68 - The Man in Pajama

"Dia membuat kalian dikenal sebagai pasangan suami istri pada seorang blogger? Sekarang lihat apa yang blogger itu lakukan."

Emma menggeleng, matanya masih tertuju pada iPad di bawah dagunya. Sudah sepuluh menit seperti itu, telunjuknya akan menggulir layar kembali ke atas untuk memuat ulang layar, lalu kembali menggulirkan ke bagian bawah layar untuk membacanya. Aku berusaha mengabaikannya dengan dalih memotong kain yang sudah digambari pola, tetapi jujur saja, aku tidak bisa merasa tenang mendengarkan ocehannya. Pengharum ruangan yang beraroma bunga kamomil tidak lagi mampu menenangkan sebagaimana ia dipilih untuk mengisi udara di ruangan ini.

Hari ini kami berkumpul di gedung--yang sampai saat ini aku tidak tahu bagaimana menyebutnya meski suatu saat akan dijadikan butik. Ada beberapa hal yang perlu kami bicarakan, termasuk menentukan siapa yang akan berangkat ke Paris. Emma wajib ikut denganku ke sana, jadi dia kuminta meninggalkan Macy's hari ini untuk ikut berdiskusi. Namun, itu sudah selesai satu jam lalu dan sekarang kami hanya bersantai dan membicarakan hal-hal ringan.

Lalu Hannah, yang sejak bulan lalu telah diputuskan untuk bertanggung jawab dengan media sosial dan hal-hal berkaitan dengan branding produk kami. Dibandingkan yang lainnya, dia adalah yang paling kreatif. Ketika Hannah sedang iseng mencari ulasan yang ditulis orang lain untuk kami, dia justru menemukan sebuah postingan blog yang menceritakan pertemuan si penulis denganku beberapa hari lalu dan penulis itu adalah Claire. Postingan tersebut dibaca oleh ribuan orang dan mendapat lebih dari seratus komentar.

"Memangnya kalian tidak jadi bercerai?" Emma berhasil membuatku melihat ke arahnya. "Allen mungkin akan membaca ini."

Dahiku lantas berkerut. Apa urusannya jika Allen akan membaca tentang itu? Dia bahkan sudah tahu tentang itu. Kalau seandainya itu akan membuatnya tidak jadi mendekatiku, well, tidak masalah. Aku bahkan belum yakin dengan perasaanku untuknya sampai saat ini. 

"Dia tidak serajin itu membaca tentang fashion wanita." Mataku turut berotasi ketika merespons demikian. Blog Claire didominasi dengan ulasan tentang baju-baju wanita, kalaupun Allen mungkin mencari sesuatu tentang fashion di internet, kecil kemungkinan dia akan tiba di blok Claire.

"Kalau ini viral, postingannya akan ada di mana-mana."

"Ayolah, itu tidak akan keluar dari blog. Lagi pula, aku tidak cukup menarik untuk dibicarakan lebih banyak orang." Kata-kata itu bukan hanya untuk Emma, tetapi untuk menenangkan diriku sendiri juga. "Aku juga bukan selebriti."

Emma tidak lagi menjawab. Dia tidak lagi membahasnya karena iPad itu sudah diambil oleh penanggungjawabnya. Kemudian dia mulai mencari sesuatu untuk dikerjakan. Ini lebih baik daripada terus mendengarnya mengoceh.

Salah satu rekanku datang membawa segulung kain tule yang baru tiba hari ini. Dia menerimanya dari kurir dan membawanya ke ruang kerja. Selain aku, ada dua orang lagi yang sedang menjahit kain yang sudah dipotong sebelumnya. Kain itu berwarna abu-abu muda, akan sangat cantik jika dipadukan dengan kain satin berwarna abu-abu tua yang saat ini sedang kupotong. Selain mempersiapkan sepuluh pakaian untuk Paris Fashion Week, kami juga mengerjakan pesanan gaun pesanan Nona Clairine, yah, yang waktu itu datang untuk memesan gaun pendamping pengantin. 

Rasanya seperti kebanjiran pesanan, ada sembilan gaun pendamping wanita dengan tiga desain berbeda, dan gaun untuk after party pernikahannya Nona Clairine. Tidak hanya itu, calon suaminya menyusul menghubungiku dan memesan tiga gaun lagi dengan ukuran yang sama dengan Nona Clairine, dia bahkan berpesan agar aku tidak memberikannya pada Nona Clairine. Kupikir dia ingin memberi kejutan pada calon istrinya. Ah, romantis sekali. Aku sampai tersenyum meski hanya memikirkannya.

Sayangnya, itu justru terlihat seperti sikap yang aneh bagi Emma. Dia menegurku karena tersenyum sendiri.

"Apa yang kau pikirkan?" Emma datang membawa gunting dan tali meteran, kemudian duduk bersila di sebelahku. Kain tule yang dibawa rekanku tadi, kini berada di depannya. Dia pasti ingat kalau itu harus dipotong per dua meter.

Aku mendengkus. "Tidak ada." Dia akan mengejekku kalau kubilang sedang memikirkan tentang pasangan lain.

"Saat kita ke Paris nanti, apa suamimu akan mengekor?" Kupikir Emma akan fokus bekerja, tetapi dia justru mengajakku mengobrol lagi. Setidaknya tangan itu masih bergerak.

Pertanyaan itu mengingatkanku kalau aku belum mengajak Allen untuk pergi bersama kami. "Dia meminta, tapi aku menolak."

"Astaga. Apa yang ada di kepala kecilmu itu?" Emma menyahut dengan nada geregetan. Aku bahkan tidak tahu di mana salahnya. "Paris kota yang romantis, kecelakaan saat di Napa mungkin akan terjadi juga di sana. Bukan tidak mungkin di akan terbawa suasana dan mengaku kalau mencintaimu."

Kebetulan yang sial, aku sedang menelan ludah ketika Emma bicara begitu. Aku sampai tersedak ludahku sendiri. Atas dasar apa sampai dia berspekulasi seperti itu. Aku makin tidak mengerti sebenarnya dia mendukungku untuk berpisah dengan Killian atau justru kami bersama selamanya.

"Aku mengikuti saranmu kemarin, mengajak Allen." Aku mengernyit, menyadari ada sedikit kesalahan dari kata-kataku. "Tidak, aku spontan berkata akan mengajak Allen karena kesal dengannya. Dia baru memberi tahu tentang pernikahan kami, jadi aku memutuskan untuk tidak pergi bersamanya."

"Reaksinya bagaimana? Apa dia cemburu?"

Tanganku berhenti memotong lagi karena Emma sangat antusias sampai menyenggol lenganku. "Sudah kubilang dia tidak merasakan hal seperti itu padaku. Dia hanya ... kecewa karena biasanya kami selalu pergi bersama."

"Pria itu sepertinya perlu kuberi tinju lagi yang lebih keras. Setidaknya agar otaknya yang geser itu kembali ke tengah."

"Itu kasar sekali."

"Biar saja. Aku membencinya sekarang. Lalu Allen setuju ikut?"

Aku mengangkat bahu. Aku tidak lagi menatapnya karena tahu setelah ini dia akan histeris. "Aku belum bertanya. Tapi tenang saja, aku akan menghubunginya hari ini. Dia cukup sibuk dengan pekerjaan, jadi jangan minta dia untuk datang." Seperti yang kita tahu, Emma suka sekali meminta Allen datang tiba-tiba, jadi aku memperingatkannya lebih dulu.

"Kau menang kali ini, Ana."

•••

"Ana, kau yakin tidak ingin pulang dulu dan melanjutkannya besok?" Sonja, salah satu rekanku, datang menemuiku sambil mengeringkan rambut. Dia gadis keturunan India yang setuju untuk mendiami kamar di gedung ini, seperti yang pernah kutawarkan.

Aku menatap jam dinding dan menemukannya sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas. Aku terlalu asyik menjahit manik-manik di bagian pinggang sebuah gaun selutut. Motifnya sedikit rumit sampai aku tidak sadar berjam-jam sudah berlalu sejak kami makan malam bersama. Sedikit lagi selesai, tanggung kalau kutinggal pulang, jadi aku akan menyelesaikannya. Sayangnya, setelah ditegur tadi, jari-jariku mulai terasa nyeri.

"Ini hampir selesai, tapi aku istirahat sebentar. Kau bisa tidur kalau mengantuk. Aku akan mengunci dari luar nanti."

Kunci cadang pintu gedung ini ada beberapa, jadi aku tidak perlu membangunkan Sonja hanya agar dia mengunci pintu.

"Kau perlu sesuatu? Minum, atau camilan?" Sonja memang tidak bisa diam jika tahu aku masih bekerja. Dan aku tidak memaksanya membantuku karena jam kerjanya sudah berakhir beberapa jam lalu.

Aku berdiri, dan menekuk pinggangku ke depan sebagai bentuk peregangan. Kakiku sudah seperti akordion yang lama tidak dipakai, dan begitu ditarik ada suara yang keluar. Hanya saja tidak semerdu akordion, yang kudengar hanya gemeretuk dari kedua lutut. "Kau punya kopi?"

Dia mengernyit. Seharian ini dia bersamaku, sudah pasti dia tahu kalau itu akan menjadi gelas keempat untuk hari ini.

"Baiklah, air putih hangat saja." Aku mengoreksi, dan Sonja langsung melesat menuju dapur yang ada di seberang ruangan ini.

Aku meraih ponsel di atas meja ketika teringat belum menghubungi Allen. Aku tahu ini sudah cukup malam, tetapi aku tidak ingin Emma menyerangku dengan pertanyaan apakah aku sudah menghubungi Allen atau belum. Aku tidak bermaksud menelepon pria itu, tetapi mengirim pesan dan menunggu sampai dia membalas, tidak masalah jika sampai besok.

Luciana
Hai, Allen, maaf mengirim pesan semalam ini. Tapi selagi aku ingat, aku ingin bertanya padamu.
Apa kau repot akhir bulan Mei nanti?

Terkirim.

Aku melanjutkan dengan memeriksa pemberitahuan di ponsel selama aku menjauhkannya dariku dan membuatnya berada dalam mode senyap. Semuanya didominasi dari Killian dan aku langsung panik karena belum menghubunginya kalau pulang terlambat hari ini. Di samping rencana perceraian, aku dan Killian tetap sepasang sahabat yang masih perlu saling mengabari satu sama lain. Namun, sebelum aku sempat mengetik balasan untuknya, ada panggilan masuk dari Allen. Pria itu tidak membalas pesanku, tetapi langsung menelepon.

"Halo, Allen?" Aku berjalan mendekati jendela, bermaksud berbicara di telepon sambil memandangi lampu-lampu malam hari meski hanya dari lantai dua.

"Halo, Ana. Apa aku mengganggu?"

Aku yakin, aku yang mengganggunya tadi. "Tidak. Maaf, kalau sebelumnya kau sudah tidur."

"Tidur bisa kulakukan kapan saja, tapi kesempatan mengobrol denganmu tidak sering terjadi."

Aku mengeluarkan tawa hambar karena ucapannya.

"Pertanyaanmu itu ... apa saat Paris Fashion Week?"

"Bagaimana kau tahu?" Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kejutku. Dia mungkin pernah menjadi pelaksana teknis acara fashion show tahun lalu, tetapi aku tidak yakin mereka cukup dipercaya oleh para penggiat fashion sampai harus mengundang mereka ke Paris. Aku tidak bermaksud merendahkan, tetapi kalau itu benar, aku akan merasa takjub.

"Aku berusaha agar tidak ketinggalan kabar tentangmu, Ana." Itu cheesy, tetapi dia berhasil membuatku tersenyum. "Selamat atas pencapaian barunya. Itu acara yang luar biasa. Jadi ... apa kau akan membawaku ke sana juga?" Dia mengakhiri pertanyaan itu dengan suara deham yang dibuat-buat.

"Ya, benar. Kami ingat beberapa kali pernah meminta bantuanmu. Jadi, kami pikir keberadaanmu di sana akan sangat membantu. Biaya akomodasi akan kami tanggung, itu kalau kau tidak sibuk."

Ada jeda cukup panjang dengan suara gumaman Allen dari seberang sana. Dia mungkin akan menolak, dan aku harus mencari cara lain agar Killian tidak bersikeras menggantikan Allen dan ikut pergi ke Paris.

"Masih tidak ada jadwal di akhir Mei, aku akan pergi denganmu."

Itu melegakan, sungguh. Tadi aku sampai menahan napas hanya karena menunggu jawabannya. Kuharap ini bukan hal buruk, karena rasanya seperti aku memanfaatkan kebaikannya sekali lagi.

"Terima kasih, Allen. Aku akan mengabarimu untuk info lebih detailnya."

"Justru aku yang berterima kasih karena dilibatkan dalam momen yang berarti untukmu. Tapi, apa baik-baik saja?"

"Baik apanya?"

"Suamimu. Aku merasa seperti dia ingin memakanku hidup-hidup setiap kali bertemu." Allen bersuara seperti orang yang menggigil kedinginan, tetapi aku bisa membayangkan kalau dia sedang bergidik saat ini.

Aku lantas merespons dengan tawa yang hambar. Sekali lagi Killian berhasil membuat pria lain merasa tidak nyaman berdekatan denganku. Beruntungnya, Allen tidak langsung kabur, dia masih bersedia menjadi teman yang baik untukku.

"Abaikan saja."

"Ya ... kalau tidak, aku mungkin tidak akan meneleponmu sekarang." Dia juga tertawa. "Aku tidak terdengar seperti seorang pecundang, 'kan? Karena, ya, aku masih berusaha meski kemungkinan mendapatkan hatimu masih sangat kecil."

Allen benar-benar terbuka soal perasaannya. Yang terkadang sering membuatku kewalahan untuk bisa menerimanya. "Kau sudah cukup membuatku terkesan, Allen, tidak perlu berusaha terlalu keras." Detik berikutnya aku sadar itu terdengar seperti memberinya harapan. "Maksudku, kau pria yang baik, kau mampu membuat orang lain nyaman bersamamu."

"Bagaimana denganmu? Apa kau juga merasa nyaman?"

Ah, maksud pujianku tadi bukan untuk menjadi bumerang. Alisku jadi gatal karena memikirkan jawabannya.

"Kalau tidak, apa aku akan mengajakmu pergi bersama kami?"

Allen tertawa. "Tadi aku berharap mendengarmu mengatakan 'ya, aku nyaman bersamamu, Allen', tapi yang tadi itu juga sudah cukup." 

"Kau akan sulit mendengar hal-hal seperti itu dariku. Jadi, maaf mengecewakan." Aku merespons dengan nada jenaka agar dia tidak terlalu serius menanggapinya.

"Aku akan menjadikannya pencapaian baru kalau berhasil membuatmu mengatakannya."

"Semoga berhasil kalau begitu." Aku tertawa geli saat mengatakannya.

"Semangatku berkobar. Ini sudah cukup malam. Sayang sekali aku harus mengakhiri telepon karena harus bangun pukul tiga dini hari."

"Ah, maafkan aku."

"Bukan masalah. Aku akan mimpi indah setelah bicara denganmu. Selamat malam, Ana."

"Ya, selamat malam, Allen."

Aku yang mengakhiri sambungan telepon. Pengalaman menelepon Allen sebelumnya, dia cenderung tidak mau mengakhirinya lebih dulu. Jadi, aku harus mengambil inisiatif. Sekarang sudah setengah sebelas lewat. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku dan segera pulang.

"Ya Tuhan!"

Jantungku serasa mau copot ketika menemukan Killian sudah duduk di sofa di seberangku. Itu adalah satu-satunya di ruangan ini. Memang sengaja hanya satu karena kami lebih suka duduk di atas karpet yang kebetulan lumayan empuk. Aku benar-benar tidak sadar kapan dia datang dan seberapa banyak yang dia dengar selama aku bicara dengan Allen. Bagian terburuknya, Killian sama sekali tidak menunjukkan wajah bersahabat. Wajah itu berbanding terbalik dengan piyama motif sapi yang dia kenakan saat ini--hadiah dariku sebetulnya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku kembali ke tempat dudukku sebelumnya dan kembali menjahit manik-manik. Dengan Killian ada di sini, sudah pasti dia ingin aku segera pulang.

"Kau tidak membalas pesanku, tidak juga mengangkat teleponku. Tapi kau masih bisa mengobrol dengan pria lain. Bagaimana aku tidak khawatir?"

Dia terdengar kesal dan aku hanya bisa meringis. Aku bisa mengerti perasaannya. Seandainya Allen tidak menelepon tadi, aku pasti sudah membalas pesannya dan dia tidak perlu datang.

"Maaf. Aku terlalu asyik mengerjakan ini dan ponselku kuatur dalam mode senyap." Aku tidak berani menatapnya dan berusaha fokus menyelesaikan gaun di tanganku. "Aku akan pulang segera setelah ini selesai. Kau bisa pulang duluan, Killian."

Dua menit berlalu dan tidak ada jawaban darinya. Aku memberanikan diri menoleh, hanya untuk menemukan dia hanya menatapku. Caranya menatap pun membuatku takut, seperti pemburu yang sedang memantau pergerakan targetnya.

"Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian di sini." Suaranya nyaris seperti bisikan.

"Aku tidak sendirian. Ada Sonja yang tidur di sini." Aku menunjuk dinding di sebelah kananku, ingin memberi tahu kalau kamarnya ada di sana.

"Kita harus pulang bersama, Ana. Aku tidak akan pergi sampai kau selesai." Dia bersedekap dan kakinya dilipat satu. Kalau sudah begitu, aku tidak bisa memaksanya pergi, atau waktuku akan terbuang sia-sia. Namun, tidakkah dia berpikir itu akan percuma? Pulang bersama, tetapi dengan mobil masing-masing. 

"Aku bisa pulang sendiri."

"Mobilmu ditinggal saja di sini, kau pulang dengan mobilku."

"Killian ... ."

"Luciana."

Baiklah, aku menyerah. 

•••

Kalau dalam perkiraanku, cerita ini dah mau abis. Tapi gatau nanti gimana pas nulisnya hehe.

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
2 Oktober 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top