73 - Filing the Divorce
"Ana, kau baik-baik saja?"
"Um, oh, ya. Maaf, sampai mana tadi?"
Aku jadi kikuk setelah Ari menegur. Seperti orang yang baru berteleportasi ke tempat asing dan belum mengenali seperti apa tempat itu, tetapi harus mencari cara untuk segera pergi dari sana. Menyelamatkan diri menjadi definisi yang tepat mengingat pikiranku mulai kacau dan kerap kali tindakanku hampir tidak bisa dikontrol. Untuk menemukan tali pengikat di pinggang gaun yang berada di meja sebelahku saja aku sampai celingukan seperti mencari barang hilang. Sonja kemudian menunjuk keberadaan benda itu dan aku berterima kasih seperti orang panik.
Malam itu, setelah Killian keluar dari kamar penginapan kami, aku tidak bisa berhenti menangis sampai akhirnya tertidur. Besoknya mataku bengkak dan aku harus memakai kacamata gelap sepanjang hari untuk menutupinya. Allen sempat bertanya apa yang terjadi padaku, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa sampai akhirnya dia mengerti sendiri. Pada titik itu aku sungguh merasa bersalah sudah memikirkan pria lain. Namun, aku tidak bisa mencegah rasa sesal yang menyelimutiku ini.
Begitu Killian keluar dari kamar penginapan kami malam itu berarti kami sudah berada di jalan tanpa arah putar balik. Aku pernah memperkirakan bahwa bercerai berarti kami juga tidak bisa kembali ke awal hubungan kami, apalagi setelah apa yang kami rasakan pada satu sama lain. Aku mencoba mengirim pesan padanya sejak kemarin, sekadar bertanya di mana dia berada dan apa yang sedang dia lakukan. Aku tidak yakin dia tetap menetap di sini, jadi sempat kukatakan semoga perjalanan pulangnya baik-baik saja. Sayangnya aku tidak mendapat satu pun balasan darinya. Aku memberinya perhatian sebagai seorang sahabat, tetapi sepertinya Killian setuju denganku, bahwa bercerai berarti kami tidak bisa kembali bersahabat, tidak setelah salah satunya mengungkapkan perasaan.
Itu juga yang menjadi alasan kenapa aku tidak bisa mengungkapkan yang kurasakan pada Killian. Aku tidak ingin persahabatan kami berakhir begitu perceraian terjadi. Sebaiknya tidak perlu tahu, tetapi ketika dia sudah mengungkapkannya lebih dulu, aku mulai ragu, dan mulut ini rasanya ingin kukutuk karena tidak mampu mengatakan apa-apa malam itu.
Kami tidak bisa kembali lagi. Tidak bisa.
Tali yang kucari-cari tadi kuikatkan ke bagian pinggang gaun yang dipasang ke sebuah manekin. Sebelumnya aku menjahit ulang bagian pinggangnya agar sesuai dengan tubuh model yang akan mengenakannya nanti malam. Sejak tadi pagi, kami menyesuaikan seluruh gaun kami agar tidak jadi masalah saat mereka menampilkannya di panggung. Aku mundur sebentar dan cukup puas dengan hasilnya. Itu gaun terakhir yang harus disesuaikan, hanya tinggal menunggu waktu mereka mengenakannya. Giliran kami kira-kira pukul setengah sembilan malam.
"Kau sungguh baik-baik saja? Mau istirahat dulu biar kami yang meneruskan?" Ari datang membawa sebungkus Croissant dan segelas Matcha Latte hangat untukku. Dia bahkan mengambil bantalan jarum pentul yang melingkar di pergelangan tangan dan tali meteran yang terkalung di leherku.
"Terima kasih, Ari. Tolong bagian aksesorisnya."
Setelah Ari mengangguk dengan mantap, aku membawa camilan darinya ke sebuah kursi di dekat meja rias. Sudah empat jam sejak kami makan siang bersama dan sekarang aku lapar. Croissant dari Ari segera kumakan dan habis dalam waktu tidak sampai tiga menit. Aku memindai seisi ruangan, memeriksa apa lagi yang harus kukerjakan, tetapi tatapanku terhenti pada Emma. Dia sedang mengumpulkan barang-barang yang kira-kira tidak akan kami pakai lagi dan menyimpannya lebih dulu.
Sejak kemarin Emma juga tidak banyak bicara denganku. Dia hanya mengatakan sesuatu yang penting dan berkaitan dengan acara malam ini. Dia adalah yang paling kecewa setelah mendengar semua pembicaraan kami malam itu. Sekarang aku merindukannya yang tiba-tiba menggangguku. Tidak bisa dipungkiri bahwa dia teman yang menyenangkan, dan aku tidak bisa kehilangan satu-satunya teman wanita yang kupunya. Aku lantas memberanikan diri mendekatinya bersama Matcha Latte yang tersisa setengah di tanganku. Ada sebuah kursi di dekatnya, jadi aku berpindah ke sana.
"Hai, Em." Ini terasa canggung dan menyebalkan, apalagi Emma hanya melirikku sebentar dan meresponsku dengan gumaman. Aku tidak mengerti apa salahku sampai dia harus mendiamkanku seperti ini.
"Kau mendengar semuanya malam itu. Hanya kau satu-satunya yang tahu betul bagaimana situasiku, kukira kau ... akan menghiburku?" Dia tahu aku menangis sepanjang malam dan tidak melakukan apa-apa. Kalau saja Killian yang ada di sana, dia pasti akan mendatangiku dan memelukku sepanjang malam. Apa yang kuharapkan? Killian dan Emma berbeda. Aku bahkan belum mengenal Emma selama Killian.
Emma jadi lebih menakutkan ketika mengembuskan napas agak kasar. Meskipun aku adalah atasannya, tetapi yang tadi itu justru membuatku tidak berani mengganggunya.
"Kau mau aku melakukan apa, Ana? Aku sedang bekerja sekarang." Dia bahkan mengangkat satu kotak benang untuk ditunjukkan padaku, dan aku merasa seperti atasan kejam yang sedang kurang kerjaan sampai memantau bawahannya. "Aku tidak bisa berkomentar apa-apa dan tidak ada yang ingin kulakukan selain bekerja dengan benar."
Emma memberiku bahu yang dingin ketika dia mulai membelakangiku. Kami tidak bertengkar, sungguh, tetapi situasi ini memuakkan.
"Aku tidak tahu Killian akan datang malam itu. Dia melakukannya lagi, membuat Allen merasa tidak nyaman. Aku marah dan tidak bisa memikirkan apa pun selain mengungkapkan apa yang kurasakan selama ini."
"Kecuali satu." Emma buru-buru menyela.
"Apa?"
Akhirnya dia berbalik menatapku lagi dan tidak kusangka itu akan membuatku merasa lega. Aku tersenyum tipis meski tahu tidak akan berbalas.
"Kau tidak bilang kalau mencintainya juga." Erangan frustrasi dia keluarkan cukup keras sampai membuat Ari dan Sonja melihat ke arahnya sebentar. "Astaga. Aku merasa seperti habis menonton film yang bagian akhirnya tidak membuatku merasa puas dan perasaan itu terus mengganggu, sampai muncul dorongan untuk menghubungi sang sutradara dan memintanya merombak film tersebut."
Itu terdengar tidak bagus.
"Kalian saling mencintai, kenapa tidak bersama saja? Aku benar-benar membenci situasiku karena harus mendengar semuanya. Aku tidak bisa merasa tenang karena rasa kesal ini terus mengganggu. Kenapa, Ana? Kenapa kau tidak menerimanya saja daripada menyiksa dirimu seperti ini?"
Demi melampiaskan rasa kesalnya, kedua lenganku diraih dan diguncangkan sekuat tenaganya. Setelah berhenti, dia tidak langsung melepaskanku, melainkan menjatuhkan kepalanya di bahuku dengan tubuh yang berjarak. Aku masih duduk di kursi dan dia berdiri di depanku.
"Aku hanya merasa tidak puas dengan sikapnya, Em. Aku berada di depan matanya bertahun-tahun, tetapi dia tidak melihatku. Kemudian dia tiba-tiba mengungkapkan perasaannya menjelang perpisahan kami." Aku meraih lengan Emma tepat setelah dia kembali menegakkan badan, kemudian menyingkirkannya dari bahuku. "Mungkin memang benar kata orang-orang, kita perempuan, memiliki pola pikir yang sedikit lebih rumit. Aku sendiri tidak mengerti kenapa saat itu lidahku kelu untuk sekadar berkata 'aku juga'."
Dahi Emma berkerut hebat. Dia seperti seseorang yang berusaha keras memahami penuturan dari seorang filosofis. Jelas ada perkataanku yang tidak sependapat dengannya.
"Bukan berarti kau tidak boleh berusaha. Aku sudah bilang padamu untuk mencoba membuat Killian membalas perasaanmu. Kalau kau memberitahunya lebih awal, itu bisa memancingnya untuk sadar lebih cepat."
Aku tidak pernah berpikir sampai sana. Tidak pernah sekali pun. Hanya ketakutan yang mengurungku untuk bisa mengungkapkannya lebih dulu. Memang tidak ada syarat gender untuk menyatakan perasaan, tidak perlu harus pria yang lebih dulu mengaku. Namun, kami sedang membicarakan Killian.
"Killian selalu berusaha mewujudkan apa yang kumau dan apa yang kubutuhkan. Aku tidak ingin saat aku mengatakan perasaanku lebih awal, dia akan meninggalkan Gabby untukku, meninggalkan cintanya. Dia bisa senekat itu, Em. Mana mungkin aku bisa terima dia berkata cinta padaku padahal hatinya masih dimiliki orang lain. Itu menyakitkan, bukan?" Mataku terasa panas setelah mengatakannya. "Aku tidak ingin Killian berkorban terlalu banyak. Persahabatan yang seperti itu lama-lama terkesan tidak wajar."
Emma akhirnya memelukku, sesuatu yang kubutuhkan sejak dua hari lalu dan aku jadi menangis lagi. Aku membalas pelukannya dengan erat sembari menahan tangisanku. Aku sering membaca kutipan yang menyatakan agar kita tidak boleh lemah hanya karena cinta. Sayangnya, patah hati pun tetap terasa menyakitkan. Tidak bisa diabaikan begitu saja.
"Dia mencintaimu, Ana. Killian terlalu bodoh karena tidak menyadarinya. Sahabat mana yang mau berkorban sampai sejauh itu? Yang ada justru dilupakan karena dia jatuh cinta dengan wanita lain."
Aku tidak ingin langsung memercayai kata-kata itu, karena bisa saja hanya dugaan Emma. Setidaknya itu membuatku terhibur sedikit meski tidak ada yang bisa kulakukan setelah Killian menyetujui perceraian kami.
"Hei, ada apa ini? Apa yang terjadi?"
Teguran Allen membuat kami lantas langsung melepaskan diri. Aku tertawa sembari menyapukan air mataku sebelum bisa menatap Allen. Aku sudah cukup membuatnya cemas kemarin, hari ini tidak boleh terjadi lagi. Allen baru kembali dari rumah kerabatnya yang baru dia tahu tadi malam kalau menetap di Paris. Dia meminta maaf karena tidak bisa membantu, tetapi kupikir ketiadaannya di sekitarku terasa jauh lebih baik.
"Bukan apa-apa? Kau sudah bertemu dengannya?" Aku berusaha tersenyum meski masih berusaha menghentikan air mataku agar tidak lagi mengalir. Aku tidak bisa membiarkan dia tahu tentang yang tadi dulu. Dan obrolan yang kasual seperti ini harus tetap ada di antara kami.
•••
M
omen yang mendebarkan akan terjadi sebentar lagi. Dentuman keras dari musik yang diputar senada dengan jantungku yang menggila. Setelah penampilan dua desainer lagi baru tiba giliran kami. Emma, Ari, dan Sonja tengah mempersiapkan model di ruangan yang disediakan untuk kami setelah aku mendapat arahan dariku, sementara aku menyaksikan penampilan dari karya desainer lain. Aku memilih kursi dekat belakang panggung, dengan begitu aku bisa cepat pergi menuju ruangan kami.
Sekali lagi aku ditampar oleh ketiadaan ciri khas dari rancanganku. Penampilan sekarang ini memiliki ciri khas pada bahan yang dipakai. Satin yang lembut, yang akan melambai mengiringi setiap pergerakan model. Bagian pinggangnya selalu dihiasi oleh manik-manik yang berkilau. Siapa pun yang memakainya akan terlihat anggun tanpa berusaha keras. Aku tidak bisa berhenti mengaguminya. Pemilihan warnanya terkesan bold, memberi kesan percaya diri bagi yang memakai.
Ponsel di pangkuanku bergetar ketika aku sedang mencatat di iPad-ku. Karena sempitnya ruang gerak, aku tidak bisa segera menerima apa pun yang menyebabkan panggilan tersebut dan keberadaan clutch-ku cukup mengganggu. Dompet yang diselimuti manik-manik berkilau itu hampir jatuh dari pangkuanku, tetapi saat aku berusaha menahannya, justru membuat ponselku yang terjatuh. Benda itu melesat sampai ke depan seorang wanita yang duduk di sampingku. Bahkan dia mengambilkannya untukku.
"Teleponnya berakhir," ujar wanita itu sembari memberikan ponselku.
Meski di bawah cahaya yang remang-remang, mengingat pencahayaan yang lebih terang tertuju pada panggung berkat beberapa lampu sorot, tetapi aku bisa mengenali siapa wanita itu tanpa ragu-ragu.
"Anda Paula Henley? Pemilik Henley's Boutique?" Sekarang jantungku berdebar untuk hal yang lain.
Wanita itu tertawa dengan cara yang anggun. "Kau mengenaliku."
Aku menutup mulut dengan ponsel yang masih berada dalam genggaman. Paula Henley adalah salah satu desainer sekaligus pebisnis yang kukagumi. Dulu dia pernah mementori salah satu kelas di jurusanku saat kuliah. Meski dalam waktu yang singkat, aku sukses dibuat terkesima oleh pencapaiannya. Dia memegang beberapa bisnis, tetapi masih mampu berkarya di usia yang muda.
Dulu tenant-nya ada di Macy's yang sayangnya sudah tidak ada lagi sejak aku menempati satu di sana. Rancangannya kini menjadi merek eksklusif yang hanya ditemukan di bagian VIP beberapa department store. Hanya pelanggan kelas atas yang bisa memakai merknya. Informasi itu kudapatkan dari sebuah majalah fashion. Lihat, bagaimana mungkin aku tidak bisa lebih kagum lagi padanya.
"Aku Luciana Pereira, kebetulan sedang beruntung diundang di sini. Aku terkejut bertemu Anda di sini, apalagi aku tidak menemukan Henley's dalam daftar runway."
Paula tertawa pelan karena kekonyolanku. Maksudku, senyumku terlalu lebar untuk menghadapi wanita seanggun dirinya.
"Kebetulan, kau bilang?" Dia menggeleng ringan. "Omong kosong. Kau merancang gaun-gaun yang sangat cantik untuk acara pernikahan adikku. Ava adalah adik iparku kalau kau ingat."
Bagaimana mungkin aku tidak merasa senang akan kabar ini? Seorang Paula Henley memujiku. Otot-otot tubuhku menegang hanya karena menahan diriku agar tidak menjerit.
Paula merogoh sesuatu di tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama yang kemudian disodorkan kepadaku. "Aku diundang sebagai perwakilan Mateo Department Store yang baru berdiri setahun ini. Kami sedang mencari desainer untuk dipasarkan produknya bersama kami. Kau bisa menjadi salah satunya jika berminat."
Tanganku bergetar ketika menerima kartu yang berwarna keemasan itu. Aku belum berhasil menaklukkan Macy's, produk kami belum sepenuhnya dikenal oleh warga New York, bagaimana mungkin aku memasarkan produkku bersama mereka? Aku belum sepercaya diri itu. Aku mungkin akan mempertimbangkannya jika tawaran ini kuterima kira-kira lima sampai sepuluh tahun lagi.
"Terima kasih. Aku akan menyimpan ini. Tidak ada masa berlaku tawarannya, 'kan?"
Dia tertawa lagi. Sikapnya seperti sedang melihat anak kecil yang lugu. Bedanya mereka jauh lebih menggemaskan daripada aku.
"Setidaknya beri aku satu kartu sebagai bayaran untuk menunggumu." Dia menunjukkan telapak tangannya, berharap aku akan meletakkan kartu nama milikku ke atasnya. Namun, apa aku membawanya?
Sambil menyimpan kartu nama darinya ke clutch-ku, aku juga mencari apakah aku membawanya. Namun, ponselku berdering lagi dan kali ini aku sempat membaca kontak si penelepon; Killian. Entah apa yang dia inginkan setelah tiga hari mengabaikan pesanku. Mari kesampingkan itu dan temukan setidaknya satu kartu nama saja. Akhirnya kutemukan.
"Maaf, agak terlipat ujungnya karena aku tidak berniat membawanya sejak awal." Milikku jelek dan lebih tipis. Aku belum berencana mencetak yang bagus mengingat alamat butikku akan berubah.
"Nomor teleponmu masih bisa dibaca. Kami orangnya tidak sabaran. Mungkin kami yang akan menelepon kalau kau tidak kunjung menghubungi kami."
Itu kata-kata termanis yang kudengar selama keberadaanku di Paris.
Pemberitahuan bahwa sebentar lagi merupakan penampilan dari desainer satu urutan sebelum kami, menyadarkanku untuk segera beranjak dari barisan bangku untuk mempersiapkan giliran kami. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih pada Paula sebelum kemudian pamit pergi.
Setibanya di ruangan kami, aku tidak mengatakan apa-apa dan langsung memeriksa model yang sudah dirias dan sudah berbusana. Namun, kemudian ponsel yang sebelumnya langsung kuletakkan ke atas meja berdering lagi. Lagi, nama Killian ada di sana. Aku tidak ingat apakah sebelumnya aku lupa memberi tahu kalau milik kami akan ditampilkan hari ini, sebentar lagi. Atau Killian sengaja mengabaikan itu dan terus mengganggu sejak tadi. Dia tidak akan mengganggu seperti ini jika bukan sesuatu yang mendesak dan bisa disampaikan melalui teks saja.
"Ya, Killian? Maaf aku tidak bisa mengangkat teleponmu lebih awal karena repot di sini."
"Aku sudah di California sekarang dan mengajukan berkas perceraian kita. Tapi mereka menginginkan pertemuan dengan kita berdua di sana. Kubilang kira-kira dua hari lagi, jadi kuharap kau bisa mengambil penerbangan menuju California alih-alih kembali ke New York."
Tubuhku seketika lemas. Duniaku seakan-akan sedang dihempaskan hingga aku tidak bisa berpijak dengan benar. Aku mungkin akan terduduk di lantai seandainya tidak ada kursi di dekatku. Ponsel ini mungkin akan jatuh jika tidak kupegangi lebih erat.
Aku merindukan suaranya, teks darinya, hingga kupikir dia mungkin menelepon untuk memberi semangat atau sekadar harapan agar penampilan kami berlangsung lancar tanpa kendala. Aku begitu bersemangat sampai buru-buru menerima teleponnya, tetapi apa yang kudengar setelahnya?
"Kau tentu ingin ini lebih cepat, jadi aku memakai waktu cutiku untuk mengurusnya. Kau tidak perlu repot lagi. Orang tua kita belum tahu soal ini."
"Ya ... aku akan pulang segera."
Jadi, semuanya akan benar-benar berakhir ya?
•••
Detik-detik perpisahan ...
Semoga ada cara untuk mereka kembali bersama lagi.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
9 November 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top