65 - Something has Broken

Gabby, yang aku ingat kemarin sempat mengeluarkan aura tidak menyenangkan setiap bertemu denganku, hari ini datang dengan tujuan untuk bicara padaku. Setelah pertemuan terakhir kami di teater, aku tidak tahu konfrontasi macam apa yang akan dia lakukan kali ini. Dia sudah tahu tentang kami, tahu juga tentang kehamilanku, satu-satunya alasan yang mungkin mendasarinya datang menemuiku adalah permintaan agar kami berpisah. Yang pasti, sebagai tuan rumah, aku tidak bisa mengusirnya atas dasar alasan tersebut.

Sudah lima menit sejak aku menyuguhkan minum untuknya. Namun, dia hanya diam dan memperhatikan sekeliling rumah seakan-akan ini adalah kali pertama dia berkunjung. Padahal jelas-jelas Killian sudah membawanya berkeliling, bahkan sampai ke kamarnya juga.

"Jadi, ada apa?"

Gabby baru kembali menatapku setelah aku bersuara. Hanya secangkir teh hangat karena itu yang dia sebutkan saat aku menawarinya. Aku sudah terpukau dengan rasa percaya dirinya yang tinggi saat baru tiba tadi, tetapi sekarang itu menguap bersama udara yang baru saja dia embuskan.

"Bagaimana kondisimu?" Karena pertanyaan itu, aku mulai merasakan bahwa dia memiliki rasa kepedulian pada sesama wanita. Itu terasa tulus karena dia sangat berhati-hati.

"Sudah baik-baik saja."

Gabby mengangguk pelan. Setiap gerak-geriknya terus dilakukan dengan hati-hati, padahal itu justru membuat atmosfer di antara kami makin canggung. "Ini." Dia meletakkan sebuah kotak ke atas meja di tengah-tengah kami. "Aku tidak tahu kau suka apa, tapi aku ingat Killian beberapa kali mampir ke toko kue dan membelikan ini untukmu."

Makaron cokelat, bukan favoritku, tetapi aku cukup menyukainya. Aku tidak pernah mengira Killian akan mampir membeli itu bersama Gabby juga. Wanita itu justru mengingatnya. Dia benar-benar memperhatikan apa-apa saja yang dilakukan Killian.

"Terima kasih. Tapi kau tidak datang hanya untuk ini, 'kan?"

Dia menghela napas sekali lagi. "Aku juga ingin minta maaf padamu." Entah seberapa berat tekanan yang dia rasakan sampai kata-kata itu terlontar. Kupikir dia mengulur waktu cukup lama.

Alih-alih menunjukkan rasa penasaran tentang apa alasannya meminta maaf, aku justru mengernyit tidak percaya akan mendengar itu darinya. Aku tidak menganggapnya sebagai wanita yang jahat, aku hanya mengaktifkan sisi defensifku saat ini. Maksudku, sikap ini sudah terbentuk setelah merekam bagaimana dia bersikap padaku. Satu hal yang membuatku masih merasa kecewa hingga saat ini adalah ketika dia dengan senang hati ingin menjadi gunting untuk hubungan kami. Meski aku tidak percaya dia mampu melakukannya, tetapi akan repot urusannya ketika seorang wanita sudah bertekad kuat.

"Maaf untuk apa?" Kuputuskan untuk meresponsnya dengan normal. Dia datang dengan maksud baik, jadi aku harus menekan rasa tidak sukaku padanya.

"Aku tidak akan mendekati Killian kalau tahu dia sudah menikah."

Di samping belum bisa menyingkirkan rasa kesal karena sikapnya waktu itu, aku juga merasa tidak enak padanya. Menjadi penghalang bagi dua orang yang saling mencintai terasa seperti dosa besar yang tidak termaafkan. Seharusnya mereka bahagia, tetapi aku mulai mengerti akan ke mana akhirnya hubungan mereka jika Gabby sudah berkata demikian.

"Kau tidak perlu khawatir soal itu, perceraian adalah ujung dari pernikahan kami. Akan kuusahakan itu segera terjadi."

Gabby mendengkus keras. "Aku sudah berpikir kalian tidak terpisahkan."

Aku menelan ludah. Kuharap juga seperti itu, tetapi tidak cukup jika hanya sebagai sahabat. Aku ingin sesuatu yang lebih dari itu.

"Kami tidak menginginkan pernikahan ini."

Tangannya berayun sebagai isyarat agar aku tidak bicara lebih banyak. "Killian sudah menceritakannya padaku. Tapi tetap saja, aku punya harga diri, Ana. Mengencani pria yang sudah beristri, tidak peduli pernikahan mereka atas dasar cinta atau tidak, sudah mencoreng harga diriku."

"Kukira cinta akan mengalahkan segalanya." Kata-kata itu terucap pelan olehku begitu saja, bukan untuk merespons Gabby. Namun, tampaknya itu cukup relevan.

"Aku juga berpikir begitu. Kau tentu ingat tentang aku yang ingin memisahkan kalian, bukan?" Dia berhenti sebentar dan menatap langit-langit. Kurasa dia sedang berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir. Wanita ini sungguh mencintai Killian. "Tapi apa yang kulihat di rumah sakit waktu itu ... Killian lebih takut kehilanganmu daripada kekasihnya sendiri."

Dia tersenyum, mungkin untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Seharusnya dia tidak perlu bersikap sok kuat, karena itu hanya membuatnya terlihat jauh lebih menyedihkan.

Jari-jariku bermain di pangkuan, sebagai pengalih keinginan untuk menenangkannya. Dia mungkin sudah mengatakan sesuatu yang membuktikan bahwa aku masih prioritas Killian, tetapi dengan caranya yang seperti itu, aku tidak bisa merasa senang. Kata-kata itu membuat dadaku bergemuruh, menggoyahkan tekad untuk bercerai dengannya yang sudah dibangun dengan susah payah. Seperti pergeseran lempengan bumi yang berusaha meratakan apa yang berdiri di permukaan bumi.

Oke, dengan membatalkan perceraian akan membuatku merasa puas, tetapi bagaimana dengan Killian? Aku tidak bisa membiarkan dia terus berada di sisiku jika bukan itu keinginannya.

"Tapi dia mencintaimu. Itu hanya bagian dari kebiasaannya, kami selalu menangisi satu sama lain ketika hal buruk terjadi."

"Justru itu akan membuatku lebih puas, Ana. Hidupnya akan kacau dengan berakhirnya hubungan kami. Tapi, kinerjanya di kantor masih sangat bagus, berakhir denganku tidak berpengaruh apa-apa padanya. Ayahku bahkan berpikir ingin mempromosikan jabatannya tahun ini."

Ayahnya? Well, itu sudah cukup menjelaskan bagaimana dia bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang ini.

"Tapi sekali lagi, cinta yang dia rasakan padaku mungkin tidak seperti yang dia rasakan padamu. Killian itu bodoh, dia mengabaikanmu saat ada di depan mata, tapi meraung ketika kau akan pergi." Air mata Gabby akhirnya lolos dan mengaliri pipinya, tetapi hanya di sebelah kiri. Itu adalah air mata kesedihan. Gabby sangat mencintai Killian dan itu cukup membuatku lebih-lebih bersalah lagi.

"Tidak. Dia mencintaimu." Kata-kata Killian yang menyatakan bahwa perasaan itu tidak akan pernah ada untukku mulai berputar kembali di telingaku. Aku berpejam sebentar untuk menyingkirkannya, tetapi tidak berhasil. "Benar, dia tidak pernah mencintaiku. Kau juga mencintainya, kenapa harus menyiksa diri seperti itu?"

Dia menatapku dengan cara yang aneh. "Kau juga. Kalau memang tidak mencintainya, kenapa harus peduli dia bersama orang yang dicintainya atau tidak?"

Itu menamparku. Entah bagaimana aku begitu sok tahu, sok menasihati, sok memperjuangkan hubungan orang lain, padahal tidak berhasil mengatasi masalahku sendiri. Di depanku, Gabby tersenyum penuh kemenangan. Dia mungkin berpikir kami mengalami situasi yang sama, padahal jauh berbeda. Perasaannya berbalas, sedangkan aku tidak.

"Aku peduli dengan kebahagiaannya sebagai seorang sahabat."

Gabby membanting punggungnya ke sandaran sofa. Akhirnya bahu itu menjadi lebih rileks setelah tegang selama beberapa waktu. Memang sudah seharusnya begitu, dia pernah datang beberapa kali, memakai perabotan, dan meminjam dapur. Ketiadaan Killian mungkin membuatnya tegang.

"Aku akan terbuka padamu. Aku pernah mengajaknya tidur dua atau tiga kali. Suasananya sangat bagus, apalagi saat kami di Napa kemarin. Tapi dia menolakku, kami hanya berciuman, tangannya tidak mau berpindah dari pinggangku. Dengan tubuh sebagus itu, delapan dari sepuluh wanita akan tergoda tidur dengannya."

Gabby yang bercerita, aku yang merasa malu. Dia membuatku mengingat kembali betapa panasnya malam itu. Ketika tangan Killian sudah tidak terkontrol lagi, dia tidak akan melewatkan seinci kulit pun terlewat dari sentuhannya.

"Aku sudah berpikiran positif bahwa dia sengaja menunggu sampai kami menikah. Tapi aku justru menemukan kau hamil anaknya. Hatiku benar-benar hancur, Ana." Gabby menyeka air matanya. Ini sungguh di luar dugaan, aku tidak pernah menghadapi tamu yang menangis, dan sekarang aku turut merasakan rasa sakitnya.

Dalam diam aku membuka laci tersembunyi di bawah meja dan mengeluarkan kotak tisu. Hanya ini yang bisa kulakukan untuknya. Gabby langsung mengambil beberapa lembar dan mengusapkannya ke wajah dengan berhati-hati, tidak ingin riasannya luntur.

"Itu kecelakaan. Dia pun tidak menginginkan itu terjadi." Melihat wanita menangis membuatku kewalahan. Sofa di bawah pantatku seperti papan yang lurus, aku duduk tidak nyaman.

"Kau mungkin berusaha meluruskan dan berharap kami kembali bersama, tapi apa yang kulihat saat di rumah sakit sudah cukup untuk menjadi alasan hubungan kami berakhir. Kau salah besar kalau mengira aku masih mau bersamanya."

Lalu bagaimana dengan Killian?

•••

Killian
Kau baik-baik saja, 'kan?
Aku akan menyelesaikan pekerjaan lebih awal agar bisa segera pulang.

Masih terlalu pagi untuk menerima pesan dari Killian. Aku baru selesai mandi dan sedang menyiapkan sarapan untukku sendiri. Tadi malam dia mengirim pesan, tetapi tidak kubalas karena tertidur, makanya dia bertanya seperti itu. Kupikir dengan tergumpalnya lembar pengajuan perceraian juga berarti dia marah padaku. Namun, selama di luar kota dia tidak absen menanyakan kabarku, memastikan apakah perutku keram lagi, atau apakah kepalaku masih pusing. Dia memang penuh perhatian, tetapi kalau berlebihan begitu aku jadi berpikir kalau dia hanya merasa kesepian karena sudah tidak bisa berhubungan dengan Gabby lagi.

Well, aku masih belum bisa menyingkirkan pemikiran buruk itu dari kepalaku.

Luciana
Aku baik, maaf semalam ketiduran.
Hari ini aku akan ke Macy's. Tapi akan segera pulang kalau mulai merasa lelah.

Itu bukan janji, tetapi hanya agar Killian tidak cerewet. Kenyataannya aku tidak bermaksud akan pulang cepat, apalagi hari ini akan menjadi hari pertama aku ke Macy's setelah dua minggu hanya menerima laporan dari Emma dan rekan-rekanku yang lain. Oh, dan aku tidak akan berangkat sendiri. Aku akan berangkat bersama Allen mengingat dia juga sedang tidak ada pekerjaan hari ini. Kemarin aku nyaris menolak, karena tidak ingin membuatnya repot, tetapi pada akhirnya kuterima hitung-hitung untuk proses pendekatan.

Killian
Kabari aku kalau sesuatu terjadi.

Dan membiarkan dia nekat mengambil penerbangan pulang segera? Tidak. Killian akan segila itu dan aku tidak akan melakukannya. 

Dua lembar roti panggang dengan selai cokelat kacang akhirnya kuhabiskan. Aku mencuci piring sebentar dan mengambil buah di kulkas. Namun, aku justru terpaku pada kotak makaron yang dibawa Gabby kemarin. Itu masih utuh, meski aku selalu menghabiskan satu kotak dalam sekali makan, tetapi aku masih merasa tidak enak padanya hingga tidak bernafsu untuk memakannya. Daripada itu akan berjamur jika dibiarkan terlalu lama, muncul niat untuk memberikannya pada rekan-rekan kerjaku. Setidaknya mereka bisa mencicipi masing-masing satu karena isinya tidak banyak.

Dua minggu hanya berada di rumah rupanya membuatku begitu merindukan aroma Macy's yang nyaris kulupakan. Aroma kain baru dari baju-baju di tenant membuat suasana hatiku membaik. Betapa aku sangat merindukan kesibukan ini. Langkahku begitu ringan ketika menapaki lantai Macy's yang berkilau.

"Aku tidak akan bertanggung jawab kalau sesuatu terjadi padamu."

Bola mataku berotasi ketika suara yang familiar itu terdengar dari belakangku. Setelah kewalahan menghadapi sambutan tiga rekan kerja yang lain sebelumnya, Emma justru memberiku tatapan yang dingin. "Kau beruntung, Killian akan berada di luar kota sampai tiga hari ke depan."

"Pantas saja kau sudah berani pergi." Emma mengiringiku saat berjalan memasuki ruangan istirahat kami.

"Aku sudah menjalani sepuluh hari istirahat tanpa melakukan hal-hal berat seperti yang diinstruksikan oleh dokter, kartu bebas akan kupakai hari ini." Aku menjentikkan jari. Tidak bisa kusembunyikan betapa bersemangatnya aku hari ini. Emma sampai menaikkan sebelah alis disertai cara yang aneh menatapku. Selama ini aku mungkin terlihat sangat kalem sampai dia tidak percaya akan menemui diriku yang seperti ini.

"Kita akan pergi ke kelab dan menggoda pria menarik?"

Emma tahu aku tidak akan melakukan itu dan bertanya hanya untuk menggangguku.

"Tergantung. Apa kau mau menemaniku?"

Dia langsung berdecih, lalu menarik satu kursi untuk diduduki. "Mungkin itu cara yang bagus untuk membuat priamu sadar kalau tidak bisa kehilanganmu?"

Itu adalah cara paling ampuh untuk membuat senyumku sirna. Aku tidak ingin meneruskannya, jadi kubuat perhatian Emma tertuju pada kotak makaron cokelat yang baru kuletakkan di meja. "Tidak banyak, tapi bisa dibagi untuk semua."

"Kau baik sekali membawa camilan untuk kami." Kata-kata itu terdengar menyebalkan dan terdengar seakan-akan aku tidak pernah memperhatikan kebutuhan perut rekan-rekanku.

"Bukan aku yang beli. Itu dari Gabby, tapi aku tidak memakannya." Aku menyusul duduk di sebelah Emma dan mengabaikan reaksinya yang seolah-olah tidak memercayai apa yang kuucapkan. "Dia datang ke rumahku kemarin."

"Oh, ya? Apa yang dia lakukan? Apa dia memintamu berpisah dari Killian?"

Aku menghela napas. Tentang itu, aku tidak berusaha untuk menyembunyikannya. Aku memang sudah berniat ingin bercerita pada Emma. Tidak hanya tentang kedatangan Gabby, tetapi semuanya. Apa saja yang terjadi dengan hubunganku bersama Killian semenjak keguguran tanpa melewatkan satu hal pun.

Reaksi Emma cukup menarik, kadang dia akan mengernyit keheranan, lalu mengangguk seperti seorang siswa yang berhasil memahami materi yang diajarkan gurunya. Kemudian menjadi panik ketika tiba-tiba keram perutku muncul. Sebetulnya tidak parah, dan kemunculannya paling hanya lima menit.

"Oke, jadi, Gabby sudah tidak ingin bersama Killian, dan kau menunggu dia bersedia menandatangani pengajuan cerai?"

Aku hanya mengangguk.

"Killian tidak menjelaskan kenapa dia tidak ingin menceraikanmu?" Sesuatu yang pastinya akan dipertanyakan oleh semua orang. Sayang sekali aku tidak bisa menemukan clue yang mendasari sikap Killian.

"Dia mungkin jatuh cinta padamu. Sikapnya agak tidak wajar untuk ukuran dua orang yang berteman baik. Oh, Ana, kenapa kau tidak berusaha untuk membuatnya jatuh cinta padamu saja?"

Aku spontan mendengkus. Membuat Killian jatuh cinta padaku? Dia unggul dalam banyak hal ketimbang aku. Tidak ada yang bisa kutunjukkan padanya agar tertarik padaku. Lagi pula, dia sudah mengenalku luar dalam, tidak hanya sekadar kepribadian, tetapi juga penampilan fisik. Dan semuanya tidak begitu menarik di matanya.

"Jangan membual, Em, kau tidak tahu kita berurusan dengan siapa. Ada banyak hal yang perlu ditingkatkan agar kami bisa sepadan."

Tangan Emma terjun bebas dari menopang dagu hingga terbanting ke atas meja. Dia membuat suara debam yang keras hingga aku pun terkesiap. "Teruslah merendahkan dirimu, Ana. Terus saja seperti itu."

Kesalahan apa yang kuperbuat sampai Emma frustrasi begitu.

"Kalian sudah menikah, hubungannya dengan Gabby pun sudah berakhir, kau juga jatuh cinta padanya. Yang kaulakukan hanya berusaha untuk membuatnya membalas perasaanmu. Kau punya kesempatan itu, Ana. Menurutku, sebaiknya kau pertimbangkan lagi rencana untuk bercerai."

Kepalaku tidak gatal, tetapi jari-jariku yang gatal ingin menggaruknya. Ketika pengharum ruangan otomatis menyemprotkan aromanya, membaurkan partikel-partikelnya dengan udara, aku menjadi mual. Pemikiran tentang membuat Killian jatuh cinta padaku berhasil merusak sistem tubuh dan membuatku ingin menyingkirkannya, persis seperti memuntahkan isi perut.

"Jangan membual, itu tidak akan berhasil." Aku mengeluarkan buku sketsa dari tas, sekaligus memberi sinyal untuk Emma bahwa aku ingin berhenti membicarakannya dan mengerjakan sesuatu yang lain. Namun, dia bergeming dan masih menatapku seperti seorang agen yang sedang menginterogasi kriminalis.

"Kupikir dia hanya perlu dipancing."

"Dipancing seperti apa?"

"Seperti ketika kau keguguran kemarin, dia panik bukan main, terbukti bahwa dia tidak ingin kehilanganmu. Killian mungkin perlu tarikan yang kuat untuk bisa benar-benar menunjukkan apa yang dia rasakan padamu." Emma sungguh menganggap masalahku adalah perkara yang serius sampai dia mau mencarikan jalan keluar.

"Apa aku perlu berdiri di tengah jalan dan menunggu mobil menabrakku? Dia akan benar-benar kehilanganku setelah itu." Aku bergidik sendiri ketika adegan itu mulai membayang di kepala. Tidak mungkin aku segila itu dan melakukannya. Walau itu mungkin saja cara paling manjur untuk membuat Killian berkata dia mencintaiku. Sayangnya, itu akan percuma karena aku tidak bisa mendengarnya.

Emma berdiri, mengacak rambutku sambil mengambil sesuatu dari atas rak di sisi kiriku. Itu adalah sebuah amplop tebal mirip undangan pernikahan yang masih tersegel. Emma memandanginya sebentar dan memberikannya padaku.

"Kau bilang tidak pernah pergi ke luar negeri tanpa Killian, bukan? Cobalah pergi ke sana tanpanya. Kau bisa mengajak Allen, aku yakin itu akan membuat Killian kepanasan."

Emma benar-benar gila. Aku lebih baik pergi sendiri daripada harus membawa pria lain.

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
13 September 2023

Ps. Kalau Tuteyoo publish cerita baru, tolong jangan dihujat yak :")
Idenya nyangkut di kepala, gak hilang-hilang. Tapi yang ini pasti akan diprioritaskan. Maaf baru update lagi, Tuteyoo ternyata repotnya masih sampai sepuluh hari pertama bulan September kemarin. Huft.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top