71 - Paris Fashion Week

Kenapa Killian menciumku malam itu?

Kenapa semenjak dia mengungkit tentang jatuh cinta, dia tidak mengatakannya lagi?

Bagian terburuknya, kenapa dia harus sibuk di hari-hari menjelang keberangkatanku ke Paris?

Malam itu, ketika Killian datang menyusulku ke gedung baru, kerinduanku padanya membuatku tanpa pikir panjang mempersilakan Killian untuk melakukan apa yang dia mau. Seharusnya aku bertanya alasan kenapa dia ingin menciumku, seharusnya aku meminta kejelasan atas apa yang dia rasakan padaku, bukan malah menerima dan turut menikmatinya. Jatuh cinta membuatku merasa haus akan sentuhannya. Namun, apakah itu juga yang Killian rasakan saat ingin menciumku? Bukan karena Tequila menyebalkan yang membuat akal sehatnya menjadi kacau?

Aku benci terus mempertanyakan 'kenapa' selama seminggu terakhir ini. Di saat seharusnya aku bisa memanfaatkan waktu senggangku--karena kami mempersiapkan jauh lebih awal, beberapa hari menjelang keberangkatan kami bisa bersantai--Killian justru direpotkan dengan jabatan barunya. Dia jadi pulang lebih lambat dari biasa karena pekerjaannya lebih banyak, atau mendampingi manajernya pergi makan malam di luar bersama klien. Aku tidak bisa mengganggunya, apalagi ketika dia membawa rasa lelah pulang ke rumah.

Hari ini pun dia sampai membatalkan janjinya untuk mengantarku ke bandara. Mungkin ada lima kali aku membaca ulang pesannya tanpa berniat membalas. Aku tidak tahu ingin mengatakan apa. Sekarang aku sudah di bandara bersama yang lainnya, menunggu keberangkatan.

Killian
Maaf, aku tidak bisa mengantarmu ke bandara, ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.
Have a safe flight.
Aku mungkin akan menyusulmu ke sana.

Ini kali keenam dengan tambahan satu pesan baru. Kemarin aku menolak dia ikut, tetapi setelah membaca pesan terakhir, aku jadi menantikannya. Aku sampai mengulum bibir karena menahan senyum. Kali ini pesannya kubalas dengan kata 'baiklah'. Sudah sangat lama sejak terakhir kami pergi ke Paris bersama. Mungkin setelah ini sesuatu yang baik akan terjadi pada kami? Harapan itu sungguh bertentangan dengan rencana bercerai dengannya.

Namun, aku sendiri belum sepenuhnya yakin apakah aku bisa menerima perasaannya jika itu memang benar. Aku pun terlambat menyadari apa yang kurasakan terhadapnya. Aku pernah berpikir dengan berada di sisi satu sama lain tanpa merasakan apa-apa akan baik-baik saja. Lagi pula, kami bersama karena kami bersahabat, hubungan yang tidak berakhir semudah pasangan yang berpisah. Meski akhir-akhir ini aku tidak begitu yakin jika setelah bercerai hubungan kami akan tetap sama. Akan ada lebih banyak batasan yang muncul dan lama-lama akan memotong ikatan kami. Akhirnya, kami menjadi dua orang asing yang kebetulan pernah melakukan banyak hal bersama di masa lalu. Itu jauh lebih buruk daripada menyaksikan Killian bersama wanita lain.

Sudah berapa lama aku terdiam memikirkan semua ini? Ketika Allen menepuk pelan pundakku, aku sampai terkesiap.

"Apa yang kau pikirkan? Kau baik-baik saja?" Allen seperti sedang mengkhawatirkanku.

Bola mataku bergulir menatap yang lainnya juga. Emma dan tiga rekanku yang lain juga melakukan hal yang sama seperti Allen.

"Ya ... aku baik." Responsku jadi terdengar ragu-ragu karena kebingungan dengan reaksi mereka.

"Kau murung, lalu tersenyum sendiri, lalu murung lagi. Jujur saja itu membuat kami takut." Emma yang menyahut. Dia bicara cepat sekali sampai aku nyaris tidak menangkap yang dia ucapkan.

Aku hanya bisa meringis ketika Emma memandangku dengan dahi yang berkerut. Seandainya hanya kami berdua di sini, aku mungkin akan bercerita. Aku tidak ingin ada lebih banyak orang yang tahu tentang dilemaku, apalagi Allen. Sudah cukup aku membebaninya dengan pergi ke Paris.

"Aku hanya teringat beberapa hal. Abaikan saja." Sebelah tanganku kukibaskan di depan wajah untuk membuatnya berhenti memikirkan tentang kondisiku.

"Tentang Killian?"

Aku langsung menatap Allen ketika dia bertanya demikian. Dia adalah satu-satunya yang duduk bersamaku di kursi panjang, sedangkan Emma dan yang lainnya menempati kursi seberang. Aku cukup bersyukur Allen bersuara pelan, karena Emma akan turut mengorek jika mendengarnya juga.

Kedua sudut bibirku naik sebentar membentuk senyum yang dipaksakan. Aku berpura-pura memeriksa ponsel untuk mengakhiri saling tatap dengan Allen.

"Aku hanya teringat dulu selalu ke Paris bersamanya. Tidak, kami hanya pergi ke sana dua kali dan itu tidak pernah tidak menyenangkan."

"Kau murung karena dia tidak ikut kali ini? Apa karena aku?" Allen membungkuk dan menoleh agar bisa melihatku yang sedang menunduk.

Pria ini sungguh memperhatikanku, dia terlalu peka untuk menyadari ada yang salah denganku, termasuk ekspresi. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas memanfaatkannya seperti ini. Membuatnya ikut ke Paris bersama kami karena kami membutuhkan tenaganya, padahal dia menganggap itu sebagai sesuatu yang spesial. Selain akomodasi, aku tidak membayarnya dalam bentuk apa pun untuk ikut, yang tentunya akan membuat Allen menganggap bahwa keikutsertaannya tidak berkaitan dengan pekerjaan kami. Aku harus bagaimana kalau dia menyatakan perasaannya sekali lagi?

Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. "Jangan pernah menganggap dirimu seperti itu. Aku yang mengajakmu pertama kali, ingat?"

"Terkadang aku merasa tidak pantas menerima apa-apa darimu. Aku tidak bisa tidak menganggap itu sebagai tawaran biasa. Perlu kau ingat kalau aku masih berharap." Allen tersenyum seakan-akan memberi tahu bahwa dia baik-baik saja dengan semua itu. Namun, aku tidak bisa tidak merasa terganggu oleh pengakuannya. Maksudku, aku sudah menduganya, tetapi rasanya memilukan begitu mendengar langsung dia mengatakannya.

"Kalau begitu, aku akan berutang maaf yang sangat banyak padamu."

Tawa Allen pecah begitu saja. Entah untuk menertawakan reaksiku, atau menertawakan kemalangannya. Kalau aku berada di posisinya, jelas untuk poin kedua. Emma dan dua rekanku yang lain menatap Allen kebingungan. Boarding room memang tidak sepi, apalagi suara pemberitahuan mengenai keberangkatan pesawat lain terus berkumandang, tetapi bukan berarti tawa Allen tidak mengundang tanya bagi orang lain.

"Kuharap aku bisa menawarkan cara lain agar kau bisa menebus semua maaf itu." Allen menyeka air mata di sudut mata kirinya dengan jempol. Rupanya dia tertawa sampai menangis. "Sayangnya aku tetap tidak akan mampu memaksamu. Aku sudah berjanji."

Kami tidak bicara lagi. Namun, keheningan yang tiba-tiba menyelimuti kami segera diakhiri oleh suara pemberitahuan bahwa pesawat yang akan mengantarkan kami ke Paris akan lepas landas.

•••

Kami tiba di Paris setelah menempuh perjalanan kurang lebih tujuh setengah jam. Langit sudah gelap dua jam sebelum pesawat mendarat di Paris. Kami sudah memesan penjemputan beberapa hari sebelumnya dan dia sudah menunggu di luar pintu kedatangan. Mudah menemukannya mengingat si pria penjemput sangat tinggi sehingga ketika dia mengangkat papan bertuliskan namaku, posisinya jadi paling tinggi di antara yang lainnya. Dia memperkenalkan diri sebagai Sergel.

Sudah tiga tahun sejak terakhir aku dan Killian datang, selalu memesona. Kotanya masih terlihat cantik meski sudah lewat tengah malam. Toko-toko sudah tutup, hanya beberapa yang buka karena aturan 24 jam buka mereka. Gemerlap cahaya lampu kota memberi kesan yang elegan.  Tidak ketinggalan aku mengambil foto sebuah toko kue yang tidak pernah absen kudatangi saat ke sini bersama Killian dan mengirimkannya padanya, kebetulan van sedang berhenti karena ada truk yang berbelok di depan kami.

Luciana
[📷]
Lihat, mereka menambah satu lantai di atasnya menjadi kafe.
Kita harus ke sini bersama nanti.

Begitu pesan terkirim, aku baru menyadari kesempatan untuk pergi bersamanya mungkin tidak akan kudapatkan lagi. Namun, aku juga tidak menarik kembali pesan tersebut, kalau Killian mau, kami akan ke sana bersama lagi entah bagaimana caranya.

Kami diantar ke sebuah penginapan yang tidak terlalu jauh dari Carrousel du Louvre, yang akan menjadi lokasi Paris Fashion Week diselenggarakan. Aku akan sekamar dengan Emma, Sonja dan Ari sekamar, lalu Allen sendirian. Karena memiliki ruang yang banyak, barang-barang untuk keperluan fashion show kami titipkan bersama Allen di kamarnya.

Acara dimulai besok, jadi malam ini kami bisa langsung beristirahat. Begitu selesai mengeluarkan baju-bajuku dari koper dan menyimpannya ke lemari hotel, aku mengempaskan diri ke atas kasur selagi menunggu giliranku mandi setelah Emma. Sekarang sudah pukul dua pagi, tetapi rasanya tetap gerah karena seharian tidak mengganti pakaian.

Aku mengulurkan tangan dengan susah payah demi mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Posisi berbaringku memang melintang di kasur. Pesanku tadi, belum mendapat balasan dari Killian. Sempat kuperiksa perbedaan waktu antara Paris dengan New York. Di sini enam jam lebih awal, yang berarti di sana masih pukul delapan malam. Aku tidak tahu apakah Killian sudah tertidur karena kelelahan, atau memang belum pulang bekerja.

"Lihat, kau murung lagi, padahal wajahmu begitu semringah saat di dalam van."

Aku menoleh menatap Emma tanpa ada niatan untuk bangun. Dia sudah selesai mandi, sudah juga berpakaian, hanya tinggal mengeringkan rambutnya dengan handuk. Namun, setelah dipikirkan lagi, rasanya aku jadi malas mandi.

"Aku sedang berpikir apakah aku harus mandi dulu atau langsung tidur saja." Tentu saja itu jawaban asal-asalan. Aku sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk saling berbagi, meski terkadang aku luluh oleh perangkap Emma. Entah dia jago memancing orang lain, atau aku yang memang sudah terlalu nyaman bercerita dengannya.

Emma menatapku dengan wajah jijik. Ya, aku pun merasakannya, tidur tanpa membersihkan diri dan tidak mengganti pakaian akan membuatku gatal-gatal.

"Kau menyesal tidak mengajak Killian, 'kan?"

Aku langsung bangkit dari kasur dan meraih satu setel piama untuk berganti disusul dompet berisi perlengkapan kebersihanku. "Kau bilang ini akan menjadi momen yang tepat untuk menjadi lebih dekat dengan Allen? Tidak pantas membawa-bawa nama pria lain, tahu." Benar, itu jawaban paling cerdas yang kuucapkan padanya hari ini.

"Lalu apa yang kau lakukan setelah ini?" Emma menempati kasur lain di kamar ini, setelah sebelumnya menyampirkan handuknya ke sandaran kursi terdekat. Sekarang dia menatapku dengan cara yang menyebalkan, seperti sedang menantangku yang sudah dipastikan kalah. Seringai itu ingin kuraup dalam genggamanku rasanya.

"Hm?" Aku berlagak sedang berpikir sembari memeluk piama dan dompetku tadi. "Kukira kau sudah punya rencana untukku? Aku tidak bisa memikirkan apa-apa karena event ini sudah menyita seluruh pikiranku, Em."

Salah. Aku bahkan masih bisa memikirkan tentang Killian. Namun, itu akan menjadi jawaban terbaik yang akan berhasil membuatnya berhenti menggangguku.

"Ah, ya, kau benar. Baiklah, aku yang akan membuatmu dan Allen tidak terpisahkan selama seminggu ke depan."

Kalau Emma sudah bertekad, sulit sekali untuk digoyahkan.

•••

Sudah tiga hari acara Paris Fashion Week berlangsung. Acara dimulai sekitar pukul enam petang sampai pukul sembilan malam. Desainer-desainer ternama dari penjuru dunia benar-benar menampilkan karya terbaik mereka. Aku sungguh merasa takjub karena mendapat kesempatan untuk menyaksikannya dalam jarak sedekat ini. Dari panggung catwalk aku menempati kursi baris kedua. Entah sudah berapa banyak lembar coretan yang kubuat di iPad-ku untuk mencatat hal-hal menakjubkan dari rancangan para desainer yang sedang ditampilkan. Misalnya seperti Jacquemus yang mengombinasikan desain yang tidak teratur, ceria, dan sederhana. Merk tersebut berhasil menciptakan sesuatu yang mewah dan tidak terikat.

Tiga hari tersebut berjalan lancar. Aku juga berkenalan pada beberapa desainer dari luar dan saling bertukar ide. Memadukan beberapa ide menjadi satu-kesatuan yang abstrak dan terasa hidup. Aku menjadi tidak sabar untuk menciptakan sesuatu yang baru, tanpa meninggalkan ciri khas yang kuterapkan selama ini, begitu pulang dari Paris. Sayangnya, aku tidak bisa mengajak rekan-rekanku yang lain untuk masuk ke venue acara bersamaku. Mereka hanya diperbolehkan untuk menyaksikan dari luar mengingat banyaknya desainer dan para tamu khusus yang diundang untuk datang.

Setelah dari acara baru kami bertemu dan pergi jalan-jalan. Entah itu berbelanja, wisata kuliner, atau pergi ke kelab. Sedangkan pagi sampai siang harinya kami dibuat sibuk dengan perencanaan-perencanaan untuk penampilan produk kami. Seperti saat ini misalnya, kami berjalan santai di Pont de la Concorde, salah satu jembatan yang menyeberangi Sungai Seine. Tidak lupa aku berswafoto dengan pemandangan Sungai Seine yang memantulkan cahaya lampu kota sebagai latar belakang, lalu kukirimkan pada Killian. Satu lagi dengan berlatar belakang Menara Eiffel dari kejauhan. Saat kami ke sini, kami mendatangi jembatan yang berbeda, jadi pemandangannya tidak lebih cantik dari yang ini. Aku cukup percaya diri berfoto sendiri karena tidak banyak orang yang sedang berada di sini.

Namun, saat ini aku hanya sendiri, Emma dan Ari pergi membeli minuman dan mungkin beberapa camilan. Sementara Allen akan menyusul karena dia baru pergi ke suatu tempat dan masih dalam perjalanan ke sini. Aku bersandar pada pembatas jembatan setelah sebelumnya mengeratkan mantelku. Entah berapa lama lagi aku harus menunggu, sebab di sini cukup dingin. Terlebih lagi tidak banyak pohon di sekitar sini, angin yang bertiup langsung menghantam tubuhku ketimbang menabrak batang pohon atau sejenis tiang lainnya terlebih dahulu.

"Kau sudah lama menunggu di sini?" Akhirnya seseorang datang.

Allen sudah berada tidak jauh dariku dengan membawa dua minuman hangat, aku bisa melihat kepulan uapnya. Sekarang dia menuju kemari. Kurasa ini cara yang Emma pilih, yaitu membuatku terjebak berdua saja dengan Allen lebih banyak. Kemarin-kemarin juga seperti itu. Kuharap Ari tidak mencurigai hal ini karena sebagai salah satu tamu yang hadir pada pernikahanku, dia tidak tahu tentang kami sebanyak Emma.

"Tidak juga. Di mana yang lainnya?" Aku bertanya, pura-pura tidak tahu.

Allen sudah berada dekat denganku dan memberikan satu minuman. Rupanya itu Pumpkin Spice Latte hangat. Aku tidak ingat meminta yang ini, tetapi aku menyukainya.

"Mereka membeli camilan dan akan menyusul." Allen menyesap minuman miliknya sambil memandang Sungai Seine. "Lanjut berjalan?"

"Ya." Itu lebih baik daripada kami hanya berdiam di sini terus. Apalagi aku sudah cukup lama di sini.

Aku baru mulai berjalan setelah dia memulainya. Sebelah tanganku berada di dalam mantel, mengantisipasi agar tidak tersentuh tangan Allen saat kami berjalan. Meski aku yang membawanya ke sini, tetapi aku masih tidak bisa secara leluasa menyentuhnya. Tidak peduli jika itu diperlukan sekalipun.

Selama beberapa saat kami berjalan dalam diam. Allen sudah beberapa kali menyesap minumannya dan sekarang mungkin sudah tersisa setengah. Aku bahkan belum ada meminumnya sampai tiga tegukan.

"Bagaimana hari ini?" Pertanyaan itu selalu Allen lontarkan untuk membuka obrolan selama tiga hari ini.

Jawabanku pun akan tetap sama. "Menakjubkan. Aku tidak tahu apakah ada kata lain selain itu, tetapi ... semuanya luar biasa. Mereka semua luar biasa."

"Kau juga. Mereka akan berdecak kagum pada rancanganmu."

Aku menyunggingkan senyum singkat sebelum kembali mengutarakan ketidakpercayadirianku. "Mereka semua punya ciri khas, yang akan membuat orang lain langsung tahu bahwa itu rancangan mereka meski baru melihat sekilas. Satu-satunya yang kupunya hanya logo huruf R dari merk-ku yang tidak biasa."

"Satu hal yang perlu kau tahu, Ana, kau cukup layak untuk berada di sini."

"Itu hiburan yang kubutuhkan saat ini."

Allen jadi tertawa karena aku juga mengatakannya dengan nada jenaka.

"Biasanya kita memang akan terlalu loyal memberi nilai pada karya orang lain, dan tidak menyisakannya untuk diri kita sendiri. Apalagi penilaian kita yang subjektif akan bias oleh ekspektasi kita yang terlalu tinggi. Itu sebabnya kita jadi merasa kesulitan menerima pujian. Mungkin itu juga yang kau rasakan sekarang." Allen cocok menjadi seorang motivator di saat-saat seperti ini.

"Ya ... kau benar. Aku memasang target yang terlalu tinggi dan kecewa sendiri karena tidak mampu mencapainya. Itu membuatku kesulitan untuk memberi nilai bagus pada apa yang sudah kucapai." Aku tidak pernah memikirkan tentang ini sebelumnya, tetapi saat membicarakannya, aku baru sadar. Namun, bukan berarti aku akan langsung menerima pujiannya begitu saja. Untuk berada di sini saja aku masih kesulitan untuk percaya pada kemampuanku sendiri. Aku terus berpikir bahwa ini merupakan keuntungan lain dari kerja sama dengan Soppaholik.

"Sementara orang lain memiliki standar yang normal untuk memberi nilai. Aku memujimu setelah melihat bagaimana usahamu dan seperti apa karya yang kau hasilkan. Aku tidak peduli dengan kecemasan terselubungmu, atau bagaimana kau menilai dirimu sendiri. Yang jelas penilaian ini murni berasal dari kacamataku sendiri. Kau perlu belajar menerimanya sesekali, Ana."

Allen tersenyum sampai matanya hilang. Baru kali ini aku menemukan seseorang yang berpikir sedalam itu. Sekali lagi Allen membuatku takjub. Kupikir bukan ide yang buruk membawanya ke sini. Dia sudah beberapa kali mengucapkan apa yang ingin kudengar. Termasuk yang tadi, itu mengobati kegundahanku sedikit. Jujur saja, aku kehilangan percaya diri setelah menyaksikan penampilan dari karya tiga puluh desainer sampai hari ini.

"Terima kasih, Allen. Suatu saat aku mungkin akan kujadikan penasihat bisnis." Aku bergurau karena caraku berterima kasih tadi terdengar agak canggung.

"Hanya bisnis?" Meski dia menanyakan itu dengan nada bergurau, tetapi aku langsung mengerti apa yang dia maksud. "Aku ingin terlibat lebih banyak dalam hidupmu, Ana. Aku menyadari bahwa membuatmu mengeluarkan beragam ekspresi dan reaksi akan menjadi sesuatu menyenangkan. Aku terus bertanya-tanya apakah kesempatan itu ada."

Arah pembicaraan kami terlalu cepat berbelok. Itu membuatku tidak tahu ingin mengatakan apa. Mulutku bungkam. Rasanya kalau terbuka sedikit saja, hanya kata 'maaf' yang akan terucap.

Aku berhenti melangkah, dan membiarkan dia beberapa langkah berada di depanku. Aku tidak bisa mencegah perasaan bersalah ini turut menyertaiku ketika kutatap punggungnya yang berjalan menjauh. Dia mungkin tidak menyadari aku tidak ada di sini, tetapi sedetik berikutnya dia berhenti dan berbalik, lalu kembali menghampiriku. Gelas minumannya diletakkan ke atas pagar pembatas yang terbuat dari batu, dan disusul dengan milikku. Aku masih belum memberikan reaksi apa pun sampai dia meraih dua tanganku.

"Aku tidak bisa menahannya lagi, Ana. Maukah kau menjadi kekasihku?"

•••

Maaf lama banget gak updatenya.
Soal Paris Fashion Week-nya jangan ditelan bulat-bulat karena aku masih membubuhkan sebagian majinasiku di sana.

Terus soal kata-kata Allen, itu terinspirasi dari Kakak gak sedarahku yang sejak awal menarikku kembali menulis, selalu memotivasi sampai sekarang. Itu kukutip dari salah satu chatnya dan kuedit sedikit redaksinya menyesuaikan dengan situasi cerita.

Dan mohon doanya untuk anabul Tuteyoo yang lagi sakit ya teman-teman 🙏🏻 sudah dua hari ini bikin gak tenang.

Terakhir, cerita ini diperkirakan akan tamat si bab 75.

See you on the next chapter~
Lots of Love, Tuteyoo
28 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top