenal satu pun. Sampai kukira mereka adalah anggota tim peserta yang lain.

"Status mereka jelas, kalau aku hanya akan membawa seorang teman, tidak lebih," sahutku, berharap itu tidak akan memicu pertanyaan yang lain.

"Bagaimana kalau minta dia menyusul? Sekalian menjemputmu," usul Rebecca dengan mata berbinar-binar. Rupanya dia terlalu penasaran dengan sosok Killian. Padahal apa yang akan dia lakukan saat bertemu, Killian mungkin akan mengabaikannya, terlebih sudah ada Gabby di sisinya.

Aku tidak ingin direpotkan dengan titipan surat atau pernyataan suka dari para perempuan yang memuja Killian. Kenyang sekali aku melakukan itu dulu.

Gelas bir sudah menjauh dari bibirku, isinya nyaris kosong. Beruntung aku tidak tersedak saat mendengar usulan Rebecca tadi karena sambil minum—lebih tepatnya, berhasil kutahan. Di malam perayaan seperti ini mereka justru membicarakan tentang hal lain.

Alkohol mendadak memicu rasa kesalku meski hanya sedikit.

"Tidak bisa. Dia sibuk." Aku menjawab pelan.

Kami mengobrol tentang yang lainnya sekarang. Seperti pengalaman asrama Rebecca yang tidak terlalu baik, Emma dan perceraiannya, Jessica dengan pacarnya yang setia meski berhubungan jarak jauh—untuk yang ini aku tidak heran, dia secantik itu, tentu saja pacarnya akan setia. Sampai rencana masa depan mereka. Aku tak banyak bicara, karena kuberi tahu mereka kalau aku tidak memiliki pengalaman satu pun. Mereka percaya, sampai berpikir kalau aku si gila kerja.

Ponsel di kantong celanaku sempat berdering dan menampilkan nama Killian, tetapi aku tidak menerimanya dan menyimpan kembali benda itu ke dalam tas. Aku tidak ingin mendengar maafnya di saat-saat baik seperti ini.

"Apa kau hanya akan minum dan tidak makan?"

Aku terkesiap, tetapi menggeram agak kesal kemudian. Aku berusaha untuk terbiasa dengan cara Allen muncul di dekatku, tetapi belum berhasil meski sudah beberapa kali. Dia masih membuatku terkejut dan merinding karena bisikannya.

Ekspresi Emma dan Rebecca menarik sekali saat ini. Mereka seperti dua orang yang baru saja melihat pria tampan bertelanjang dada. Terpesona dan tampak sangat serius. Aku menahan tawa untuk mereka dan berbalik untuk menyambut kehadiran Allen.

"Tidak bisa datang dengan cara yang normal, Tuan?" Itu sindiran, tetapi tidak berlaku bagi Allen yang justru meresponsnya dengan tawa.

"Harus diimbangi, kau bukan orang yang biasa-biasa saja."

"Kuharap itu berarti baik."

Senyum Allen mengembang. Aku bisa menyebutnya si tukang senyum mulai sekarang.

"Oh, kau mau minum sesuatu?" Aku menawarinya, sekalian karena aku ingin mengisi kembali gelasku yang sudah kosong.

"Apa setelah itu kita akan mabuk dan bersenang-senang?"

Aku mengira Allen serius dan nyaris menganggapnya pria kurang ajar andai dia tidak tertawa geli setelahnya. Aku tahu, pasti karena ekspresiku. Killian sudah sering memberi tahu kalau mukaku saat bengong persis anak anjing kehilangan induknya.

"Aku akan minum, tapi ini belum jamnya."

"Wow, kau minum tengah malam?" Aku bertanya kepada Allen, tetapi juga memberi isyarat pada seorang bartender untuk mengisi gelasku lagi.

Dia mencebik dan alisnya nyaris tertaut. Bola matanya bergulir ke arah lain seperti sedang berpikir.

"Aku hanya tidak ingin mengambil risiko kalau minum denganmu hari ini."

Sekarang giliranku yang mengernyit. "Risiko apa?"

Namun, Allen tidak menjawab dan hanya menatapku dengan tatapan yang sulit kumengerti. Entah apa yang sedang ingin dia sampaikan melalui matanya yang keabuan itu.

Aku harus mengalihkan pandangan darinya ketika si bartender menyodorkan gelasku kembali.

"Terima kasih, Ana. Kesempatan itu akan kuambil lain kali. Bye." Allen melangkah mundur, lalu melambai dan mengedipkan sebelah matanya. Setelah cukup jauh, barulah dia berbalik dan tenggelam di antara para pengunjung.

"Ana, itu Allen, 'kan? Oh, lord, kau bicara dengannya!" Rebecca heboh sekali, dia sampai meremas tanganku seperti seorang ibu yang merasa gemas melihat bayinya.

"Aku beberapa kali bertemu dengannya di beberapa acara, tapi dia agak pendiam. Karena tampak misterius, dia jadi digilai banyak wanita." Jessica menimpali.

"Tapi aku melihatnya menggodamu! Itu luar biasa." Sekali lagi, Rebecca memberi reaksi yang sangat dramatis. Wanita itu memandangku takjub, seolah-olah ada keajaiban di depan matanya.

"Pelan-pelan, Guys, kau membuat Ana tersudut," sahut Emma, berjalan di tengah-tengah kami dan berhenti untuk merangkulku. Kukira dia menyelamatkanku, tetapi dia justru bertanya, "Jadi, apa tips agar pria itu mau bicara?"

💍

Aku memberhentikan mobil di belakang milik Killian. Aku keluar bersama sebuah buket bunga yang besar dan beberapa tas karton berisi hadiah dari penyelenggara acara, kemudian menutup pintu dengan agak membantingnya. Saat berjalan menuju pintu depan, aku menguap sesekali. Lelahnya baru terasa setelah aku tiba di rumah.

Kunci sudah ada di tanganku, tetapi pintu rumah ternyata tidak terkunci. Killian bukan pria ceroboh, bisa dipastikan dia belum tidur saat ini. Namun, sebagian lampu rumah sudah dimatikannya. Hanya lampu di lantai dua yang menyala.

"Killian?" Aku menyerukan namanya dan berulang sampai tiga kali. Namun, takada jawaban.

Aku mengunci pintu dulu sebelum berjalan lebih ke dalam. Meski lampu dimatikan, tetapi aku masih bisa melihat di sekitar karena tirai jendela yang tidak tertutup sepenuhnya, jadi cahaya dari luar merembes masuk ke rumah. Keuntungan dari memiliki sedikit barang, aku tidak perlu khawatir akan tersandung. Setibanya di dapur, aku menyalakan lampunya.

Killian juga tidak ada di dapur. Namun, aku menemukan kotak kue di atas meja pantri samping kompor. Mataku tak beralih dari benda itu. Membayangkan Killian menikmati waktu berdua dengan Gabby sambil menyantap kue, yang parahnya adalah kesukaanku, membuatku sedikit terganggu. Aku tidak tahu apa alasannya dan kenapa aku justru merasa begitu.

Mungkin aku masih kesal karena dia meninggalkan acara sebelum namaku dipanggil sebagai peserta yang lolos. Atau karena mereka tidak membuang sampah itu ke tempatnya. Keduanya sama-sama menyebalkan.

Kotak itu kuraih setelah meletakkan bawaanku ke atas meja makan, kemudian meremasnya dengan kuat, seolah-olah aku sedang melampiaskan kekesalan. Aku sengaja melakukannya untuk menghemat ruang di tempat sampah. Aktivitas melegakan itu kuakhiri dengan mengembuskan napas yang berat.

Aku perlu tidur, tidur yang lama sampai bangun kesiangan. Kupikir besok adalah waktu yang tepat untuk beristirahat, mengingat takada hal khusus yang akan kulakukan. Tenant di The Macy's pun baru bisa kuisi tiga hari lagi, karena yang menempati sebelumnya perlu waktu untuk memindahkan barang-barang.

Aku naik ke lantai dua, meninggalkan bawaanku di dapur, lalu menilik kamar Killian yang pintunya terbuka sedikit. Pria itu juga takada di dalamnya. Aku langsung mengira dia sedang berada di ruang kerja dan itu berarti tidak boleh kuganggu. Pulang ke rumah tanpa sambutan dan ucapan selamat darinya adalah hal yang tidak biasa terjadi dan aku harus membiasakan diri. Pasti akan ada hal seperti ini lagi ke depannya.

Aku memasuki kamar dan terkejut melihat Killian ada di sana, berbaring dengan nyaman di kasurku, tetapi kentara sekali kekesalan sedang tertampung di wajahnya.

"Aku menunggu lama untuk ini. Bahkan teleponku juga tidak kunjung kau terima," keluhnya tanpa menatapku. TV yang menayangkan iklan alat olahraga seolah-olah lebih menarik daripada aku.

Dia tidak sendirian, ada kue bertuliskan selamat di sampingnya dan satu kotak hijau besar dengan pita putih di depan nakas. Ah, kekesalanku seketika luntur. Kukira Killian akan berubah, tetapi ternyata dia jadi jauh lebih manis dari yang pernah kukenal.

Namun, ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya.

"Bagaimana kau tahu? Kau tidak mengikuti acaranya sampai akhir." Tahan, Ana, kau tidak perlu meledak di saat-saat seperti ini.

Killian melirikku dengan kedua alis naik. Dia beranjak dari kasur dan berdiri di hadapanku. Kedua tangannya berada di bahuku, dan jari-jarinya saling bertaut di tengkukku. Kami masih berada dalam jarak aman, meski aroma segar dari tubuhnya benar-benar menggodaku untuk memeluknya.

"Luciana, apa kau tidak tahu acaranya juga ditayangkan secara live di Youtube?" Killian tersenyum sangat manis, padahal tujuannya untuk mengejekku.

Aku menggigit bibir bawah untuk menahan senyum, tetapi aku terlalu malu di hadapannya, jadi aku menunduk. Aku sudah salah mengira dia akan mengabaikanku, padahal menyiapkan kejutan kecil ini untukku. Siapa yang tidak akan tersipu?

"Maaf karena meninggalkan acara sebelum berakhir. Ada masalah keamanan di salah satu program kami, jadi aku harus ke kantor."

Maaf juga karena aku sudah mengira kau bersenang-senang dengan Gabby. Namun, aku tidak berani mengatakannya langsung, sebab aku tidak ingin kami adu mulut lagi seperti yang terjadi kemarin.

"Terima kasih, Killian. Entah bagaimana aku harus membalasmu."

"Aku suamimu, Ana, aku harus memerankannya dengan baik dan membuat istriku bahagia. Dan kalau kau masih ingin berterima kasih, aku sudah memikirkan sesuatu sejak tadi." Killian tersenyum miring dan menghapus jarak kami sedikit-sedikit. Aku mulai curiga dengan gerak-geriknya ini.

"Apa?"

"Suami ini perlu ciuman dari istrinya. Suasana hatinya sedang tidak baik karena dibuat menunggu lama."

Aku spontan memukul dadanya dan tertawa ringan. Hal-hal romantis seperti itu sangat jarang terbayang akan dilakukan dengannya. Bahkan saat di upacara pernikahan pun kami tertawa geli setelahnya, padahal hanya menempel. Namun, karena Killian sudah bersikap manis untukku, mungkin tak masalah melakukannya sesekali.

Aku maju dan menempelkan bibirku ke miliknya sebentar, mungkin tak sampai satu detik.

"Istrimu sudah meminta maaf, jadi bisakah kita makan kuenya?"

Killian tampak kaget, seperti aku baru saja melakukan sesuatu yang tak terduga.

"Padahal aku hanya bercanda, Ana."

Bisa kurasakan wajahku memanas. Aku membuang muka untuk menyembunyikan rasa malu yang sudah pasti berhasil membuat wajahku merah padam. Mendadak berdekatan dengannya terasa canggung. Aku terlalu senang sampai tidak sadar sudah seberani itu. Satu, aku lolos, dua, kejutan darinya. Oh, dan aku penasaran apa isi kotak yang disiapkannya untukku.

"Ya ... karena kau sudah membangunkan harimau yang sedang tidur, aku harus melakukan ini, Ana."

Aku belum sempat bereaksi, tetapi Killian sudah menghapus jarak kami. Dia menarik tengkukku dan tidak membuang-buang waktu untuk melumat bibirku dengan lembut. Aku sempat terlena sesaat, tetapi tidak mampu membalasnya. Peranku cukup pasif, hanya diam dan menerima. Setelah cukup lama, dia menjauh.

"Maaf, Ana, tapi kau yang memulainya."

Killian melakukannya lagi, kali ini turut memaksaku untuk membalasnya. Aku masih tidak mengira ini akan terjadi, tetapi, ya, aku balas melumat bibirnya sesekali. Sesuatu yang bergejolak di perut membuatku membalas pelukannya sembari berharap ini tidak cepat-cepat berakhir.

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
9 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top