74 - Family Dinner

Bercerai dari Killian. Kupikir itu adalah yang kuinginkan, tetapi sekarang aku justru tidak bisa berhenti merasa cemas setelah bicara di telepon. Sudah tidak mungkin untuk menarik kembali kata-kataku, 'kan? Killian sudah membawa berkasnya ke Cali dan pihak pengadilan meminta pertemuan bersama kami, kalau tidak dipenuhi, kami akan mendapat denda.

Begitu penampilan dari kami berakhir, aku langsung memesan tiket pulang ke California, tidak lagi mengikuti penampilan dari desainer lainnya atau merayakannya dengan makan-makan bersama. Aku cukup beruntung masih mendapat tiket untuk penerbangan pertama. Demi mengejar keberangkatan yang lumayan pagi itu, aku nyaris tidak tidur semalaman karena harus berkemas, termasuk mengemas kebutuhan show karena tidak mungkin aku meninggalkannya begitu saja. Ini kepulangan yang lebih cepat dari yang kami rencanakan dua hari lagi. Perjalanan ke Paris ini seharusnya ditutup dengan liburan bersama ke suatu tempat, setidaknya pencapaian ini dirayakan dengan sedikit hiburan meski tidak semua rekan-rekanku bisa terlibat.

Bagian buruk lainnya dari situasi ini adalah aku harus meninggalkan Allen. Aku yang membawanya ke sini, membuatnya harus mengosongkan satu minggu lebih waktunya yang seharusnya bisa dia pakai untuk bekerja. Namun, aku juga yang membuatnya terjebak dengan barang-barang kami. Dia sudah berkata kalau tidak apa-apa aku pulang lebih dulu, tetapi senyumnya yang senantiasa menenangkan, tidak berlaku seperti itu pagi ini. Sebagai gantinya, aku membiarkan dia memelukku cukup lama sampai aku berani memutuskan untuk membalas pelukannya, berharap itu harga yang pantas untuk menebus kesalahanku.

Aku tidak sendirian, ada Emma yang memaksa untuk ikut karena khawatir aku kehilangan arah selama di perjalanan pulang. Dia memaksa ikut dan aku tidak bisa menghentikannya. Bahkan saat berusaha meyakinkannya dengan berkata aku akan baik-baik saja, aku menuangkan saus ke minumanku, mengira itu adalah potongan piza yang Emma beli untukku sebagai sarapan. Aku juga terlalu banyak melamun hingga tidak menyadari panggilan untuk memasuki pesawat. Emma melakukan tindakan yang benar dan aku tidak tahu seberapa banyak terima kasih yang harus kukatakan padanya.

Semalaman tidak tidur dan selama hampir dua belas jam di pesawat pun aku tidak bisa tidur. Aku tidak sedang berusaha mendramatisir, tetapi Killian berhasil membuatku tidak bisa menyingkirkannya dari pikiran. Belum lagi reaksi orangtua kami. Aku sudah berjanji kalau aku yang akan memberi tahu mereka, tetapi kukira itu akan mudah, sekarang wajah kecewa mereka justru menghantuiku. Pernikahan kami adalah kebahagiaan mereka dan sekarang aku menarik paksa senyum itu dari wajah mereka.

Sekarang kepalaku terasa sangat pusing. Perbedaan waktu yang terlalu jauh antara Paris dan California membuatku tidak punya tenaga untuk sekadar menarik koper. Emma menahanku saat hampir jatuh ketika keluar dari taksi. Sekarang dia menyeret dua koper memasuki rumah orangtuaku. Kabar baiknya, mereka sedang pergi. Begitu juga dengan orangtua Killian, aku tidak melihat mobil mereka di halaman rumah sebelah. Aku sengaja ke rumah orangtuaku karena Killian pasti ada di rumah orangtuanya. Aku tidak siap bertemu Killian, bisa dipastikan aku akan menangis lagi kalau teringat raunganku malam itu meminta untuk diceraikan.

Aku akan tidur dulu, mengistirahatkan diri sekaligus menyiapkan mental untuk menghadapi orangtua kami nanti malam. Namun, baru saja melewati ruang tamu, aku justru disambut oleh pemandangan yang membuat tulang-tulangku serasa seperti jeli. Otot-ototku menjadi selunak rumput laut dalam sup. Tas jinjingku terjun bebas ke lantai, tidak lagi memikirkan isi di dalamnya.

"Jaden! Hentikan!"

Killian terbaring di lantai di antara kaki Jaden dengan kerah kemejanya ditarik. Satu tangan Jaden yang lain terkepal dan mengarah ke wajah Killian. Kalau saja aku tidak menjerit, mungkin itu sudah mendarat di wajah Killian.

Jaden menatapku dengan napas yang memburu. Wajahnya tidak akan sampai semerah itu jika tidak sedang dikuasai oleh kemarahan. Aku membeku di tempatku berpijak sekarang, menyaksikan Jaden yang seperti itu merupakan salah satu ketakutan terbesarku. Karena rasa takut itu pula aku jadi tidak berani ke sana dan memisahkan mereka berdua. Tatapan Jaden kemudian beralih pada Emma dan saat itu pula tangannya yang terkepal di udara jatuh di sisi tubuhnya. Setelahnya dia pergi dari sana.

Seakan-akan mendapat energi dari angin yang bertiup dari sisi ruangan tempat kolam ikan Dad berada, aku langsung berlari menghampiri Killian. Energi itu bahkan menguap lagi begitu kulihat sebelah lubang hidungnya mengeluarkan darah. Ini pasti karena kepalanya terbentur dengan keras, Killian akan mimisan ketika itu terjadi. Seberapa parah Jaden menghajarnya? Rahang kirinya juga merah, hanya tinggal menunggu waktu sampai itu membiru. Beruntungnya, aku belum terlambat mencegah Jaden.

Aku melihat ke belakang, bermaksud ingin meminta bantuan Emma untuk membangunkan Killian, tetapi dia sudah tidak ada di sana. Hanya tersisa koper kami yang posisinya dipindahkan agar tidak menghalangi jalan. Dia mungkin sedang menyusul Jaden.

"Kau bisa bangun? Ayo obati lukanya di kamarku." Sebenarnya aku juga merasa kesal dengan keputusannya mengajukan berkas perceraian tanpa diskusi denganku lebih dulu. Maksudku, tidak di saat aku sedang kerepotan dengan Fashion Week. Aku juga ingin tidak peduli padanya, tetapi tidak mungkin setelah melihat kondisinya seperti ini.

Killian akhirnya bangun, tetapi setelahnya dia meringis kesakitan. Dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya menatapku seakan-akan aku akan hilang jika dia berkedip.

"Ayo berdiri." Aku berdiri lebih dulu sambil menarik tangannya. Dia menurut dan berjalan mengekoriku menaiki tangga ke lantai dua, menuju kamarku. Namun, sebelum itu aku sempat mengambil kotak obat terlebih dahulu di lemari dapur, Mom masih menyimpannya di sana. Untung rahangnya, aku mengambil handuk kecil dan sebaskom air dingin. Tanganku bergetar membawa semua itu karena tidak lemas hingga Killian mengambilnya dari tanganku.

Kami masih tidak bicara bahkan ketika sudah tiba di kamarku dan aku mulai membersihkan darah di hidungnya. Kami duduk bersebelahan di pinggir kasurku. Jantungku berdebar sangat kencang karena Killian tidak berhenti menatapku. Aku sampai memintanya mendongak sebagai alasan agar aku bisa mengompres rahangnya.

"Apa yang terjadi sampai Jaden menghajarmu seperti ini?"

Jaden dan Killian tipe pria yang antikekerasan. Mereka paling mampu menahan diri untuk tidak menyelesaikan masalah dengan adu kekuatan. Jadi, kalau Jaden sampai seperti itu, berarti Killian sudah melakukan kesalahan yang fatal.

Aku tidak bermaksud menekan rahangnya, tetapi Killian baru saja meringis dan itu membuatku tersentak hingga hampir menjatuhkan handuk dingin.

"Kalau aku berada di posisinya, aku juga akan melakukan hal yang sama."

Tekanan tanganku pada rahangnya melemah. Meski tanpa dijelaskan pun, aku mulai berhasil menebak apa penyebab kemarahan Jaden. Dia mungkin tahu tentang rencana perceraian kami.

"Jaden tahu semuanya. Kau tahu aku tidak bisa menyembunyikan apa-apa kalau dia sudah menekanku." Killian tersenyum pasrah. Dia berhenti mendongak dan itu membuat darah kembali mengalir dari hidungnya. Aku buru-buru mengambil kapas dan menyumpalkan itu di sana. Kepalaku ikut pusing hanya karena melihat darahnya mengalir.

"Aku pulang tanpa istriku dan itu membuat Jaden curiga." Di saat seperti ini, masih sempat-sempatnya dia tertawa. "Dia mempertanyakan hubunganku dengan Gabby, yang aku tidak tahu dia pernah melihat kami bersama. Aku menceritakan semuanya, termasuk kehamilanmu dan perceraian kita. Dia marah besar setelah itu."

Ternyata lebih buruk dari yang kupikirkan. Killian tidak sepenuhnya bersalah. Aku bahkan menyembunyikan tentang kehamilanku pada semua orang. Setelah ini Jaden juga akan marah besar padaku, bahkan kedua orangtuaku dan orangtua Killian juga. Mereka mengharapkan kehadiran anak itu dan aku tidak menjaganya dengan baik. Tanpa kusadari, air mataku mengalir. Aku buru-buru menyapunya sebelum Killian melihat.

"Kau bisa bilang kalau aku juga berkencan dengan pria lain. Dengan begitu Jaden tidak akan mengamuk hanya padamu." Kekecewaanku pada Killian sama sekali tidak memengaruhi kadar rasa peduliku padanya.

"Aku tidak bisa menyeretmu dalam masalahku. Lagi pula, itu pantas kudapat. Jaden percaya aku bisa menjagamu, tapi apa yang kulakukan?"

Cukup. Aku tidak bisa mendengar Killian menyalahkan dirinya lebih banyak lagi. Berkas perceraian sudah diajukan, itu berarti tidak ada jalan untuk kembali, atau kami akan mendapat sanksi karena mempermainkan hukum.

Aku meletakkan handuk tadi ke dalam baskom kecil berisi es batu yang sudah mencair, kemudian membereskan isi kotak obat. Aku tidak bisa berlama-lama di sini, kalau Killian ingin beristirahat di sini, aku akan pergi ke kamar tamu yang rencananya akan kusiapkan untuk Emma.

Namun, sebelum aku keluar kamar, Killian menahan tanganku.

"Jangan tinggalkan aku, Ana."

Aku membeku. Tangannya terasa dingin dan lembap di pergelangan tanganku yang panas. Dia menggeser tubuhnya sampai kedua tangannya melingkari pinggangku. Aku merindukan pelukannya, tetapi ini bukan sesuatu yang bisa kunikmati untuk saat ini. Wajahnya kemudian bersandar pada punggungku.

"Aku mencintaimu, jangan tinggalkan aku. Mari kita batalkan perceraiannya." Suaranya teredam di sana, nyaris terisak.

Dadaku terasa sesak dan aku tidak bisa menahannya lagi, seperti gunung berapi yang sudah mengepulkan asap, bersiap untuk meledakkan isinya.

"Aku juga, Killian. Aku juga mencintaimu." Aku berbalik ketika kurasakan kepala Killian sudah tidak lagi bersandar padaku. Wajahnya yang menyedihkan membuatku pilu, tetapi ekspresi tidak percayanya justru tidak kusangka akan kuterima. Wajahnya kutangkup dan kutekan karena kesal, tetapi masih berhati-hati karena tidak ingin menyakiti lukanya. "Sudah berapa kali aku memberi sinyal padamu, tapi kau terus menganggap aku hanya bercanda."

"Kau tidak berusaha mencegahku berpikir begitu."

Apa sejak awal memang harus aku yang berusaha?

"Apa yang mau kaulakukan kalau tahu itu sungguhan? Mau hubunganmu dengan Gabby berakhir lebih cepat? Kalian bahkan pergi berlibur bersama setelah tidur denganku, Killian."

Aku ingat sudah memintanya untuk melupakan malam itu dan menganggapnya sebagai kecelakaan. Namun, tidak pernah aku mengira kalau kecelakaan itu akan menghadirkan sesuatu yang luar biasa. Dan yang luar biasa itu mungkin sadar kalau kami tidak mengharapkan kehadirannya sejak awal, makanya dia memutuskan untuk pergi lebih cepat.

"Aku menyesal tidak menyadarinya lebih cepat." Killian menarikku mendekat, memelukku lagi dan menyandarkan kepalanya di dadaku. "Apa kita tidak bisa terus bersama?"

"Aku tidak bisa meninggalkan Allen."

•••

Orangtuaku pulang sore harinya, begitu juga orangtua Killian. Kehadiranku membuat mereka senang bukan main sampai secara mendadak merencanakan makan malam bersama di luar. Emma ikut, tentu saja. Kehadirannya cukup berguna untuk menenangkan Jaden. Boleh kubilang, pengalih perhatian agar Jaden tidak menyerang Killian lagi. Kupikir ada bunga yang mekar di samping pohon yang ambruk.

Aku sangat lelah, mengantuk, pusing, semuanya menjadi satu. Tidur dua jam setelah mengobati luka Killian rupanya tidak cukup. Aku masih perlu tidur beberapa jam lagi agar tubuhku kembali fit. Namun, apa yang kulakukan sekarang? Merias diri dan mengenakan gaun berwarna ungu muda yang kujahit sendiri. Panjangnya sampai di bawah lutut dengan belahan dada agak rendah dan berlengan panjang. Aku memadukannya dengan sepatu berhak dan tas jinjing kecil berwarna putih. Rencananya mau kupakai untuk acara penutupan Fashion Week, tetapi tidak jadi. Kedua ibu yang bersemangat membuatku tidak mampu berkata aku ingin istirahat dan menunda makan malamnya menjadi besok. Sayangnya, besok adalah jadwal kami bertemu dengan pengacara dan makan malam keluarga setelahnya akan terasa canggung.

Malam ini, kami harus memberi tahu mereka.

Aku menuruni tangga dan menemukan Killian sudah berada di bawah sana. Dia mengenakan setelan semi formal. Kemeja berwarna biru gelap nyaris hitam dilapisi dengan jas berwarna senada dengan celananya yang tidak dikancing. Dia sangat tampan meski ada lebam di rahang kirinya.

"Kau tidak terlihat sehat. Kita bisa bilang pada mereka kalau kau perlu istirahat." Killian mengatakannya setelah aku tiba di hadapannya. Aroma yang menguar dari pria tampan ini membuatku merasa ingin terus berada di dekatnya.

"Aku akan baik-baik saja."

Tangannya terulur untukku, dan aku menyambutnya tanpa ragu. Tidak pernah ada niat untuk menolaknya. Namun, dia membuatku terkejut karena kemudian mencium punggung tanganku.

"Kau sangat cantik, Ana." Dia bahkan masih sempat membuatku tersipu di momen-momen terakhir kebersamaan kami. Caranya menatapku penuh damba, seperti air yang mengisi wadah yang kosong. Hatiku dipenuhi oleh kehangatan sikapnya, perhatiannya, dan cintanya. Tidak ada yang berbeda dari sikapnya sejak dulu, tetapi hari ini aku baru benar-benar melihat dan merasakannya. Mungkin sejak dulu kami memang tidak mampu memberi dan menangkap sinyal dengan baik.

"Ini tidak seperti kita akan mengurus perceraian besok." Kami berjalan beriringan ke halaman depan dan aku terus memperhatikan tautan tangan kami. "Tapi kau sudah mengajukan berkasnya. Sekali lagi kau memutuskannya sendirian."

"Kau menangis seperti itu. Mana mungkin aku berpikiran untuk tidak mewujudkannya?" Killian tersenyum pilu. "Apa kita masih bisa seperti dulu? Meski di sisimu sekarang ada Allen, bisakah kau tetap mengandalkanku? Bodoh, tentu saja tidak."

"Kau akan jadi perusak hubungan orang kalau itu sampai terjadi."

Hubungan itu ... tidak pernah ada, dan mungkin tidak akan terjadi. Aku tidak tahu setelah mencintai Killian sebegitu dalam, apakah aku bisa kembali ke permukaan dan menceburkan diri dalam perasaan untuk orang lain. Dengan saling mengakui perasaan kepada satu sama lain, seharusnya menjadi awal yang baik untuk hubungan kami. Namun, itu tidak terjadi saat ini. Sebenarnya apa yang kukhawatirkan? Apa benar karena sanksi yang akan kami dapatkan setelah mempermainkan perceraian?

Jika sanksi itu berupa membayar denda yang sangat banyak, kami mampu mengatasinya. Uang bukan masalah. Bahkan jika habis, kami akan mencarinya lagi. Sayangnya, aku tidak berpikir akan membuat Killian terus mengorbankan banyak hal untukku. Kupikir harga itu terlalu besar hanya agar aku terus berada di sisinya. Aku tidak cukup pantas dibayar sebesar itu. Killian harus mendapatkan wanita yang sepadan dengan dirinya.

"Kalau itu untuk mempertahankanmu, aku tidak peduli yang lainnya, Ana." Dia mencium tanganku lagi.

"Sekarang kau terdengar seperti pria yang terobsesi."

"Ya. Memang benar seperti itu."

•••

Makan malam hari ini berlangsung tenang. Rumah makan yang kami datangi tidak terlalu mewah, tetapi sangat cocok untuk acara kumpul keluarga seperti ini. Mereka menyediakan ruangan khusus yang biasanya harus dipesan jauh-jauh hari, tetapi berkat hubungan baik yang dimiliki si pemilik dengan ayah Killian, kami bisa mendapatkannya.

Aku dan Killian masih menutupi keretakan hubungan kami dan bersikap seperti biasa. Orangtua kami mengobrol seperti lama tidak bertemu satu sama lain. Satu-satunya yang tidak bisa menyembunyikan ketegangannya adalah Jaden. Dia duduk berjauhan dari kami, tetapi terkadang aku merasa dia melotot ke arah kami. Akan tetapi, dia terus berhasil memalingkan muka sebelum aku melihat ke arahnya. Aku bahkan belum sempat bicara dengannya meski itu tidak akan mengubah apa pun, tetapi setidaknya kadar kebencian yang dia berikan pada Killian akan berkurang. Akhirnya aku bertemu tatap dengan Emma, kekhawatiranku dijawabnya dengan anggukan yang menenangkan, seakan-akan dia bertanggung jawab untuk meredakan emosi Jaden.

Coba bayangkan kalau Emma tidak memaksa ikut denganku. Aku pasti sangat kacau.

"Ana, ke mana cincinmu? Kenapa tidak dipakai?"

Tanganku langsung terkepal, berusaha menyembunyikannya meski percuma. Semua orang sudah melihat ke arahku. Aku lupa memasangnya di jariku dan Mom yang duduk di seberangku tentu akan menyadarinya. Aku tidak akan memikirkan alasan apa-apa kali ini. Meski ketiadaan cincin itu terjadi karena tidak disengaja, tetapi ini akan menjadi momen yang tepat untuk memberi tahu mereka tentang perceraian kami.

Suara debar jantungku mulai memenuhi pendengaranku. Ludahku tersangkut di kerongkongan dan aku tidak berani menatap mereka. Bagaimana memulai untuk memberitahukannya?

"Mom, Dad, kami akan bercerai." Akhirnya Killian yang bersuara lebih dulu. Aku tahu ini akan berlanjut sangat buruk, apalagi dengan Jaden yang telanjur emosi. Aku harus melanjutkannya atau dia akan menghajar Killian lagi di sini.

Kedua orangtua kami terkejut, pastinya. Di saat seperti ini aku sungguh takut dengan ayahku. Meski dia pria yang penyayang, tetapi Jaden menuruni temperamennya.

"Aku yang memintanya. Maaf, kami tidak bisa mempertahankannya." Tanganku berpindah ke bawah meja. Aku sengaja menyembunyikannya karena tangan ini yang membuat makan malam tenang kami berubah menjadi menegangkan. "Sejak awal kami menolak untuk menikah, dan seharusnya kami berusaha lebih keras, bukan malah meneruskannya dengan maksud untuk membuat kalian bahagia. Pada dasarnya ... kehidupan berumah tangga ini kami yang menjalaninya. Dan kami sadari bahwa ini tidak berhasil. Banyak hal terjadi, jatuh cinta pada orang lain dan kami sadar bahwa tidak seharusnya kami menghalangi satu sama lain."

Aku masih menunduk, hanya sesekali aku mendongak untuk melihat reaksi mereka, itu pun hanya sepersekian detik.

"Bagaimana dengan kehamilanmu?" Itu suara Jaden. Suaranya serak, dia berusaha terlalu keras menekan emosinya.

"Apa itu dengan pria lain?"

"Ana kita bukan wanita yang seperti itu." Ayahku memukul meja untuk merespons pertanyaan ibuku. Reaksinya membuatku terharu karena itu berarti dia mengenalku dengan baik.

"Perceraian ini sudah direncanakan sejak awal, akulah yang pertama kali mencetuskan itu. Saat berlibur ke Napa, kami melakukannya dan aku tidak berhati-hati. Ana hamil, tapi keguguran. Jangan salahkan Ana, aku yang bersalah karena tidak menjaganya dengan baik."

Oh, Killian berhentilah menyalahkan dirimu sendiri ketika aku yang memutuskan untuk menyembunyikannya darimu.

"Tidak. Aku menyembunyikan kehamilanku dan itu cukup pantas karena tidak berhati-hati. Keguguran itu karena kecerobohanku. Maafkan aku." Aku menggigit bibir bawah demi menahan tangis. Namun, tidak bisa terbendung lagi ketika ibu Killian yang duduk di sebelahku tiba-tiba memelukku.

"Ini bukan salah kalian, Sayang. Aku yang memaksa kalian sejak awal untuk menikah. Kalau ada yang harus disalahkan, itu aku. Aku terlalu bersemangat dengan kebersamaan kalian sampai tidak memikirkan akibatnya."

Aku tidak berharap hal ini terjadi. Seharusnya ini hanya akan menjadi malam pengakuan, kemudian menerima kekecewaan mereka, bukan malah membuat ibu Killian turut menangis bersamaku. Sayangnya, aku tidak mampu membuatnya berhenti.

"Mungkin seharusnya kita mendengarkan mereka dulu." Dad bicara pada ayah Killian. Aku merasakan kekecewaannya, tetapi Dad mampu mempertahankan emosinya saat ini. Kami semua tahu perasaan ibu Killian terlalu halus, bahkan lebih halus dari Mom yang hanya memberi kami tatapan tidak percaya. Dad tahu apa yang akan terjadi pada ibu Killian jika dia meluapkan emosinya sekarang, dia tidak akan berhenti menangis selama berhari-hari karena penyesalan yang terlalu besar.

"Tidak perlu saling menyalahkan di situasi ini. Semuanya sudah terjadi. Sekarang kita tahu bahwa tidak mungkin memaksa kehendak kita pada anak-anak. Kita pikir itu yang terbaik, tetapi bukan berarti mereka akan baik-baik saja menjalaninya." Ayah Killian menaikkan kacamatanya sebelum memandangku san Killian secara bergantian. "Aku sangat setuju kalian berpisah. Kalau kebersamaan kalian hanya berujung saling menghalangi kebahagiaan satu sama lain, sebaiknya berpisah saja." Pembawaan ayah Killian selalu tenang, tetapi tetap memutuskan dengan bijaksana.

"Sebaiknya jangan saling bertemu lagi. Aku tidak bisa percaya Killian mampu menjaga Ana. Dia bahkan mengencani wanita lain saat statusnya masih suami Ana." Ucapan Jaden seperti angin yang meniup bara api.

"Aku juga--"

"Cukup, Ana! Kau mengencani pria lain karena dia melakukannya lebih dulu!" Seumur hidupku, itu adalah kali pertama Jaden membentakku. Tubuhku lemas seketika meski makanan malam ini sudah habis kumakan. Punggungku membentur sandaran kursi cukup keras dan rasa sakitnya tidak sebanding dengan hatiku.

"Sudah diputuskan kalian akan berpisah. Aku akan menghubungi rekanku, dia seorang hakim, aku akan meminta agar proses perceraian kalian bisa segera diproses."

Ayah Killian beranjak pergi sembari mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Satu per satu orangtua kami pun menyusul pergi. Jaden dan Emma juga, hingga tersisa kami berdua saja.

"Aku sangat mencintaimu, Ana." Killian meraih tanganku yang berada di pangkuan. "Permintaanmu benar-benar terkabul."

Killian berpikir itu adalah permintaan untuk menceraikanku.

"Permintaanku yang sebenarnya adalah agar perasaanku berbalas, Killian. Aku tidak pernah tahu kalau mencintai akan terasa menyakitkan. Luka karena gelas malam itu adalah awal dari semuanya. Kukira aku akan bertahan lebih lama, tapi pada akhirnya aku menyerah. Terima kasih, atas semuanya, Killian, aku mencintaimu."

Setelah mengecup pipi kirinya, aku menyusul pergi dari sana. Besok akan menjadi hari yang berat, yang berarti aku membutuhkan tidur panjang malam ini.

•••

Oh no ... 1 bab lagi habis 😟

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
14 November 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top